Cita-cita Indonesia Raya Perlu Biaya
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
13 November 2015
Belum pernah kebijakan
luar negeri Indonesia terlihat tanpa arah jelas dalam mengejawantahkan
kepentingan nasional di era globalisasi yang rumit dan penuh dinamika. Di
bawah Presiden Joko Widodo, kebijakan luar negeri Indonesia menjadi
membingungkan, tidak memiliki arah yang jelas, serta tidak memiliki
kesinambungan menghadapi persoalan global, regional, dan multilateral.
Keputusan Presiden
Jokowi untuk tidak hadir dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, awal
Oktober, dan kembali mengutus Wakil Presiden Jusuf Kalla ke KTT Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Manila, Filipina, pekan depan, secara gamblang
menunjukkan kurangnya kepedulian atas masalah kerja sama multilateral. Bagi
Indonesia, APEC adalah bagian penting kerja sama ekonomi multilateral.
Terlebih ketika Deklarasi Bogor 1994 disepakati menetapkan pencapaian
perdagangan dan investasi bebas dan terbuka di Asia-Pasifik.
Kesimpangsiuran ini
berdampak langsung atas pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia.
Misalnya, belum adanya ucapan selamat Presiden Jokowi kepada Aung San Suu Kyi
yang unggul dalam pemilu Myanmar, persoalan kabut asap yang terselamatkan karena
hujan, serta pernyataan pembantu presiden tentang persoalan regional yang
membingungkan.
Dalam dua pekan ke
depan ada beberapa pertemuan tingkat kepala negara yang memerlukan
keterlibatan Indonesia. Dimulai dengan KTT G-20 di Antalya, Turki (15-16 November);
KTT APEC di Manila, Filipina (18-19 November); hingga KTT ASEAN dan KTT Asia
Timur (EAS) di Kuala Lumpur, Malaysia (21-22 November). Semua pertemuan ini
penting dihadiri untuk mengukur perubahan geopolitik dan geostrategi. Ini
khususnya menyangkut masalah terorisme, diberlakukannya kesepakatan Kemitraan
Trans-Pasifik, ataupun persoalan memanasnya klaim tumpang tindih kedaulatan
di Laut Tiongkok Selatan (LTS).
Di tengah kondisi itu,
Menko Polhukam Luhut
Binsar Pandjaitan, pekan ini, tiba-tiba memberikan pernyataan, Indonesia akan
membawa RRT ke Mahkamah Kriminal Internasional jika sengketa LTS tidak
diselesaikan melalui dialog. Ketika menteri koordinator
salah mengartikulasikan acuan pengadilan internasional (maksudnya Pengadilan
Permanen Arbitrase yang tengah berlangsung dalam kasus yang diadukan Filipina
terkait sengketa LTS), seluruh bangunan diplomasi kita, khususnya menyangkut
regionalisme, menjadi berantakan.
Anehnya, Kemlu melalui juru bicaranya tidak berupaya
meluruskan pernyataan Menko Polhukam yang membingungkan. Padahal, Note Verbale yang diajukan Misi
Permanen RI di PBB pada 8 Juli 2010 jelas mengacu, "tidak memiliki dasar hukum internasional dan mengganggu UNCLOS
1982". Artinya, Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis
putus-putus yang diklaim Tiongkok di LTS secara de jure dan de facto.
Note Verbale ini menanggapi Preliminary
Information Indicative of the Outer Limits of the Continental Shelf Beyond
200 Nautical Miles of the People's Republic of China yang diajukan pihak
RRT pada 11 Mei 2009. Dikhawatirkan kerancuan diplomasi di tingkat birokrasi
Indonesia akan menyebabkan melemahnya kepercayaan terhadap Indonesia.
Diharapkan Presiden
Jokowi mampu tampil di panggung internasional mengartikulasikan kebesaran dan
peranan Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia. Sepatutnya Presiden Jokowi mengerti pepatah jer basuki mawa beya, untuk
mendapatkan apa yang dicita-citakan memerlukan biaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar