Senin, 03 Agustus 2015

Akal Sehat

Akal Sehat

Bre Redana ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 02 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Anak-anak terutama dari kalangan berkecukupan yang sehari-hari berbahasa Inggris tidaklah perlu dioposisikan dengan nasib bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan maupun ekspresi jati diri bangsa. Biarlah anak-anak manis itu berbahasa Inggris entah dengan grammar yang rapi atau berlepotan, dan membuat bangga orangtua yang tak paham kaidah bahasa. Yang perlu lebih dikhawatirkan, baik pada anak-anak maupun orangtua bahkan, adalah hilangnya common sense atau kita sebut secara sederhana: akal sehat.

Soal bahasa yang terucap, kalau Anda kenal para ahli semiologi, tidaklah seberapa dibanding aspek komunikasi secara keseluruhan. Bahasa Jawanya: ora sepiroo. Roland Barthes, yang tulisannya berjudul The Death of the Author banyak dikutip orang yang ingin kelihatan pintar, pasti juga akan mengatakan kecilnya persentase linguistik. Dalam keseluruhan komunikasi manusia tersertakan hal-hal lain, seperti simbol, kode, tanda, citra, bahasa tubuh, suara musik, obyek, dan lain-lain berikut asosiasi yang kompleks dari itu semua. Seribu kali ucapan I love you dari cewek di Plasa Senayan, barangkali tidak semenyentuh dibanding kata yang terucap sekali seumur hidup dari seorang wanita kepada pasangannya, dalam bahasa Jawa pula: tresno. Bayangkanlah, ruang dan waktu terpadatkan di situ. Dunia berhenti bergerak.

Hanya dengan kekayaan referensi, kemampuan imajinasi, tak ketinggalan kepekaan terhadap jalannya alam Anda bisa memahami tanda-tanda yang subtil semacam itu, yang terdapat pada semua suku bangsa. Satu bahasa asing, yang paling dominan di planet ini sekalipun, tak akan mampu menjadi pemborong tunggal dari kekayaan simbol dan makna yang dimiliki oleh setiap bahasa.

Oleh karenanya, tak berlebihan kalau ada yang melihat, krida bahasa ada kaitannya dengan totalitas krida manusia, menyangkut pikiran, tubuh, daya—mind, body, spirit. Kalau pikiran kusut, bahasa akan kusut. Di profesi yang berhubungan dengan teks dan bahasa, tak kurang banyaknya yang pikirannya kusut. Kalimatnya membingungkan dan bikin geregetan.

Dunia digital memberi andil, bagaimana ilusi menggantikan imajinasi, mimpi menggantikan akal sehat. Di televisi, orangtua mendorong anak-anaknya untuk jadi penyanyi, penari, pelawak, dan lain-lain pelaku dunia hiburan. Realitas gadungan dunia digital telah membuat ilusi melampaui kenyataan sehari-hari, melampaui kesadaran bahwa sejatinya ada yang tak bisa ditinggalkan dari penjadian seseorang, yakni proses.

Seiring pemujaan terhadap percepatan (quickness), proses makin tersingkirkan. Kalau bisa kaya dengan segera, mengapa harus bekerja dengan susah payah. Para motivator paling ahli mengkhotbahkan bagaimana menjadi kaya dalam waktu cepat, sukses secara mendadak, problem hidup bisa luntur seketika dengan mantra power point.

Terpisahnya pikiran dari kenyataan obyektif berarti juga terganggunya keselarasan antara otak dan tubuh. Orang tergopoh-gopoh. Pada hari pertama masuk sekolah beberapa waktu lalu, di sejumlah tempat orangtua berebutan bangku untuk anak-anaknya. Mereka menduduki bangku di kelas terlebih dahulu, seperti para calo di gerbong kereta api zaman dulu. Itulah pelajaran budi pekerti pertama untuk anak-anak: saling serobot.

Sebegitu miskinkah kita sehingga kalau tidak berebutan bakal tak mendapat bagian? Kemiskinan telah bertransformasi menjadi budaya miskin. Dalam hal ini subyeknya tak selalu harus mereka yang hidupnya berkekurangan. Dia bisa menghinggapi siapa saja, termasuk orang-orang kaya yang menderita post scarcity syndrome—sindroma berkekurangan. Kondisi budaya miskin atau disebut antropolog the culture of poverty inilah yang mengorup akal sehat.

Anda kaya, anak-anak Anda mau berbahasa Inggris dan kagok berbahasa Indonesia, silakan. Bahkan mau berbahasa dari planet lain, monggo. Bagi saya, yang menyebalkan adalah kalau berhadapan dengan orang yang tak punya akal sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar