Pendidikan, Ideologi, Politik
Ignas Kleden ; Sosiolog;
Ketua Badan Pengurus Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
06 Agustus 2015
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan baru saja meluncurkan Sekolah Partai Calon Kepala Daerah, yang setelah
pelaksanaan pilkada menurut rencana akan dilanjutkan dengan Sekolah Partai
Kepala Daerah. Usaha ini patut mendapat perhatian karena memperlihatkan dua
segi kepentingan yang berbeda, tetapi berhubungan. Pada tingkat politik mikro
terdapat hubungan di antara para calon kepala daerah dengan pilkada dan
PDI-P. Pada tingkat politik makro dapat dilihat hubungan di antara
pendidikan, ideologi, dan politik.
Hubungan sekolah ini dengan
pilkada tampak dari perhatian kepada strategi dan manajemen pemenangan pilkada,
pelatihan berpidato dan berdebat, teknik merebut pikiran dan menarik hati
rakyat, perumusan kebijakan yang prorakyat, serta peningkatan kompetensi dan
integritas dalam mengelola pemerintahan.
Selanjutnya, dalam hubungan dengan
partai, ditekankan pemahaman ideologi partai, konsolidasi partai dalam
menghadapi pilkada, dan sumpah Panca Prasetya kepada partai, yang intinya
melibatkan para calon kepala daerah dalam komitmen kepada tiga soal, yaitu
melaksanakan pilkada tanpa intimidasi, tanpa politik uang dan tanpa kejahatan
pemilu lainnya, mewujudkan pemerintahan yang bersih apabila terpilih, serta
bersedia mengundurkan diri dari jabatan kepaladaerah atau wakil kepala daerah
jika mengingkari isi sumpah dan siap menerima sanksi organisasi dari DPP
partai.
Di antara berbagai perbaikan yang
kurang lebih teknis sifatnya, hal yang akan menemui banyak kesulitan adalah
pemahaman tentang ideologi partai. Partai-partai politik Indonesia mempunyai
berbagai praktik politik, tetapi hampir tak ada yang melakukan praksis
politik. Praksis juga suatu bentuk praktik, tetapi praktik yang didasarkan
kepada suatu teori, suatu doktrin atau pendirian ideologis. Pertanyaan yang
bisa diajukan adalah jenis praksis apa yang hingga sekarang dilakukan PDI-P
yang membuat orang melihat partai ini sebagai partai yang memihak orang
kecil? Ajaran-ajaran Bung Karno, misalnya, sering disebut sebagai referensi
penting. Namun, internalisasi nasionalisme Bung Karno tak mungkin
dilaksanakan hanya dengan menghafal beberapa puluh pidatonya, betapa pun
menarik latihan itu. Apa yang perlu dilakukan adalah mencari bentuk praksis
yang mengubah nasionalisme sebagai doktrin menjadi nasionalisme sebagai
perilaku politik dan bagaimana nasionalisme direalisasikan dalam dunia yang
tidak bisa menghindar dari proses globalisasi seperti sekarang.
Hal ini menjadi semakin penting
dan aktual apabila kita berbicara pada tingkat politik makro tentang hubungan
pendidikan, ideologi, dan politik. Politik Etis pada awal abad XX telah
mendorong dibukanya sekolah-sekolah modern model Eropa di Hindia Belanda oleh
pemerintah kolonial. Dalam praktiknya, watak kolonial yang ada dalam
pendidikan ini (perbedaan kelas sosial, warna kulit) dan tujuan pendidikan
untuk melestarikan penjajahan di tanah koloni menimbulkan reaksi di kalangan
pribumi untuk membuka sekolah mereka sendiri yang tidak mengikuti rencana
persekolahan kolonial dan tidak bergantung kepada subsidi pemerintahan
kolonial, untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang bertujuan membentuk
kesadaran nasional pribumi dan meningkatkan kecerdasan dan martabat mereka.
Pemerintah kolonial menyebutnya
wilde school atau sekolah liar. Di antara sekolah-sekolah itu ada beberapa
yang berkembang luas dan mempunyai pengaruhbesar, seperti Taman Siswa yang
dipimpin Ki Hajar Dewantara, dan INS Kayutanam di Sumatera Barat yang
dipimpin oleh SM Latif.
Sekolah
politik
Tulisan ini ingin memberi
perhatian khusus kepada sekolah-sekolah atau bentuk pendidikanyang dilakukan
oleh para pemimpin politik dalam perjuangan kemerdekaan dan bagaimana para
pemimpin politik itu terlibat dalam pekerjaan pendidikan. Setelah Soekarno
sebagai pimpinan PNI ditangkap pada 1929 serta dinyatakan bersalah dan
dihukum penjara pada 1930, beberapa kelompok di bawah pimpinan Hatta dan
Sjahrir berusaha dari tahun 1931 hingga 1932 mendirikan PNI Baru, sebagai
Pendidikan Nasional Indonesia. Tujuan PNI Baru adalah memberikan pendidikan
politik berdasarkan apa yang dilihatnya sebagai kekurangan PNI lama (Partai
Nasional Indonesia) di bawah pimpinan Soekarno.
Menurut Hatta, PNI yang dipimpin
Soekarno partai kaum terpelajar, partai kaum intelek, karena hanya kaum
terpelajar yang dianggap sebagai pemimpin. Hatta menulis ”Pendidikan Nasional Indonesia mengambil pelajaran dari keadaan yang
lama, bahwa partai tidak bisa kuat, kalau ia hanya partai di tangan
pemimpin-pemimpin saja. Dan ia mempunyai keyakinan bahwa Indonesia Merdeka
hanya dapat dipertahankan kalau nasibnya ditanggung oleh rakyat bersama.
Indonesia tidak bisa kuat dan merdeka kalau rakyat hanya tahu menerima perintah
saja”. Partai yang hanya tergantung pemimpinnya akan bubar jika
pemimpinnya ditangkap dan tak ada anggota lain yang sanggup mengambil alih
kepemimpinan.
Karena itulah pendidikan ini harus
dapat membentuk kader yang punya pengetahuan dan keahlian yang amat
diperlukan dalam mengambil alih administrasi dan birokrasi pemerintahan
apabila tenaga-tenaga administratif kolonial sudah meninggalkan Hindia
Belanda setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya. Ini reaksi Hatta dan
Sjahrir terhadap PNI Lama yang sangat mengandalkan agitasi dalam perjuangan
politiknya. Menurut pendapat keduanya, agitasi diperlukan sebagai pembuka
jalan untuk mendapat massa pendukung. Namun, agitasi saja tidak cukup kalau
tidak disertai oleh pendidikan kader-kader yang mempunyaikeahlian,
keterampilan, dan keyakinan.
Dalam kata perkenalan untuk
berdirinya Pendidikan Nasional Indonesia Hatta menulis ”Sifat perkumpulan
kita pendidikan,karena memang maksud kita mendidik diri kita. Politik di
negeri jajahan terutama berarti pendidikan. Politik menurut pengertian biasa
tidak dapat dijalankan kalau rakyat tidak mempunyai keinsafan dan
pengertian”. Hal ini penting karena keinsafan dan pengertian membuat semangat
orang menjadi merdeka, biarpun Indonesia masih diperintah orang asing. Kalau Hatta
dan Sjahrir melihat pentingnya perimbangan antara kaum terpelajar dan rakyat
dalam menjalankan kepemimpinan, Soekarno justru setelah Indonesia mencapai
kemerdekaannya melihat pentingnya perimbangan antara pria dan wanita dalam
menjalankan kepemimpinan politik.
Setelah pemerintah pusat RI pindah
tempat dari Jakarta ke Yogyakarta, Soekarno mengadakan kursus dua mingguan
yang dinamainya ”kursus wanita”. Persoalan wanita ini perlu dibahas secara
mendalam karena, dalam pandangan Soekarno ketika itu, ”soal wanita adalah
soal masyarakat”. Ini artinya masyarakat tidak dapat didorong maju kalau
tidak ada pemecahan yang memuaskan atas persoalan wanita ini. Lagi pula,
menurut Soekarno, ”kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun
masyarakat (…………………) jika kita tidak mengerti soal wanita”. Kuliah dan
ceramah dalam kursus wanita ini kemudian dibukukan dengan judul Sarinah.
Diskriminasi
jender
Mengherankan bahwa pada
pertengahan tahun 1940-an Soekarno sudah membahas secara mendalam tema-tema
tentang kaum perempuan yang baru mendapat perhatian para aktivis feminis dan
studi akademis di Indonesia tahun 1980-an hingga sekarang. Persoalan yang
menarik perhatian Soekarno adalah kemerdekaan kaum perempuan dari berbagai
bentuk diskriminasi yang dialami seseorang hanya karena dia perempuan.
Diskriminasi itu terlihat dalam
kecilnya kesempatan bagi kaum perempuan mendapat pendidikan yang mereka
kehendaki, pembagian kerja domestik yang amat memberatkan perempuan karena
kerja mereka dalam rumah tangga tak kenal jam kerja dan tak dapat kompensasi
keuangan, terbatasnya lapangan kerja bagi perempuan di sektor formal dan
publik, serta kenyataan bahwa mereka menerima upah lebih kecil dari laki-laki
untuk jenis pekerjaan sama. Soekarno mengutip dua baris sajak seorang penyair
Inggris: man works from rise to set of
sun/woman’s work is never done, yang diterjemahkannya sendiri: lelaki kerja dari matahari terbit sampai
terbenam/perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam.
Dia mencoba menguraikan secara
kritis sebab-musabab diskriminasi ini. Alasan hukum kodrat yang membedakan
laki-laki dan perempuan ditolaknya. Kodrat tak akan melakukan diskriminasi
terhadap perempuan. Perbedaan seksual dan perbedaan konstitusi tubuh tak
harus membawa orang kepada diskriminasi jender. Perbedaan dalam peran dan
hak-hak adalah ciptaan masyarakat yang diwakili kaum laki-laki untuk
mendapatkan hak istimewa dalam ekonomi dan status lebih tinggi secara sosial.
Alasan biologis yang mengatakan volume otak perempuan lebih kecil dari laki-laki
juga ditolaknya.
Dia menunjukkan statistik hasil
penelitian beberapa biolog yang menunjukkan secara rata-rata berat otak kaum
laki-laki berada di antara 1.325 gram-1.399 gram, sementara otak perempuan
1.183 gram-1.252 gram. Keberatan terhadap data ini ada dua. Pertama,
laki-laki lebih besar otaknya, tetapi juga lebih besar badannya. Kalau
rata-rata berat otak dibagi berat tubuh hasilnya 21,6 gram per kg tubuh
laki-laki. Sementara kalau rata-rata berat otak perempuan dibagi berat tubuh
mereka hasilnya 23,6 gram per kg tubuh perempuan. Artinya, rata-rata berat
otak perempuan dibagi berat tubuhnya lebih tinggi dari berat otak laki-laki.
Keberatan kedua, tingkat
kecerdasan seseorang sering tak ada hubungannya secara langsung dengan volume
dan berat otaknya. Ahli matematika dan ahli filsafat Jerman, Leibniz, berat
otaknya hanya 1.300 gram; ahli fisika, Bunsen, 1.295 gram; dan kampiun
politik Perancis, Gambetta, 1.189 gram. Seorang peneliti lain menemui seorang
kuli yang berat otaknya 2.222 gram. Dengan demikian, gugur pula mitos bahwa
kecerdasan laki-laki lebih tinggi dari kecerdasan perempuan. Masih ada banyak
mitos lain yang diuraikan Soekarno yang tak bisa dibahas di sini.
Dia kemudian meninjau gerakan
perempuan di Barat yang dibaginya menjadi tiga angkatan. Pertama, gerakan
istri-istri para hartawan yang fokus perhatiannya membuat dirinya tetap
menarik dan menyenangkan suami mereka. Mereka meningkatkan kemampuan memasak,
menjahit, berhias, untuk menyempurnakan keperempuanan mereka. Status
patriarkis suami tak diganggu gugat. Kedua, gerakan kaum feminis yang
bertujuan mencapai persamaan hak dengan laki-laki dalam pekerjaan dan hak
pilih. Tokoh yang sangat terkenal pada awal feminisme adalah Abigail Smith
Adams, yang kemudian menjadi istri John Adams, presiden kedua Amerika
Serikat. Ketiga, gerakan perempuan dalam kerangka sosialisme, seperti yang
diteorikan August Bebel di Jerman, bahwa perjuangan wanita adalah perjuangan
kelas menentang kapitalisme.
Soekarno tidak mengusulkan cara
mana yang sebaiknya diterapkan di Indonesia, tetapi amat mengusulkan bahwa
perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi yang menghambat kemajuan mereka
dan menghambat sumbangan yang dapat mereka berikan kepada kemajuan bangsa.
Soekarno melihat perlunya
perimbangan antara laki-laki dan perempuan, sementara Tan Malaka melihat
perlunya menegakkan martabat dan hak-hak orang yang miskin dan tertindas oleh
perbedaan kelas. Dia memilih menjadi guru bagi anak-anak kuli kontrak yang
bekerja di 500-an onderneming perkebunan tembakau di Deli, dengan mengajar di
perkebunan itu mulai Desember 1919 hingga Juni 1921. Usahanya mendapat
tentangan keras dari tuan-tuan perkebunan, yang beranggapan bahwa anak-anak
yang bersekolah lebih banyak menimbulkan masalah dan keributan di perkebunan,
dibandingkan kuli-kuli yang menjalankan tugas dengan diam-diam dan patuh. Tan
Malaka melihat kemiskinan dan kebodohan adalah lingkaran yang melestarikan
orang-orang kecil dalam penindasan terus-menerus. Sekolah dapat menembus
lingkaran ini dan membuat seorang yang membaca dan menulis melihat nasib
sebagai sesuatu yang dapat dibangunnya sendiri dan bukan oleh orang lain.
Tiga contoh ini kiranya cukup
untuk mengilustrasikan hubungan di antara pendidikan dan politik, serta
bagaimana seorang pemimpin menerjemahkan ideologi secara khas bagi perjuangan
politiknya. Hatta dan Sjahrir melihat kemerdekaan sebagai bebasnya seseorang
dari ketergantungan mutlak kepada pemimpin politik dan adanya keterampilan
untuk bekerja. Soekarno melihat kemerdekaan sebagai terlepasnya kaum perempuan
dari jebakan diskriminasi, yang membuat mereka tak bisa memberikan sumbangan
yang dapat mereka berikan untuk kemajuan. Tan Malaka melihat kemerdekaan
sebagai terlepasnya orang dari jebakan kebodohan dan kemiskinan, dengan empat
perangkap yang melestarikan orang miskin sebagai pihakyang destituteatau
miskin papa sedari awal, yang dispossessed
atau dirampas harta miliknya, yang displaced atau kehilangan tempat tinggal,
dan yang discriminated, yaitu yang dirampas hak-haknya secara hukum dan
politik.
Mungkin ada gunanya pemimpin
politik masa sekarang mempelajari lagi bagaimana para pendiri Republik
membangun dan merealisasikan ideologi agar pembicaraan politik tentang
ideologi dewasa ini tidak menjadi bunyi nyaring yang keluar dari tong kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar