Akal Sehat
Bre Redana ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
02 Agustus 2015
Anak-anak terutama dari kalangan berkecukupan yang
sehari-hari berbahasa Inggris tidaklah perlu dioposisikan dengan nasib bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan maupun ekspresi jati diri bangsa.
Biarlah anak-anak manis itu berbahasa Inggris entah dengan grammar yang rapi
atau berlepotan, dan membuat bangga orangtua yang tak paham kaidah bahasa.
Yang perlu lebih dikhawatirkan, baik pada anak-anak maupun orangtua bahkan,
adalah hilangnya common sense atau
kita sebut secara sederhana: akal sehat.
Soal bahasa yang terucap, kalau Anda kenal para ahli
semiologi, tidaklah seberapa dibanding aspek komunikasi secara keseluruhan.
Bahasa Jawanya: ora sepiroo. Roland Barthes, yang tulisannya berjudul The Death of the Author banyak dikutip
orang yang ingin kelihatan pintar, pasti juga akan mengatakan kecilnya
persentase linguistik. Dalam keseluruhan komunikasi manusia tersertakan
hal-hal lain, seperti simbol, kode, tanda, citra, bahasa tubuh, suara musik,
obyek, dan lain-lain berikut asosiasi yang kompleks dari itu semua. Seribu
kali ucapan I love you dari cewek
di Plasa Senayan, barangkali tidak semenyentuh dibanding kata yang terucap
sekali seumur hidup dari seorang wanita kepada pasangannya, dalam bahasa Jawa
pula: tresno. Bayangkanlah, ruang
dan waktu terpadatkan di situ. Dunia berhenti bergerak.
Hanya dengan kekayaan referensi, kemampuan imajinasi, tak
ketinggalan kepekaan terhadap jalannya alam Anda bisa memahami tanda-tanda
yang subtil semacam itu, yang terdapat pada semua suku bangsa. Satu bahasa
asing, yang paling dominan di planet ini sekalipun, tak akan mampu menjadi
pemborong tunggal dari kekayaan simbol dan makna yang dimiliki oleh setiap
bahasa.
Oleh karenanya, tak berlebihan kalau ada yang melihat,
krida bahasa ada kaitannya dengan totalitas krida manusia, menyangkut
pikiran, tubuh, daya—mind, body, spirit.
Kalau pikiran kusut, bahasa akan kusut. Di profesi yang berhubungan dengan
teks dan bahasa, tak kurang banyaknya yang pikirannya kusut. Kalimatnya
membingungkan dan bikin geregetan.
Dunia digital memberi andil, bagaimana ilusi menggantikan
imajinasi, mimpi menggantikan akal sehat. Di televisi, orangtua mendorong
anak-anaknya untuk jadi penyanyi, penari, pelawak, dan lain-lain pelaku dunia
hiburan. Realitas gadungan dunia digital telah membuat ilusi melampaui
kenyataan sehari-hari, melampaui kesadaran bahwa sejatinya ada yang tak bisa
ditinggalkan dari penjadian seseorang, yakni proses.
Seiring pemujaan terhadap percepatan (quickness), proses makin tersingkirkan. Kalau bisa kaya dengan
segera, mengapa harus bekerja dengan susah payah. Para motivator paling ahli
mengkhotbahkan bagaimana menjadi kaya dalam waktu cepat, sukses secara
mendadak, problem hidup bisa luntur seketika dengan mantra power point.
Terpisahnya pikiran dari kenyataan obyektif berarti juga
terganggunya keselarasan antara otak dan tubuh. Orang tergopoh-gopoh. Pada
hari pertama masuk sekolah beberapa waktu lalu, di sejumlah tempat orangtua
berebutan bangku untuk anak-anaknya. Mereka menduduki bangku di kelas
terlebih dahulu, seperti para calo di gerbong kereta api zaman dulu. Itulah
pelajaran budi pekerti pertama untuk anak-anak: saling serobot.
Sebegitu miskinkah kita sehingga kalau tidak berebutan
bakal tak mendapat bagian? Kemiskinan telah bertransformasi menjadi budaya
miskin. Dalam hal ini subyeknya tak selalu harus mereka yang hidupnya
berkekurangan. Dia bisa menghinggapi siapa saja, termasuk orang-orang kaya
yang menderita post scarcity syndrome—sindroma
berkekurangan. Kondisi budaya miskin atau disebut antropolog the culture of poverty inilah yang
mengorup akal sehat.
Anda kaya, anak-anak Anda mau berbahasa Inggris dan kagok
berbahasa Indonesia, silakan. Bahkan mau berbahasa dari planet lain, monggo. Bagi saya, yang menyebalkan
adalah kalau berhadapan dengan orang yang tak punya akal sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar