Politik
yang Lupa Moralitas
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca
Sarjana UI; Budayawan
|
KORAN SINDO, 16 April 2015
Politik pada intinya merupakan setiap ikhtiar, usaha, dan
tindakan perjuangan untuk mengusahakan kesejahteraan bersama dalam sebuah
tata sosial agar hidup bersama sesama warga negara menjadi lebih baik.
Persyaratan pelaku-pelakunya adalah kesadaran matang setiap
manusia yang dianugerahi Tuhan budi rasional yang cerdas dan hati nurani
jernih untuk memilih pilihan tindakan dan penyingkapan pada realitas hidup
nyata dalam ranah moralitas. Ranah yang bernilai sebagai benar, baik, suci,
dan indah.
Inilah ranah etika moralitas yang merupakan wilayah diskresi dan
keputusan untuk memilih dua energi budaya yang menentukan perkembangan dari
tahap saling rebutan untuk bisa hidup (ekstremnya dalam kondisi saling
rebutan untuk bisa hidup dengan mengerkah sesamanya) menuju transisi
peradaban, di mana sesama adalah rekan menuju peradaban.
Dua energi budaya ini: life
culture yaitu budaya yang merawat, memperjuangkan, serta menjunjung
tinggi kehidupan dalam death culture yaitu energi yang merusak dan hasrat
untuk menghancurkan kehidupan. Maka itu, ranah moralitas atau etika ini
adalah wilayah pertimbangan dan keputusan (baik individu maupun bangsa) untuk
memilih hidup atau mati. Sikap mau memilih nilainilai (apa yang dipandang,
dihayati sebagai berharga, bermakna dalam hidup sebuah masyarakat/bangsa),
yang menopang dan merawat kehidupan atau penghancuran adalah pemilihan etis.
Sumber-sumber kultural dan religi yang memuliakan dan merayakan
hidup akan memberi secara jernih sikap-sikap etis mengenai yang baik dan
benar untuk kemaslahatan bersama. Nilai-nilai apa yang baik dalam hidup yang
benar, suci, dan indah berasal dari kearifan hidup, yang ditradisikan dan
dibatinkan melalui pepatah, peribahasa, gurindam, pantun, dongeng, kidung
nyanyi, musik, folklore, kearifan lokal, lalu religi bumi, dan religi samawi
ini mempunyai ruang pertimbangannya pada personal space (forum internum,
ruang pribadi).
Dari ruang pribadi setelah melalui diskresi dibawa ke wacana
menuju ruang publik. Dalam sejarah peradaban, akhirnya disepakatilah
penghormatan pada ruang pribadi dengan bahasa harkat dan martabat kepribadian
manusia yang unik, tidak boleh dikoyak, bahkan suci karena religi
mengasalkannya pada legitimasi kitab suci.
Manusia adalah citra Allah sendiri, yang diciptakan serupa wajah-Nya.
Ia wakil Allah di dunia ini. Karena itulah, hormat pada martabat manusia
menjadi dasar tata sosial dalam bernegara. Secara padat, inilah penghayatan
hidup bersama dengan dasar keyakinan dan pandangan bahwa sesama saya adalah
manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan yang juga menciptakan saya, meminta
saya (secara kesadaran etis) untuk saling menghormati agar hidup bersama
damai.
Ketika ranah saling mengandaikan tumbuhnya kesadaran mau
menghormati sesamanya sebagai berharga, sesama ciptaan Tuhan mengalami krisis
sadar sendiri atau tahu sendiri dalam penghayatannya dibutuhkan sistem tata
masyarakat. Sistem ini untuk memaksa agar kebuasan hasrat mau memperalat
sesama demi kepentingan sendiri bisa dicegah.
Karena itu, budaya hukum diciptakan secara sadar oleh
anggota-anggota komunitas untuk menjamin perlakuan adil, hormat, dan setara
pada tiap orang karena manusia adalah yang bermartabat ciptaan Tuhan. Jadi,
hidup bersama yang berkeadaban harus diberi bentuk aturan hukum. Bila tidak,
yang kuatlah yang menang dan yang lemah kalah. Sesama adalah subjek, samasama
manusia bermartabat karena itu hukum adalah bahasa perlakuan untuk setiap
orang sesuai hak dan martabatnya.
Namun, dia mempunyai kewajiban menghormati hak dan martabat
orang lain pula. Ketika jaminan perlakuan yang sama dicarikan lembaga
penjamin, mulailah negara dengan institusi hukumnya diberi wewenang untuk
menjadi penjaga keadilan tersebut agar berlaku bagi tiap warga negara.
Dalam konteks ini kita harus menjadi bangsa Indonesia dalam
negara yang berdaulat. Pengertian bangsa sebagai nation adalah memiliki
kesamaan teritori tanah air dengan kesatuan rasa dan hasrat untuk tampil
merdeka dalam identitas kemajemukan suku, agama, tetapi ”ika” menyatu untuk
secara politis menjadi sebuah negara berdaulat. Kebersatuan itu disertai
dengan kepastian hukum dan demokrasi sebagaimana diproklamasikan 17 Agustus
1945 yang merupakan proklamasi politis pemakluman kemerdekaan dari penjajah.
Wujudnya adalah sebuah negara berdaulat Republik Indonesia yang
secara politis internasional diakui merdeka dan berdaulat, tetapi secara
kultural masih berproses karena loncatan politis tidak serta-merta bersamaan
dengan proses budaya. Pengertian bangsa dan pergulatannya merupakan
pengertian budaya atau kultural. Artinya, Indonesia yang multietnik,
multiagama, multikearifan, dan kejeniusan lokal merupakan proses kebudayaan
yang terusmenerus berkembang.
Energi dandaya-daya kreatif religiositas, estetika,
kebijaksanaan hidup setempat memberikan sumbangan terbaiknya pada keindonesiaan.
Inilah proses sejarah kebudayaan menjadi Indonesia sejak kemauan untuk
pencerdasan bangsa menempuh jalan peradaban modern dimulai dengan
berorganisasi secara rasional, mendidik diri dalam cerdas budi dan
bersamasama secara organisatoris 1908.
Kemudian sejarah mencatat perjuangan bahasa sebagai komunikasi
ekspresi diri sebagai bangsa. Bahasa merupakan perajut rasa menyatu dan
saling peduli meski beda suku, beda bahasa etnik, tetapi bersedia menegaskan
bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa subkultur.
Dari ranah budaya pula dirangkum nilai-nilai perajut
mengindonesiakan untuk menjadi dasar acuan bangsa majemuk ini dalam negara RI
yaitu religiositas sebagai bangsa Indonesia yang ber- Ketuhanan Yang Maha
Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bersatu dalam Persatuan
Indonesia, serta menghayati proses musyawarah untuk mufakat dalam sila
ber-Kedaulatan Rakyat yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, lima silalah acuan nilai berbangsa dan
bernegara yang ditaruh dalam pembukaan konstitusi 1945 negara RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar