Evaluasi
Kinerja Kementerian
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
|
KOMPAS, 18 Mei 2015
Isu
mengenai reshuffle kabinet yang semakin keras disuarakan sejatinya merupakan
hilir dari berbagai situasi sosial dan politik yang berkelindan dengan
berbagai kebijakan publik pemerintah yang dinilai tak cukup efektif untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan publik.
Sengaja
tulisan ini menggunakan pilihan kata evaluasi kinerja "kementerian"
dan bukan hanya "menteri" dalam perspektif sistem pemerintahan
didasarkan atas alasan-alasan berikut.
Pertama,
kebijakan publik sektoral merupakan hasil dari sebuah proses politik dan
birokrasi dalam sebuah organisasi kementerian. Sebagai implikasi dari asas
spesialitas dalam teori hukum administrasi negara, mengingat begitu luasnya
ruang lingkup urusan pemerintahan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg) yang harus dikelola
negara, dilakukannya departemenisasi merupakan suatu keniscayaan yang
menghasilkan kelembagaan pemerintahan sektoral (kementerian dan lembaga
pemerintah non-kementerian/ LPNK) dengan tanggung jawab sektoral
masing-masing. Meski secara vertikal ke atas setiap menteri yang didukung
organisasi kementerian bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala
pemerintahan (the chief of executive),
secara horizontal di dalam ataupun antarorganisasi kementerian itu harus
mengelola berbagai tugas administrasi kementerian sektoral yang tak jarang
saling bersinggungan, berimpit, dan tak jarang kontradiktif.
Berdasarkan
hal itu, diperlukan adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
antar-kewenangan intra dan ekstra organisasi kementerian, termasuk LPNK. Di
sinilah titik terjadinya kerumitan dan kompleksitas permasalahan yang sering
kali harus dihadapi para menteri di dalam struktur kabinet. Sering kali
menteri harus menghadapi "perlawanan birokrasi" di saat harus
mencanangkan konsep reformasi birokrasi atau yang kini lebih sering disebut
revolusi mental.
Gemuknya
struktur organisasi kementerian dan rendahnya kapasitas sumber daya
organisasi selama ini sebagai warisan masa lalu, baik berupa orang, barang,
maupun uang (man, materials, and money), sering menjadi kendala organisasi
yang tak mudah diselesaikan para menteri dalam waktu yang terbatas. Di sisi
lain, beberapa kementerian yang harus mengalami restrukturisasi akibat
penggabungan kementerian di dalamnya
juga harus menghadapi kendala kultural dan mental dalam melakukan penyesuaian
dan penyelarasan kinerja antarstruktur organisasi yang dulunya berasal dari
kementerian yang berbeda.
Kedua,
menteri bukanlah aktor tunggal yang menentukan kebijakan dalam suatu
organisasi pemerintahan. Kebijakan seorang
menteri dari satu kementerian selalu memiliki tali-temali dengan
kebijakan kementerian lainnya. Hadirnya menteri koordinator (menko) pada
awalnya dinisbahkan untuk mengoordinasikan dan menyinergikan kebijakan
sektoral di wilayah kewenangan koordinasinya. Namun, hal itu juga bukan
sebuah pekerjaan mudah bagi seorang menko. Realitas birokrasi pemerintahan
yang sudah sekian lama berwatak sektoral dan lambannya kinerja birokrasi yang
cenderung berwatak konservatif sering menjagal upaya menko dalam
menyinergikan kebijakan sektoral.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa birokrasi yang terkotak-kotak dengan watak
kultural organisasi sektoral yang berbeda-beda mewariskan arogansi dan
egoisme sektoral secara turun- temurun lintas generasi birokrasi. Kehadiran
UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang mengukuhkan
eksistensi Badan Standardisasi Nasional dan UU No 30/2014 tentang
Administrasi Pemerintahan sejatinya ditujukan untuk menata standar
operasional prosedur dan standar administrasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan sinergi substantif
kebijakan sektoral agar mendukung kinerja para menko yang bertanggung jawab
atas aspek sinergi dan harmonisasi kelembagaan formal organisasi sektoral
yang berada di wilayah tugas, pokok, dan fungsinya.
Berdasarkan
argumentasi di atas, dalam rangka kebutuhan rutin Presiden dan Wakil Presiden
untuk melakukan evaluasi kinerja para menteri perlu dilakukan secara
komprehensif sehingga evaluasi kinerja harus diarahkan pada evaluasi
menyeluruh atas kelebihan dan hambatan yang dialami institusi kementeriannya,
bukan sekadar terhadap kinerja personal menterinya. Hal ini penting agar
dihasilkan solusi menyeluruh atas kelemahan kinerja organisasi pemerintahan
yang terjadi dan tak menyeret persoalan evaluasi kinerja organisasi
kementerian ke ranah politik transaksional yang sekadar didorong syahwat
bagi-bagi kekuasaan politik dengan memperluas basis dukungan koalisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar