Kamis, 06 Agustus 2015

Resolusi Konflik ala NU

Resolusi Konflik ala NU

Akh Muzakki  ;  Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Profesor Sosiologi Pendidikan UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                      JAWA POS, 04 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI-HARI ini saya menerima serangkaian pesan pendek melalui telepon genggam. Substansinya rata-rata mengungkapkan keprihatinan atas kegaduhan Muktamar Ke-33 NU di Jombang. Ini salah satunya: Prof, gimana muktamar NU kok rusuh terus? Memprihatinkan. Yang lain: Gimana update muktamar? Apa benar deadlock?.

Memang, publik menyimak kegaduhan muktamar NU itu. Bahkan, Jawa Pos (3/8/2015) membandingkan pelaksanaan Muktamar NU di atas dengan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar. Judul laporannya menarik: Nahdlatul Ulama Gaduh, Muhammadiyah Teduh.

Kesan cepat pun muncul: kegaduhan di muktamar NU identik dengan konflik. Maka, ada dua kata yang kemudian menghunjam pada lubuk terdalam pikiran publik: konflik (conflict) dan penyelesaiannya (resolution).

Penjelasan akademik situs ensi klo pedia Wikipedia berikut penting untuk dijadikan sebagai referensi pemahaman. Conflict diartikan sebagai the general pattern of groups dealing with disparate ideas (pola umum kelompok berlainan dalam berurusan dengan gagasan yang berbeda).

Perbedaan pandangan terhadap sesuatu di luar diri individu menimbulkan perbedaan dalam menyikapi sesuatu itu. Proses bergeraknya perbedaan pandangan ke perbedaan penyikapan tersebut selanjutnya menimbulkan pola. Dan, pola itulah yang lalu menjadi konteks dan latar belakang munculnya dinamika yang mengitari relasi antarindividu dan atau antarkelompok dimaksud. Jadi, konflik sesuatu yang wajar dalam kehidupan kemanusiaan.

Lalu, publik biasanya tertarik atas bagaimana perbedaan pandangan yang menimbulkan perbedaan penyikapan tersebut bisa diselesaikan internal individu dan kelompok itu. Nah, cara penyelesaian itulah yang disebut dengan istilah resolusi konflik (conflict reconciliation).

Wikipedia memberikan pemaknaan menarik atas frasa tersebut sebagai berikut: the methods and processes involved in facilitating the peaceful ending of conflict … often by actively [members’] communicating information about their conflicting motives or ideologies to the rest of the group and by engaging in collective negotiation.

Artinya kira-kira begini: resolusi konflik merupakan metode dan proses yang terlibat dalam memfasilitasi penyelesaian akhir konflik secara damai ... yang sering dilakukan dengan aktifnya anggota mengomunikasikan informasi tentang motif yang saling bertentangan atau ideologi ke seluruh kelompok dan dengan terlibat dalam negosiasi kolektif.

Nah, pemahaman terhadap bagaimana resolusi konflik ala NU di atas bisa didapatkan melalui telaah atas pernyataan argumentatif Rais Am KH Mustofa Bisri pada sidang pleno lanjutan atas penentuan tata tertib muktamar setelah temu khusus para kiai sepuh. Sambutan KH Mustofa Bisri itu sangat efektif untuk meredakan ketegangan. Air mata pun bercucuran di dalam arena sidang.
Bahkan, detikcom (3/8/2015) melakukan reportase atas efektivitas itu dengan judul begini: Air Mata Gus Mus di Sidang Pleno Muktamar NU. Liputan detikcom tersebut menurunkan isi sambutan KH Mustofa Bisri secara utuh verbatim.

Inilah pernyataan KH Mustofa Bisri yang menjadi bukti efektif atas poin pembelajaran resolusi konflik di atas: Dengarkanlah saya sebagai pemimpin tertinggi Anda. Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau perlu saya mencium kaki-kaki Anda semua agar mengikuti akhlaqul karimah, akhlak KH Hasyim Asy’ari dan pendahulu kita.

Pembelajaran resolusi konflik oleh KH Mustofa Bisri sangat menarik. Berkutat semata pada wilayah material konflik disadari tidak banyak membantu. Cara yang dilakukan tidak hanya menarik keluar ke wilayah etis-moral, melainkan juga membangunkan kembali kesadaran kepada roh perjuangan pendiri NU: KH Hasyim Asy’ari.

Kerendahan hati KH Mustofa Bisri dengan ungkapan ”saya mencium kaki-kaki Anda” justru menjadi teguran keras bagi kaum nahdliyin yang menjadi peserta muktamar. Kalau rais am sudah akan mencium kaki warga NU, tentu itu peringatan yang luar biasa atas kekeliruan nahdliyin. Sebab, dalam basis tradisi NU, bukan kiai yang mencium kaki santrinya, melainkan santri yang mencium kaki kiainya. Kerendahan hati KH Mustofa Bisri itu berbalut pesan mendasar: jangan pernah meninggalkan akhlak dalam hidup berorganisasi!

Kedua, meskipun wilayah etis menjadi panglima pengendali moral kehidupan, wilayah material yang menjadi titik perselisihan pandangan dan penyikapan juga tetap diberikan perhatian saksama dalam model resolusi konflik ala NU.

Berikut pernyataan KH Mustofa Bisri yang bisa dijadikan sebagai bukti penguat: Apabila ada pasal yang belum disepakati dalam muktamar tentang pemilihan rais am, tak bisa melalui musyawarah mufakat, maka akan dilakukan pemungutan suara oleh para rais syuriah. Kalau nanti Anda-Anda tidak bisa disatukan lagi, maka saya dengan para kiai memberikan solusi, kalau bisa musyawarah, kalau tak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita. Karena ini urusan pemilihan rais am, maka kiai-kiai akan memilih pemimpin kiai.

Posisi kiai-kiai sepuh –sebagian di luar struktur syuriah– menjadi kekuatan pengikat dan penyambung.

Itulah resolusi konflik model NU. Resolusi yang berbasis kearifan lokal. Bentuknya tidak saja bergerak di wilayah material yang menjadi titik perselisihan, melainkan juga keluar dari wilayah material ke wilayah etis-moral dengan institusi kiai sebagai rujukan utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar