Menumpas
Begal Anggaran
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 05 Maret 2015
Belakangan ini, publik dibuat risau oleh maraknya aksi
pembegalan di jalanan. Penegak hukum dibuat seolah tak berdaya sehingga
memancing reaksi publik untuk melakukan tindakan "main hakim
sendiri".
Dalam konteks kejahatan kerah putih (white collar crime), praktek "begal" juga semakin
terbuka. Salah satu yang paling mutakhir adalah munculnya "anggaran
siluman" dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DKI
Jakarta tahun anggaran 2015.
Publik harus memahami bahwa praktek pembegalan dalam
konteks anggaran tidak sekadar menguasai secara illegal harta milik individu,
melainkan perampokan terhadap harta benda dan kekayaan masyarakat. APBD yang
disahkan setiap tahun adalah uang masyarakat yang seyogianya dialokasikan
sesuai dengan kebutuhan publik.
Praktek mafia anggaran semakin masif, mereka tak
segan-segan menggunakan kuasa politik untuk menutupi perbuatan jahat yang
dilakukan. Ini seolah menjadi isyarat bahwa konsolidasi elite mafia semakin
mapan, di lain pihak terjadi pelemahan terhadap institusi hukum, termasuk
terhadap institusi politik dan birokrasi yang melawan praktek mafia anggaran.
Dari segi kekuasaan penganggaran (budgeting), lembaga legislatif menjadi penentu pengesahan
anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Lembaga legislatif memiliki
hak veto untuk menolak rancangan APBN/D yang diajukan eksekutif. Kuasa ini
begitu dominan, sehingga potensi barter atau persekongkolan dalam
penganggaran lebih didominasi oleh lembaga legislatif.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XI/2013
tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara setidaknya menyampaikan pesan bahwa kuasa lembaga legislatif dalam
penganggaran perlu dibatasi. Tidak berlebihan kiranya jika pemohon pengujian
undang-undang tersebut meminta MK membubarkan Badan Anggaran, karena dinilai
menjadi sentral praktek pembegalan anggaran.
Sekalipun permohonan untuk membubarkan Badan Anggaran
tidak dikabulkan, MK dalam putusannya menegaskan bahwa kewenangan lembaga
legislatif untuk membahas anggaran hingga satuan tiga (kegiatan, jenis
belanja) adalah sesuatu yang melanggar konstitusi. MK berpendapat bahwa
sistem check and balance di antara kekuasaan negara, termasuk dalam hal
pelaksanaan fungsi anggaran, didasarkan pada prinsip kekuasaan yang dibatasi
kekuasaan (power limited by power),
bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan yang lain (power supervises other powers), apalagi kekuasaan dikontrol oleh
kekuasaan yang lain (power controls
other powers).
Maka fungsi anggaran lembaga legislatif hanyalah sebatas
memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana yang diajukan oleh
eksekutif. Sebab, dimensi perencanaan yang sifatnya sangat rinci adalah ranah
kekuasaan eksekutif, sehingga lembaga legislatif "diharamkan" oleh
konstitusi untuk mencampuri urusan tersebut.
Pengujian konstitusionalitas atas fungsi anggaran lembaga
legislatif tersebut tentu tidak sekadar soal membatasi kekuasaan, tapi
bagaimana fungsi anggaran tersebut tidak menjadi pintu masuk terjadinya
praktek pembegalan anggaran. Apa yang terjadi di DKI Jakarta adalah bukti
nyata bahwa praktek mafia anggaran masih menjadi momok dalam setiap
pembahasan anggaran.
Upaya mengurangi praktek korupsi dalam pembahasan anggaran
yang dilakukan melalui e-budgeting layak diapresiasi. Namun, sebagai sebuah sistem,
perangkat teknologi tidak akan berdampak jika pemegang kuasa masih
menggunakan muslihat jahat untuk "membegal" anggaran.
Hal yang sama juga berlaku terhadap e-procurement. Sistem
pengadaan barang dan jasa secara elektronik ini hanya memutus komunikasi
langsung antara peserta lelang (perusahaan) dengan panitia pengadaan. Namun
sistem tidak akan pernah bisa menghalangi komunikasi yang dilakukan secara
tertutup, apalagi telah melibatkan pihak ketiga dan seterusnya.
Langkah Gubernur DKI Jakarta untuk memantau sistem secara
kontinu yang mengungkap adanya "dana siluman" patut dijadikan
contoh oleh kepala daerah lainnya. Sebagai pengguna anggaran, baik kepala
daerah, menteri, atau pemimpin lembaga/badan sudah semestinya mengontrol
birokrasi, agar tidak bersekongkol dengan politikus di lembaga legislatif
maupun dengan pebisnis korup.
Ada begitu banyak pekerjaan rumah di sektor anggaran yang
patut terus diawasi, terutama oleh masyarakat. Keterbukaan anggaran yang
diinisiasi oleh pemerintah sudah seharusnya dimanfaatkan oleh warga untuk
ikut mengawasi pelaksanaannya.
Partisipasi aktif warga dalam mengawasi anggaran adalah
pilihan paling realistis ketika lembaga politik justru menjadi bagian dari
praktek mafia anggaran. Fungsi representasi yang telah dibajak untuk
memanipulasi anggaran publik seharusnya disadari sebagai sebuah ancaman bagi
keberlangsungan kepentingan banyak orang. Maka tidak ada pilihan lain bagi
warga untuk secara bersama satu padu dalam gerakan menumpas pembegalan
anggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar