Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
06 Agustus 2015
Hampir setiap pergantian
komisioner pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, isu perihal komposisi
komisioner KPK selalu menjadi perhatian. Bahkan, sering kali ada anggapan
yang tidak tepat dengan mengatasnamakan tafsir historis (sejarah pembentukan
KPK). Atau malah menggunakan penalaran yuridis, yang seakan-akan menggariskan
pentingnya KPK memiliki komisioner dari unsur kepolisian dan/atau kejaksaan,
termasuk urgensi adanya mereka di jajaran komisioner KPK. Suatu hal yang
tentu sangat mungkin untuk diperdebatkan.
Membaca
UU KPK
Membaca ketentuan dan sebuah
kebijakan, sangat sulit hanya mendekatinya dengan perspektif tunggal. Apalagi
untuk aturan yang tak secara jelas menyebutkan secara limitatif. Artinya,
ruang menafsirkan menjadi terbuka lebar. Akan halnya soal KPK, tak ada aturan
sedikit pun yang menjelaskan bahwa komisioner di sana merupakan perwakilan
dari berbagai tempat.
UU No 30/2001 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menyebutkan latar belakang kompetensi
sebagai memiliki ijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki
keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum,
ekonomi, keuangan, atau perbankan (Pasal 29). Dari ketentuan ini, tentunya
mustahil mengartikannya sebagai alasan yuridis untuk mengatakan bahwa polisi
dan jaksa sangat wajib ada dalam KPK.
Alasan yuridis lain yang lebih
tidak tepat lagi adalah kutipan beberapa pihak atas Pasal 21 Ayat (5) UU KPK
bahwa: ”Pimpinan KPK sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah
penyidik dan penuntut umum”. Penafsiran ini berdasarkan pemikiran bahwa
pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum seakan-akan menggariskan harus
adanya penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
perundang-undangan, yakni polisi dan jaksa.
Kalau pasal ini ditafsirkan secara
sangat letterlijk, hasilnya akan lebih kacau lagi karena seakan-akan pimpinan
KPK hanya boleh berasal dari unsur kejaksaan. Pasalnya, hanya kejaksaan yang
dapat bersifat ganda, bersifat penyidik dan penuntut umum dalam perkara
korupsi.
Artinya, mustahil menggunakan
klausul pasal itu untuk membenarkan bahwa harus ada jaksa dan/atau polisi di
KPK. Yang paling mungkin, begitu menjadi pimpinan KPK, UU memberikan
kewenangan secara atributif kepada kelima komisioner KPK untuk bertindak
sebagai penyidik dan penuntut umum.
Dari konsep inilah mustahil
membaca keseluruhan UU KPK (khususnya Pasal 39) dalam konsep bahwa penyidik
perkara korupsi dan penuntut umum perkara korupsi hanya yang berasal dari
kepolisian dan kejaksaan. Sangat mungkin bagi KPK mengangkat penyidik dan
penuntut sendiri dan mendelegasikan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang
dimiliki oleh komisioner KPK tersebut kepada orang yang akan ditugaskan
sebagai penyidik dan penuntut umum di KPK.
Inilah salah satu ”kekeliruan”
yang terjadi dalam putusan salah satu sidang praperadilan tersangka korupsi
yang lalu, yang mengatakan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan melakukan
pengangkatan terhadap penyidik sendiri. Jika KPK tidak berwenang dengan
alasan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK, maka termasuk komisioner KPK pun tak bisa
disematkan status penyidik dan penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Artinya, tidak ada alasan yuridis
yang dapat membenarkan bahwa seakan-akan harus ada polisi atau jaksa yang
hadir di jajaran komisioner KPK oleh karena perintah UU.
Selain alasan yuridis, ada juga
yang menggunakan alasan urgensi kapasitas dan keahlian penyidikan dan
penuntutan. Sulit untuk menolak adanya urgensi kapasitas dan keahlian
penyidikan dan penuntutan di KPK. Siapa pun paham itu adalah kemampuan yang
sudah seharusnya dimiliki oleh KPK. Namun, hal ini juga tidak berarti
komisioner KPK harus dari unsur kejaksaan dan kepolisian. Kapasitas
penyidikan dan penuntutan sesungguhnya bisa dikerjakan oleh penyidik dan
penuntut umum yang bekerja di KPK selaku penyidik dan penuntut umum dari unsur
kejaksaan dan kepolisian.
Apalagi kalau kita lihat dari segi
kiprah unsur kejaksaan dan kepolisian di komisioner KPK sebelumnya. Tanpa
bermaksud menafikan kerja mereka, nyatanya tidak banyak juga yang dapat
mereka lakukan dan inisiasi dalam pola relasi dan kerja hubungan KPK dengan
kejaksaan dan kepolisian. Jika dalam relasi saja minim, apalagi dalam konsep
prestasi pemberantasan korupsi secara lebih luas, yakni termasuk koordinasi
dan supervisi pemberantasan korupsi.
Menentukan
unsur KPK
Dalam sebuah riset bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW)
beberapa tahun silam, tercatat bahwa problem koordinasi dan supervisi tetap
saja tinggi dan ada walaupun pada zaman KPK jilid I dan II ada unsur
kejaksaan dan kepolisian di dalamnya. Relasi tak rapi (atau bahkan
pembangkangan) konsep koordinasi dan supervisi sesungguhnya tidak berada pada
ada tidaknya unsur kejaksaan dan kepolisian. Akan tetapi, pada kemampuan
membangun peraturan yang kuat dan rinci, sekaligus itikad secara kelembagaan
untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, KPK tidaklah
dapat dikatakan sebagai Komisi Perwakilan Kejaksaan atau Komisi Perwakilan
Kepolisian. Tak perlu ada logika perwakilan di tubuh KPK. Sesungguhnya, UU
juga tidak menentukan hal itu. Oleh karena itu, yang paling penting dilakukan
adalah menentukan apa yang dibutuhkan oleh KPK dalam kondisi saat ini, lalu
menentukan unsur yang masuk di KPK. Dan inilah tugas panitia seleksi
(pansel). Pansel KPK tidaklah dibentuk untuk hanya menjadi semacam event
organizer dari sebuah proses seleksi, tetapi juga merupakan pengambil
keputusan dari ”haru biru” dan kerja KPK ke depan.
Oleh karena itu, untuk
pemberantasan korupsi hingga empat tahun ke depan, pansel pulalah yang
harusnya menentukan corak dan model komisioner KPK apakah yang sesungguhnya
dibutuhkan dalam melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Pemberantasan
korupsi apa yang mau dikedepankan dalam empat tahun ke depan. Pansel harus
memperhatikan sektor-sektor prioritas pemberantasan korupsi, dan dari situlah
KPK menentukan unsur yang pas bagi komposisi KPK.
Semoga Pansel KPK tidak terjebak
pada logika pragmatis bahwa karena relasi KPK dengan kepolisian/kejaksaan
sedang buruk, maka harus ada orang kejaksaan dan kepolisian yang dibawa ke
komisioner KPK untuk memperbaiki hal itu. Logika ini tentu sangat pragmatis.
Apalagi, seperti yang dituliskan
sebelumnya, tidak ada bukti yang bisa menjelaskan hal itu. Bahkan, alih-alih
menciptakan relasi yang lebih baik, malah sangat mungkin yang akan terjadi
sebaliknya: justru menjadi momok yang mendomestikasi kegarangan KPK dalam
bertindak.
Oleh karena itu, sekali lagi,
silakan Pansel KPK menentukan sektor dan wilayah prioritas pemberantasan
korupsi hingga empat tahun ke depan, lalu pilihlah orang yang pas untuk
mengawal hal tersebut. Semoga tanpa embel-embel pragmatisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar