Resolusi Konflik ala NU
Akh Muzakki ; Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Profesor Sosiologi Pendidikan UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 04 Agustus 2015
HARI-HARI ini saya menerima serangkaian pesan pendek
melalui telepon genggam. Substansinya rata-rata mengungkapkan keprihatinan
atas kegaduhan Muktamar Ke-33 NU di Jombang. Ini salah satunya: Prof, gimana
muktamar NU kok rusuh terus? Memprihatinkan. Yang lain: Gimana update muktamar? Apa benar deadlock?.
Memang, publik menyimak kegaduhan muktamar NU itu. Bahkan,
Jawa Pos (3/8/2015) membandingkan pelaksanaan Muktamar NU di atas dengan
Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar. Judul laporannya menarik: Nahdlatul
Ulama Gaduh, Muhammadiyah Teduh.
Kesan cepat pun muncul: kegaduhan di muktamar NU identik
dengan konflik. Maka, ada dua kata yang kemudian menghunjam pada lubuk
terdalam pikiran publik: konflik (conflict)
dan penyelesaiannya (resolution).
Penjelasan akademik situs ensi klo pedia Wikipedia berikut
penting untuk dijadikan sebagai referensi pemahaman. Conflict diartikan sebagai the general pattern of groups dealing
with disparate ideas (pola umum kelompok berlainan dalam berurusan dengan
gagasan yang berbeda).
Perbedaan pandangan terhadap sesuatu di luar diri individu
menimbulkan perbedaan dalam menyikapi sesuatu itu. Proses bergeraknya
perbedaan pandangan ke perbedaan penyikapan tersebut selanjutnya menimbulkan
pola. Dan, pola itulah yang lalu menjadi konteks dan latar belakang munculnya
dinamika yang mengitari relasi antarindividu dan atau antarkelompok dimaksud.
Jadi, konflik sesuatu yang wajar dalam kehidupan kemanusiaan.
Lalu, publik biasanya tertarik atas bagaimana perbedaan
pandangan yang menimbulkan perbedaan penyikapan tersebut bisa diselesaikan
internal individu dan kelompok itu. Nah, cara penyelesaian itulah yang
disebut dengan istilah resolusi konflik (conflict
reconciliation).
Wikipedia memberikan pemaknaan menarik atas frasa tersebut
sebagai berikut: the methods and
processes involved in facilitating the peaceful ending of conflict … often by
actively [members’] communicating information about their conflicting motives
or ideologies to the rest of the group and by engaging in collective
negotiation.
Artinya kira-kira begini: resolusi konflik merupakan metode dan proses yang terlibat dalam
memfasilitasi penyelesaian akhir konflik secara damai ... yang sering
dilakukan dengan aktifnya anggota mengomunikasikan informasi tentang motif
yang saling bertentangan atau ideologi ke seluruh kelompok dan dengan
terlibat dalam negosiasi kolektif.
Nah, pemahaman terhadap bagaimana resolusi konflik ala NU
di atas bisa didapatkan melalui telaah atas pernyataan argumentatif Rais Am
KH Mustofa Bisri pada sidang pleno lanjutan atas penentuan tata tertib
muktamar setelah temu khusus para kiai sepuh. Sambutan KH Mustofa Bisri itu
sangat efektif untuk meredakan ketegangan. Air mata pun bercucuran di dalam
arena sidang.
Bahkan, detikcom (3/8/2015) melakukan reportase atas
efektivitas itu dengan judul begini: Air Mata Gus Mus di Sidang Pleno
Muktamar NU. Liputan detikcom tersebut menurunkan isi sambutan KH Mustofa
Bisri secara utuh verbatim.
Inilah pernyataan KH Mustofa Bisri yang menjadi bukti
efektif atas poin pembelajaran resolusi konflik di atas: Dengarkanlah saya
sebagai pemimpin tertinggi Anda. Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau
perlu saya mencium kaki-kaki Anda semua agar mengikuti akhlaqul karimah,
akhlak KH Hasyim Asy’ari dan pendahulu kita.
Pembelajaran resolusi konflik oleh KH Mustofa Bisri sangat
menarik. Berkutat semata pada wilayah material konflik disadari tidak banyak
membantu. Cara yang dilakukan tidak hanya menarik keluar ke wilayah
etis-moral, melainkan juga membangunkan kembali kesadaran kepada roh
perjuangan pendiri NU: KH Hasyim Asy’ari.
Kerendahan hati KH Mustofa Bisri dengan ungkapan ”saya
mencium kaki-kaki Anda” justru menjadi teguran keras bagi kaum nahdliyin yang
menjadi peserta muktamar. Kalau rais am sudah akan mencium kaki warga NU,
tentu itu peringatan yang luar biasa atas kekeliruan nahdliyin. Sebab, dalam
basis tradisi NU, bukan kiai yang mencium kaki santrinya, melainkan santri
yang mencium kaki kiainya. Kerendahan hati KH Mustofa Bisri itu berbalut
pesan mendasar: jangan pernah meninggalkan akhlak dalam hidup berorganisasi!
Kedua, meskipun wilayah etis menjadi panglima pengendali
moral kehidupan, wilayah material yang menjadi titik perselisihan pandangan
dan penyikapan juga tetap diberikan perhatian saksama dalam model resolusi
konflik ala NU.
Berikut pernyataan KH Mustofa Bisri yang bisa dijadikan
sebagai bukti penguat: Apabila ada pasal yang belum disepakati dalam muktamar
tentang pemilihan rais am, tak bisa melalui musyawarah mufakat, maka akan
dilakukan pemungutan suara oleh para rais syuriah. Kalau nanti Anda-Anda
tidak bisa disatukan lagi, maka saya dengan para kiai memberikan solusi,
kalau bisa musyawarah, kalau tak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita.
Karena ini urusan pemilihan rais am, maka kiai-kiai akan memilih pemimpin
kiai.
Posisi kiai-kiai sepuh –sebagian di luar struktur syuriah–
menjadi kekuatan pengikat dan penyambung.
Itulah resolusi konflik model NU. Resolusi yang berbasis
kearifan lokal. Bentuknya tidak saja bergerak di wilayah material yang
menjadi titik perselisihan, melainkan juga keluar dari wilayah material ke
wilayah etis-moral dengan institusi kiai sebagai rujukan utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar