Hentikan
Hibah Mobil Pejabat
Laode Ida ; Pengajar di Jurusan Sosiologi, FIS,
UNJ;
Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
KORAN SINDO, 16 April 2015
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya beberapa waktu lalu
menarik Perpres No 39/2015 tentang tunjangan uang muka mobil pejabat setelah
memperoleh reaksi atau penolakan dari masyarakat luas terkait nominal yang
dinilai melampaui kewajaran.
Anehnya, justru Jokowi sendiri dikabarkan ternyata tidak tahu
tentang besaran jumlah dana hibah untuk fasilitas pejabat itu. Atau, dengan
kata lain, jika informasi itu benar, Jokowi hanya membubuhkan tanda tangan di
atas konsep yang diusulkan oleh pihak administrator Istana ekspresi dari
sikap percaya saja terhadap staf di sekitarnya.
Kekeliruan administrasi pihak Istana yang sudah diakui Seskab
Andi Wijayanto itu memang harus dijadikan pelajaran dan perhatian serius oleh
Presiden Jokowi. Jangan sampai mekanisme berwatak ”siluman” itu terus
dimainkan oleh kelompok-kelompok berkepentingan tertentu dengan memanfaatkan
kebaikan dan sekaligus kelengahan Jokowi, di mana kemudian akan terus jadi
bahan olok-olokan publik bangsa ini.
Singkat kata, kasus seperti ini tak boleh lagi terjadi pada masa
mendatang. Lepas dari prosedur administrasi Istana yang keliru itu,
pertanyaannya sekarang terkait dengan dasar kelayakan dan kepantasan sehingga
perlu kebijakan pemberian dana hibah pembelian mobil untuk para pejabat. Saya
menduga substansi pertanyaan ini tak pernah dibahas oleh pihak Presiden
(Istana).
Pertimbangannya hanya berdasarkan usulan dari para pejabat
politik, utamanya dari pihak pimpinan parlemen di Senayan, dengan berdasarkan
kebiasaan ”kebijakan tunjangan” untuk periode lima tahunan. Karena sudah jadi
kebiasaan, setiap awal masa jabatan politik selalu ada porsi alokasi anggaran
negara (APBN) untuk pembelian mobil baru bagi pimpinan lembagalembaga negara,
sementara para anggota hanya diberikan berupa tunjangan uang muka di mana
setiap periode nominalnya terus meningkat.
Ketika tahun ini diusulkan Rp210 juta per anggota dengan total
lebih dari Rp158 miliar, berarti kenaikannya lebih dari 100% dibanding dengan
lima tahun lalu. Namun, pembatalan kenaikan anggaran tunjangan mobil pejabat
itu tampaknya bukan berarti meniadakan porsi dana untuk pos alokasi yang
sama. Boleh jadi hanya ditunda dan atau akan diturunkan nilai nominalnya,
atau setidaknya disamakan dengan nilai nominal lima tahun lalu.
Itu artinya, para pejabat masih akan tetap saja menikmati
anggaran negara itu kendati mereka akan sedikit merasa kecewa karena sudah
tertunda. Hanya sebagian kecil pejabat yang tidak akan peduli apakah anggaran
itu jadi direalisasikan atau tidak; bahkan sebagian dari mereka sudah menyatakan
menolaknya.
Para pejabat bangsa ini memang sudah terbiasa dimanja dengan
materi. Apalagi bagi pihak-pihak yang merasa memiliki kewenangan dalam
menentukan anggaran negara, biasanya selalu mulus ketika mengusulkan
keperluan untuk mempersejahtera orang-orang yang berada di barisannya.
Padahal di tengah sikap kritis dari tak sedikit warga bangsa ini
yang semakin kuat, sementara produktivitas pejabat negara terkait dengan
kepentingan rakyat yang masih belum meyakinkan, bahkan sebaliknya, mengalami
krisis kepercayaan, seharusnya penggelontoran dana gratis seperti itu
haruslah dihentikan.
Mengapa? Pertama, anggaran negara yang dihabiskan oleh para
pejabat itu bulannya sudah sangat banyak, bisa mencapai ratusan juta rupiah
setiap bulannya, mulai dari gaji sampai berbagai tunjangan termasuk di
dalamnya honor-honor kunjungan kerja atau rapat baik di kantor maupun di
hotel-hotel dan biaya sewa rumah.
Itu semua belum termasuk uang perjalanan baik di dalam maupun di
luar negeri yang diberikan dengan sistem lumpsum (di mana alokasi harga
bussiness class, namun umumnya digunakan tiket ekonomi) dan juga dana reses
dengan jumlah lebih dari seratus juta per anggota; yang semuanya hanya perlu
pertanggungjawaban administrasi (bisa dimanipulasi).
Tepatnya, dalam kondisi hidup yang normal, sebenarnya uang yang
diterima oleh para pejabat itu sudah jauh berada di atas rata-rata pendapatan
rakyat Indonesia pada umumnya sehingga rasanya sudah terlalu berlebihan jika
terus memenuhi syahwat mereka untuk menggerus uang negara lagi. Kedua, jika
dana APBN itu terus direalisasikan, sungguh-sungguh mengekspresikan jiwajiwa
penyelenggara negara yang jauh dari rakyat.
Bukankah mereka adalah bagian dari yang dipilih oleh rakyat, di
mana masih banyak kebutuhan rakyat yang belum terlayani dan seharusnya
menjadi bagian dari kewajiban asasi pejabat untuk memprioritaskannya?
Catatlah, misalnya, ada satu keluarga di Kediri, Jawa Timur, yang bunuh diri
(awal April ini) akibat ketaksanggupan menghadapi beban hidup/ekonomi,
sementara para pejabat terus saja berpesta-pora dengan kemewahan dan kucuran
dana dari negara.
Para pejabat itu juga tentu sudah menyaksikan salah satu
tayangan sebuah stasiun TV (juga awal April ini), di mana seorang bocah
berusia enam tahun di Sulawesi Selatan harus merawat orang tuanya yang
menderita sakit dengan kondisi ekonomi miskin. Masih sedikit beruntung bagi
keluarga yang disebut terakhir karena dapat sentuhan kepedulian dari penggiat
media sosial. Namun, di banyak kasus kehidupan warga miskin yang
takterekspos, tentu saja mereka tetap menikmati penderitaan.
Sekali lagi, para pejabat terus saja dilayani dengan anggaran
yang seharusnya jadi hak para keluarga miskin itu. Singkat kata, kalau
kebijakan penggelontoran anggaran seperti itu, samahalnya denganmelegitimasi
para pejabat merampas hak rakyat yang seharusnya dapat pelayanan prioritas.
Ketiga, dana hibah untuk fasilitas kendaraan itu niscaya akan semakin melabel
karakter dasar dan orientasi pejabat negara kita sebagai pemanfaat posisi dengan
”aji mumpung”.
Ya..., mumpung jadi pejabat dan punya kesempatan untuk menggarap
uang rakyat, bisa wujudkan impian untuk bersenang- senang atau hedonistis.
Karena sebenarnya jika diperiksa satu persatu, umumnya para pejabat itu sudah
miliki kendaraan roda empat (bahkan bisa lebih dari satu unit mobil) pribadi
yang bisa digunakan untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari.
Dengan begitu, uang hibah untuk beli mobil itu belum tentu
digunakan untuk tujuan sesuai alokasi anggarannya. Jika pun dibelikan kendaraan
baru (sebagai uang muka), berarti mereka akan turut berkontribusi dalam
menambah kemacetan di Jakarta, termasuk di dalamnya memperboros bahan bakar.
Tepatnya, dana hibah untuk kendaraan pejabat itu kian menggiring pejabat kita
ke dalam kehidupan yang high mass
consumption dengan watak hedonistis.
Padahal, mereka seharusnya memberikan contoh bagaimana
mewujudkan penghematan anggaran dan hidup sederhana. Inilah ironi yang harus
direnungkan baik oleh para pejabat yang sedang menunggu realisasi anggaran
itu maupun Presiden Jokowi yang mungkin tetap akan kembali keluarkan perpres
baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar