Sepotong Puisi
Trias Kuncahyono ;
Penulis kolom “Kredensial”
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
02 Agustus 2015
Penyakitku tak terobati, wahai sahabatku laksana bunga.
Hidupku tak berarti tanpamu, wahai sahabatku laksana bunga. Sambil berbaring,
Mullah Mohammad Omar menggumamkan ghazal, puisi tradisional Afganistan itu.
Ia meratapi nasibnya setelah wajah dan mata kanannya terkena serpihan granat
Rusia dalam pertempuran di Sangesar, sebelah barat Kandahar, Afganistan
selatan, awal 1980-an. Serpihan granat membutakan mata kanannya. Omar dikirim
ke Pakistan untuk menjalani perawatan.
Sangesar inilah tempat lahir Taliban (1994), yang oleh
Steve Coll disebut sebagai "kelompok para veteran perang" (The New Yorker, 22/1/2012). Para
veteran ini dulu sama-sama sekolah agama di Kandahar sebelum invasi Rusia. Di
masa itu, Afganistan, terutama Kandahar, menikmati zaman kesentosaan. Banyak
anak muda sekolah di sana. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama,
mereka yang berasal dari suku-suku aristokratik, yang dikenal dengan sebutan
payluch, suka mengisap hashish serta cenderung menikmati hidup dan
bermalas-malasan. Kedua, kelompok talibs, siswa-siswa sekolah agama,
pesantren. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari bersatu, disebut Taliban,
dan dipimpin oleh Mullah Omar (lahir antara 1959 dan 1962).
Kisah hidup Mullah Omar kembali ditulis dan
diperbincangkan setelah beberapa hari silam ia diberitakan meninggal. Bukan
kali ini saja. Dua tahun lalu, pemimpin Taliban yang diburu-buru AS-seperti
dahulu Osama bin Laden pemimpin Al Qaeda-itu sudah dikabarkan mati. Namun,
bernasib lebih baik dibandingkan Osama yang dihabisi AS di Abbottabad,
Pakistan, 2 Mei 2011, Mullah Omar diberitakan mati karena sakit.
Mullah Omar, Osama (yang bertemu dengan Mullah Omar pada Mei
1996 di Kandahar dan Osama menyatakan kesetiaannya kepada Mullah Omar), dan
sekarang Abu Bakar al-Baghdadi pemimpin NIIS (pernah bergabung dengan Osama
di Afganistan) adalah para tokoh yang membuat orang bertanya-tanya, apakah
benar sepenuhnya hipotesis Samuel P Huntington tentang benturan peradaban
itu.
Pada 22 tahun lalu, profesor politik kondang dari
Universitas Harvard, AS, itu menulis esai tentang benturan peradaban. Esai
berjudul "The Clash of
Civilization?" yang dimuat di Foreign Affairs (1993) itu merupakan
hipotesisnya tentang masa setelah konfrontasi ideologi antara komunisme dan
kapitalisme berakhir. Menurut Huntington, saat masa konfrontasi ideologis
berakhir, akan muncul konflik di antara negara-negara yang berbeda kultur dan
agamanya.
Huntington menulis, sumber fundamental konflik dalam dunia
baru terutama bukan lagi ideologi dan ekonomi, melainkan kultural. Negara
bangsa tetap menjadi aktor kekuatan paling utama dalam masalah-masalah dunia,
tetapi konflik utama dari politik global terjadi antara bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok yang berbeda peradaban. Konflik peradaban ini akan
mendominasi politik global. Namun, menurut Moises Naim (The Clash within Civilization), konflik mematikan yang terjadi
sekarang ini justru "dalam peradaban, bukan antarperadaban". Sepak
terjang Taliban dan NIIS, misalnya, membenarkan pendapat Naim itu. Memang
konflik antarperadaban seperti yang diperkirakan Huntington masih juga
terjadi atau ada.
Pendapat Naim itu didukung data yang disodorkan oleh
Global Terrorism Index yang dibuat Institute for Economics and Peace. Selama
2013, hampir 18.000 orang tewas di seluruh dunia karena serangan teroris.
Sebanyak 82 persen adalah korban di Irak, Afganistan, Pakistan, Nigeria, dan
Suriah. Sebanyak 66 persen korban itu dieksekusi oleh NIIS, Boko Haram,
Taliban, atau Al Qaeda. Mereka mengklaim bertanggung jawab. Sementara di AS,
menurut studi New America, sejak tragedi 9/11, serangan teroris lebih banyak
dilakukan oleh kaum supremacist kulit putih dan kelompok sayap kanan lain.
Dylann Roof (21), misalnya, menembak mati sembilan orang di sebuah gereja di
Charleston, 17 Juni 2015 lalu.
Mengapa roh terorisme bisa masuk ke mana-mana, tak peduli
apa budaya pemilik tubuh yang dirasukinya. Barangkali benar yang dikatakan
pada abad pertengahan lalu oleh Richard dari Biara St Victor, Paris, yakni
ubi amor, ibi oculus, 'di mana ada cinta, di situ ada mata'. Cinta menyajikan
kebenaran yang paling benar. Namun, cinta seperti itulah yang kini nyaris
hilang di banyak tempat di dunia ini karena mata hati telah buta sehingga
ghazal indah yang digumamkan Mullah Omar pun tak ada artinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar