Formalisme
dalam Pendidikan Formal
Yohanes Eka Priyatma ; Rektor Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
|
KOMPAS, 18 Mei 2015
Kualitas
pendidikan kita dari tingkat dasar sampai tinggi belum memuaskan. Untuk
tingkat dasar sampai menengah, kualitas rendah pendidikan kita ditandai
dengan peringkat Programme for
International Student Assessment yang terus berada pada kisaran lima terendah
dari sekitar 60 negara sejak tahun 2000.
Untuk
pendidikan tinggi, jumlah karya ilmiah kita masih kalah jauh dengan jumlah
karya ilmiah dari negara-negara tetangga di lingkup ASEAN. Telah banyak usaha
yang dilakukan pemerintah lewat berbagai kebijakan dan program mulai dari
perbaikan kurikulum, model pendanaan seperti lewat dana bantuan operasional
sekolah (BOS), program hibah kompetitif, perbaikan kualitas guru/dosen
melalui program sertifikasi, sampai dengan pemberian otonomi ke beberapa
perguruan tinggi negeri.
Sudah
banyak usaha dan dana digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita,
tetapi sebenarnya yang justru mendasar dan menjadi kunci perbaikan kualitas
tidak tersentuh oleh berbagai program tersebut. Malahan dapat dikatakan bahwa
kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah memperparahnya. Hal yang
diperparah itu adalah formalisme dalam pengelolaan pendidikan dari tingkat
dasar sampai dengan tingkat tinggi.
Yang
saya maksud dengan formalisme adalah pemberian perhatian atau tekanan yang
lebih besar pada aspek-aspek formal/legal kegiatan pengelolaan pendidikan
ketimbang aspek-aspek yang lebih bersifat esensial dan penting terkait tujuan
pendidikan. Tuntutan untuk memenuhi
aspek legal/formal ini justru selalu menjadi bagian penting dan cenderung
mendominasi setiap implementasi program perbaikan kualitas pendidikan yang
digulirkan pemerintah.
Dalam
implementasi Kurikulum 2013, yang akhirnya menjadi kesibukan utama para guru
bukanlah melaksanakan model pembelajaran yang baik dan integratif, melainkan
justru mengolah nilai yang rumit dan rinci karena menyangkut hampir semua
aspek kehidupan siswa.
Begitu
pula dalam pelaksanaan kegiatan penelitian yang didanai pemerintah, para
dosen sangat disibukkan dengan pembuatan laporan keuangan yang sangat rinci
dan bukan oleh kegiatan penelitian dan diseminasi hasilnya. Dalam Laporan
Kinerja Dosen, setiap kegiatan juga harus disertai dengan surat tugas, bahkan
bukti penulisan artikel di jurnal internasional pun baru sah kalau ada surat
tugasnya. Surat tugas itu dibuat kapan dan oleh siapa tidak penting karena
yang penting ada dan dilampirkan.
Taraf akut
Kuatnya
formalisme di dunia pendidikan kita sudah pada taraf akut, bahkan sudah
menjadi semacam ideologi bahwa hal itu menjamin kualitas yang lebih baik.
Padahal, dampaknya adalah pereduksian makna dan praktik pendidikan ke wilayah
formal legalistik. Pembelajaran tereduksi menjadi perkara administrasi nilai.
Penelitian berubah lebih menjadi perkara pembuatan laporan keuangan. Demikian pula, kegiatan pemantauan dan
evaluasi kualitas pendidikan lebih berkutat pada perkara ketersediaan dokumen
dan pemenuhan peraturan.
Dengan
formalisme ini akan menjadi jelas bagi kita semua mengapa pelajaran seni
lebih berupa kegiatan menghafal hal-hal terkait seni karena pada akhir
semester anak harus diuji secara formal pengetahuan seninya. Saya
membayangkan betapa menariknya pelajaran seni ketika anak cukup diminta
membawa alat musik yang paling disukai dan sekolah membantu menguasainya.
Tidak perlu ada ujian mata pelajaran seni, tetapi semua anak lulus dan
alangkah indahnya jika juga ada pentas yang menampilkan aksi pertunjukan
mereka.
Alangkah
prihatinnya kita menyaksikan anak-anak menghafal jenis tombol apa yang harus
ditekan untuk menjalankan program komputer tertentu. Betapa absurdnya
pendidikan kita ketika anak-anak kelas IV SD harus membaca teks padat
kata-kata berbagai definisi tentang kelurahan, kecamatan, sampai lembaga
tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi. Matematika dan Fisika yang
mestinya menjadi pelajaran menarik dan menantang menjadi sangat membosankan
karena aspek formalisme komputasi matematisnya yang justru menonjol
dibandingkan dengan aspek pemecahan masalahnya.
Wabah
formalisme ini mengalir deras sampai ke pendidikan tinggi. Dalam kegiatan seminar, memperoleh
sertifikat sebagai pemakalah merupakan hal yang paling utama, sedangkan
kegiatan diskusi dan debat tentang hasil penelitian cukup dilakukan sebagai
basa-basi. Bahkan, ada usul menjadi guru besar yang ditolak hanya karena
secara rumus matematis angka kreditnya kurang 0,4 dari syarat minimal 400.
Padahal, dosen ini sudah malang melintang di berbagai pertemuan ilmiah dunia.
Formalisme
ini menjadi musuh utama kreativitas dan kejujuran di sekolah. Padahal, sekolah harusnya menjadi tempat
persemaian yang paling ideal bagi tumbuhnya kreativitas dan kejujuran. Mereka
yang mempunyai kejujuran, ketulusan, dan kreativitas pasti akan tidak tahan
menghadapi kuatnya tuntutan formalisme. Mereka akan menyingkir dan mencari
tempat yang lebih sesuai. Pendidikan kita akhirnya kehilangan energi kreatif
dan terperosok masuk ke dunia yang penuh dengan basa-basi yang memuakkan.
Sebenarnya
peringatan akan dampak buruk dari formalisme ini pernah disampaikan rektor
kedua Universitas Indonesia (1951-1954) Prof R Soepomo (Sulistyowati Irianto, 2012). Beliau mengingatkan bahwa perguruan
tinggi tidak boleh ditempatkan sebagai sebuah jawatan belaka di bawah
administrasi Kementerian Pendidikan. Jika demikian, perguruan tinggi akan
menyerahkan dirinya pada formalisme birokrasi dan sebagai akibatnya akan
membinasakan semangat akademik dan perkembangan kehidupannya.
Jauhkan formalisme
Untuk
itu formalisme harus sejauh mungkin dijauhkan dari dunia pendidikan kalau
kita berharap ada perbaikan kualitas secara signifikan. Pemerintah sebagai pihak utama dalam
pengelolaan pendidikan dapat membantu meminimalkan formalisme ini. Dalam
tugasnya menjamin dan memfasilitasi perbaikan kualitas pendidikan, pemerintah
sebaiknya menggunakan instrumen yang pokok dan sederhana. Pemerintah
sebaiknya lebih positif dan percaya dalam memandang dan menempatkan institusi
pendidikan baik negeri maupun swasta.
Dengan
cara pandang ini, institusi pendidikan harus diberi otonomi yang lebih besar
dalam pengelolaan kegiatannya. Pemerintah hanya perlu fokus pada indikator
keluaran kunci seperti kualitas lulusan, prestasi institusi, serta karya dan
kontribusi konkretnya. Aspek lain seperti kelengkapan dokumen, pendanaan,
serta model pengelolaan dipercayakan sepenuhnya kepada institusi, lebih-lebih
untuk institusi swasta.
Kalau
pemerintah saat ini sedang mengusung tema besar "Revolusi Mental",
bagi dunia pendidikan kita, revolusi mental itu paling tepat kita wujudkan
dengan mengikis mental formalisme. Mentalitas formalistik bertentangan dengan
arus utama abad ini yang justru diwarnai demokratisasi, bebas struktur, dan
partisipatif sebagaimana terjadi dalam dunia internet. Pemerintah harus dan
dapat menjadi pihak yang paling utama menyingkirkan formalisme ini dan jangan
justru kelemahan dan kelambanan birokrasinya menyuburkan mental dan praktik
formalisme ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar