Belajar dari Sumber Waras
Silvian M Mongko ;
Pengamat Sosial Politik
|
MEDIA INDONESIA,
20 April 2016
SIAPA yang tak tahu RS Sumber Waras Jakarta? Nama yang kini
mungkin menjadi sumber ketidakwarasan publik. Entahlah. Sejak awal polemik
ini, ada indikasi ketidakwarasan di pusaran Sumber Waras. Apa sebab? Basis
argumentasi yang menentang kebijakan pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras
oleh Pemprov DKI, pada hemat saya, sarat muatan politis.
Ada kesan menyerang sekadar mencari-cari kesalahan atau
menjatuhkan. Terlebih lagi karena Sumber Waras dihubungkan dengan figur
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sedang melejit reputasi
politiknya. Pembelian 3,6 hektare lahan RS Sumber Waras telah menyalahi
prosedur dan menimbulkan kerugian uang negara dengan jumlah yang begitu
fantastis: sekitar Rp191 miliar. Anehnya, orang sekaliber dengan otak doktor
dan profesor bisa terjebak dalam argumentasi tendensius untuk menyerang
habis-habisan Ahok.
Saya merasa aneh saja: ketika orang-orang 'pintar' hadir dalam
diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC), sebuah forum terhormat yang
menghadirkan orang-orang melek hukum, malah berargumentasi secara tendensius
untuk mendesak KPK secepatnya menetapkan Ahok sebagai sesat prosedur hukum.
Tentu dengan harapan Ahok bisa keluar dari Gedung KPK sambil mengenakan rompi
oranye. Untuk itu, saya ingin membaca polemik Sumber Waras dari dua sudut
pandang, pendidikan politik dan kepastian hukum.
Pendidikan
politik
Tidak bisa dimungkiri, polemik pembelian sebagian lahan RS
Sumber Waras dapat dibaca dalam konteks 'perang' politik jelang pilkada DKI.
Spekulasi macam apa pun, rasanya sulit membantah fakta itu. Polemik muncul
secara intens ketika konsentrasi politik dikerahkan untuk memenangi Pilkada
DKI 2017. Pada saat yang sama, nama Ahok mendapat dukungan spontan yang kian
melejit tak terbendung.
Dukungan kuat dari masyarakat dihimpun melalui Teman Ahok.
Mereka berhasil mengumpulkan KTP lebih dari batas minimal untuk pencalonan
Ahok secara independen. Apa kuncinya?
Pada hemat saya, kekuatan ketokohan, independensi dan daya
dobrak politik Ahok sejauh ini berhasil memecahkan sejumlah kebuntuan politik
untuk menyelesaikan berbagai persoalan politik di Ibu Kota. Kiprah politik
yang baru berjalan sekitar dua tahun ini membawa dampak signifikan untuk
mengakhiri sejumlah persoalan pelik yang selama ini seakan tak terselesaikan.
Gebrakan yang membuat Ahok mendapat banyak simpati dari warga. Maka untuk
lawan politik, Ahok hadir bak petir yang menggelegar di ubun-ubun.
'Perang' politik itu semakin kasatmata tatkala lawan-lawan
politiknya memakai hasil audit BPK serta berbagai isu sektarian sebagai dasar
argumentasi untuk menjungkalkan Ahok. Tak ayal, tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan kepadanya malah memperlejit popularitas Ahok. Semakin diserang,
nama Ahok kian harum. Serangan demi serangan kepada Ahok malah membuka kedok
ketidakwarasan lawan politiknya karena melawan logika publik.
Perdebatan Sumber Waras ini meninggalkan teka-teki yang justru
mengaburkan kewarasan publik karena apa yang dianggap terang-benderang malah
dibuat kabur oleh kekuatan penentang Ahok. Lawan-lawan Ahok termasuk Ketua
BPK sendiri menyerang Ahok dengan bertumpu pada temuan BPK. Kredibilitas BPK
dipertanyakan karena sedang dipimpin seorang Harry Azhar Azis, nama yang juga
disebut-sebut dalam skandal Panama Papers. Ada desakan publik agar nama-nama
pejabat yang disebut-sebut dalam Panama Papers itu sejatinya menjunjung etika
dan moralitas. Maka, lebih terhormat jika mereka mengundurkan diri dari
jabatan masing-masing.
Pada alur itu, integritas dan akuntabilitas temuan BPK terkait
dengan Sumber Waras patut dipertanyakan walau hukum belum mengujinya lebih
lanjut. Sebab itu, temuan BPK tidak selalu kebal terhadap kesesatan. Bahkan
sejumlah temuan audit berpredikat wajar tanpa pengecualian (WTP) sebelumnya
toh akhirnya ditemukan indikasi korupsi setelah ditelusuri lebih lanjut oleh
KPK. Lantas, apakah temuan BPK itu bebas dari kesesatan? Apakah waras memakai
hasil audit dari lembaga yang dipimpin seorang pejabat publik yang
terindikasi menyembunyikan harta kekayaannya demi terhindar dari kewajiban
membayar pajak?
Kepastian
hukum
Saya kira salah satu indikator untuk mengukur kualitas demokrasi
suatu negara ialah kepastian dalam menegakkan hukum. Suatu barometer politik
yang bertolak dari pijakan sederhana sekali: tentang dasar hukum mana yang
memang tepat untuk menangani suatu persoalan tertentu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Nah, persoalan Sumber Waras terjadi justru karena ada perbedaan
titik tolak peraturan atau hukum mana yang absah untuk membedah persoalan
yang sama. Suatu persoalan yang mungkin tampak dibuat-buat atau sengaja
diciptakan untuk menjatuhkan pamor Ahok.
Selain ada perbedaan terkait dengan nilai jual objek pajak
(NJOP) yang dipakai sebagai dasar audit BPK dan NJOP yang dipakai sebagai
dasar transaksi Pemprov DKI, ada perbedaan pada dasar hukum negosiasi antara
Pemprov DKI (pembeli) dan pihak RS Sumber Waras (penjual). BPK didukung oleh
lawan-lawan politik Ahok--memakai dasar hukum Perpres No 71/2012 yang
mengatur perencanaan, pembentukan tim, penetapan lokasi, studi kelayakan, dan
konsultasi publik. Sementara itu, Pemprov DKI memakai acuan Perpres No
40/2014 sebagai perubahan keempat Perpres No 71/2012. Dalam Pasal 121 Perpres
40/2014 itu dikatakan bahwa demi efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah
di bawah 5 hektare dapat dilakukan pembelian langsung antara instansi yang
memerlukan dan pemilik tanah. Perbedaan acuan itu menimbulkan pertanyaan
besar, mana sebenarnya aturan yang benar? Mengapa BPK memakai acuan lama yang
sudah diperbarui empat kali?
Hal yang sudah pasti secara hukum malah dibuat kabur secara
politik. Desakan politik jangka pendek yang berorientasi kekuasaan bisa
mengaburkan kejernihan berpikir. Nah, kegaduhan seperti ini sama sekali tidak
menunjukkan pembelajaran hukum yang baik bagi masyarakat karena mengaburkan
kewarasan publik. Publik bingung justru karena hal yang dianggap jelas malah
dibuat kabur.
Sebab itu, marilah kita belajar dari polemik Sumber Waras agar politik
kita bisa lebih beradab dan hukum tetap jadi panglima penegakan keadilan.
Kita harus kawal proses hukum agar keadilan betul-betul ditegakkan. Sebab,
tak ada yang kebal hukum di negeri ini, termasuk juga Ahok. Hanya, kita butuh
negarawan yang peka terhadap etika dan moralitas publik. Mungkin saja hukum
tidak bekerja lebih berat jika setiap orang menjunjung tinggi soal kepatutan
dan kepantasan. Adakah kesadaran itu pada elite negeri ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar