Perlindungan
Kontraktor
Sarwono Hardjomuljadi ; Pengamat Kontrak Konstruksi
Universitas Mercu Buana, Jakarta
|
KOMPAS, 18 Mei 2015
Presiden
Jokowi menyatakan bahwa pelaksanaan konstruksi proyek-proyek pemerintah harus
dipercepat penyelesaiannya. Suatu penggalan kalimat yang dalam pelaksanaannya
memerlukan suatu pemahaman mendalam atas tahapan pembangunan infrastruktur,
khususnya tahap pelaksanaan konstruksi oleh semua pemangku kepentingan
kegiatan proyek konstruksi pemerintah.
Pelaksanaan
proyek konstruksi pemerintah memerlukan dukungan tenaga kerja yang memenuhi
kriteria keahlian tertentu dan badan usaha yang mempunyai kemampuan manajemen
dan keuangan yang memenuhi persyaratan. Keduanya dilaksanakan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi dalam bentuk penerbitan sertifikat keahlian
(SKA) dan sertifikat badan usaha (SBU) yang merupakan prasyarat penerbitan
surat izin usaha jasa konstruksi (SIUJK) yang diterbitkan oleh pemerintah
daerah terkait.
Apakah
dengan menunjuk pelaksana konstruksi yang bersertifikat telah merupakan suatu
jaminan akan terlaksananya proyek konstruksi pemerintah dengan baik?
Jawabnya: tidak selalu demikian, karena tantangan utama yang dihadapi adalah
perilaku manusianya, bukan perizinan atau pemenuhan persyaratan sesuai aturan
yang berlaku.
Kekhawatiran tersangkut pidana
Dalam
rangka melaksanakan percepatan pembangunan sesuai keinginan Presiden Jokowi,
perlu dipahami permasalahan apa yang merupakan tantangan utama pada proyek
konstruksi pemerintah yang umumnya dilaksanakan penyedia jasa kontraktor
berdasarkan suatu perjanjian kontrak,
yang diawali dengan suatu proses tender. Prosedur tender proyek
pemerintah harus tunduk pada Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 jo Peraturan
Presiden No 70 Tahun 2012 yang tak lepas dari UU No 18 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000.
Sangat
rincinya aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah menyebabkan hampir dapat
dipastikan terjadinya suatu pelanggaran, bahkan bagi para pelaksana pengadaan
barang/jasa pemerintah yang sudah berpengalaman dan sangat berhati-hati dalam
melaksanakan tugasnya. Sanggahan hingga pengaduan selalu bermunculan, tak
jarang berujung pada panggilan penegak hukum, karena keterkaitan dengan
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Bagi
pelanggaran yang disengaja, hal ini perlu untuk menimbulkan efek jera, tetapi
bagi pelanggaran tidak disengaja yang lebih merupakan kekeliruan administrasi
pun, akan sama dampaknya karena setiap kesalahan akan dilihat sama di hadapan
hukum, apa pun penyebab dan alasannya.
Saat ini
panggilan untuk pemeriksaan oleh penegak hukum tak hanya terkait dengan tahap
pengadaan. Pada tahap pelaksanaan fisik konstruksi dan bahkan setelah serah
terima pekerjaan pun, hal ini masih bisa terjadi. Selama ini marak dugaan
adanya upaya "kriminalisasi" oleh penegak hukum, yang akhirnya
menjadi momok bagi kelompok kerja (pokja), pejabat pembuat komitmen (PPK),
hingga satuan kerja (satker) pelaksana tender proyek pemerintah yang pada
akhirnya berakibat terlambatnya jadwal dimulainya pelaksanaan fisik proyek
akibat tender proyek konstruksi yang berlarut-larut.
Dalam
hal ini, kesalahan tak bisa ditimpakan kepada penegak hukum karena sebetulnya
ini bukanlah suatu upaya "kriminalisasi" atau yang lain. Hal ini karena
secara jelas tercantum pada Pasal 41 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, di mana masyarakat dapat berperan serta dengan hak mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi,
dengan hak menyampaikan saran dan pendapatnya. Bahkan, masyarakat mempunyai
hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Berdasarkan
UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15,
Polri berwenang menerima laporan dan/atau pengaduan dan kemudian mencari
keterangan dan barang bukti, serta memanggil terlapor. Kedua UU di atas,
berjalan bersama dengan UU No 18 Tahun 1999 Pasal 43 yang memuat ancaman
pidana, akan memberi jalan pada pemeriksaan oleh penegak hukum, dalam hal ini
Kejaksaan dan Polri.
Tantangan
pembangunan infrastruktur konstruksi tidak berhenti sampai selesainya tahapan
pengadaan (procurement). Pada pelaksanaan fisik konstruksi, juga banyak
aturan perundangan yang jika dibaca secara harfiah akan bisa mengakibatkan
banyak tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau
pelanggaran peraturan perundangan. Pada saat pelaksanaan konstruksi, terdapat
suatu ketentuan perundangan, yaitu UU No 18 Tahun 1999 Pasal 43, yang secara
jelas mencantumkan bahwa pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
bangunan atau kegagalan konstruksi dapat dikenai pidana lima tahun dan denda
10 persen dari nilai kontrak bagi perencana serta pidana lima tahun dan 10
persen dari nilai kontrak yang diawasinya bagi pengawas pekerjaan di mana di
dalamnya termasuk pejabat pemerintah terkait serta pidana lima tahun dan
denda 5 persen dari nilai kontrak.
Melihat
pasal di atas, sanksi terberat dalam hal terjadi kegagalan bangunan atau
kegagalan konstruksi sebenarnya adalah bagi pengawas pekerjaan karena denda
10 persen dari nilai kontrak pekerjaan yang diawasinya, padahal kontraktor
hanya dikenai denda 5 persen dari nilai kontrak pekerjaan yang dilaksanakannya.
Berdasarkan
studi yang penulis lakukan pada proyek pemerintah dan BUMN berdasarkan
kuesioner yang dilaksanakan pada 2009, hambatan utama kelambatan dimulainya
pekerjaan konstruksi adalah "kesiapan lahan kerja" terkait dengan
kepemilikan lahan (possession of site). Adapun pada studi sejenis yang
dilaksanakan tahun 2013, hambatan utama menjadi "lambatnya pengambilan
keputusan oleh pengguna jasa" (slow decision making of the employer).
Pendalaman atas penyebab di atas, ternyata berujung pada kekhawatiran akan
terkena pidana sesuai UU 18 Tahun 1999 Pasal 43 di atas.
Contohnya,
definisi kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi. Kegagalan bangunan
menurut PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34: "Kegagalan bangunan merupakan
keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun
sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau
keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna
Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi". Sementara kegagalan
konstruksi menurut PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31: "Kegagalan pekerjaan
konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan
spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi
baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau
penyedia jasa".
Kegagalan
bangunan tidak terbatas pada keruntuhan bangunan saja, tetapi termasuk juga
bangunan yang sudah dibangun, tetapi tidak berfungsi atau tidak bermanfaat.
Contoh sederhana kegagalan bangunan: (1) bangunan yang roboh, (2) bangunan
yang telah selesai dibangun tetapi tidak dapat dimanfaatkan, baik karena
alasan teknis maupun alasan lain, yang sesuai UU No 18 Tahun 1999 Pasal 25
adalah mulai dari serah terima proyek hingga sepuluh tahun sesudahnya.
Bangunan
jembatan yang roboh setelah serah terima jelas masuk kegagalan bangunan.
Bangunan jetty untuk bongkar muat batubara yang dibuat sesuai spesifikasi
dalam kontrak sepanjang 30 meter, tetapi ternyata tidak dapat dimanfaatkan
karena kesalahan desain-di mana air laut dengan kedalaman memenuhi syarat
untuk kapal merapat adalah pada jarak 50 meter-juga bisa dikategorikan
sebagai kegagalan bangunan.
Bagaimana
kalau bangunan roboh pada saat konstruksi? Apakah termasuk kegagalan
konstruksi (selama ini disalahtafsirkan demikian)? Jawabnya: tidak selalu
termasuk kegagalan konstruksi. Alasannya, kalau kita simak definisi kegagalan
konstruksi, bangunan roboh ini tidak dapat dimasukkan dalam kategori
kegagalan konstruksi karena yang termasuk kategori kegagalan konstruksi
adalah hasil pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, bukan bangunan yang
roboh. Jika kemudian dapat dibuktikan terjadi pelanggaran spesifikasi sesuai
kontrak ataupun standar keteknikan yang berlaku, barulah kejadian ini
termasuk kategori kegagalan konstruksi. Sebaliknya, suatu hasil pekerjaan
konstruksi yang tak sesuai spesifikasi, misalnya ketebalan lapisan aspal
disyaratkan 10 sentimeter dan hanya dilaksanakan 8 sentimeter, maka sudah
memenuhi definisi kegagalan konstruksi, yang berarti bisa memasuki ranah
pidana.
Tantangan utama
Saat ini
tantangan utama yang mengakibatkan terlambatnya penyelesaian proyek di
samping keterlambatan mulai kerja akibat pembebasan lahan adalah lambatnya
pengambilan keputusan pada saat pelaksanaan proyek di lapangan karena
kekhawatiran terseret ke ranah pidana.
Guna
mengatasi tantangan saat pelaksanaan fisik pekerjaan konstruksi di lapangan,
dituntut peran semua unsur, yakni pemerintah dengan memperbaiki PP dan perpres, DPR dengan memperbaiki UU,
serta Kepolisian dan Kejaksaan dengan menindaklanjuti laporan masyarakat
secara bijak (jika memungkinkan diberi prasyarat kepada pelapor untuk
melengkapi laporannya dengan batasan data minimal dan dilengkapi pernyataan
di bawah sumpah, bersedia dituntut balik secara hukum jika laporannya tidak
benar). Singkatnya, perlu revolusi mental untuk mengatasi tantangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar