Janji
Jokowi untuk KPK
Emerson Yuntho ; Anggota
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KORAN
TEMPO, 05 Maret 2015
Salah satu janji Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam
Program Nawacita adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Faktanya, setelah lebih dari 100 hari berkuasa, lembaga antikorupsi ini belum
terlihat diperkuat, bahkan yang terjadi "dilemahkan".
Upaya pelemahan ini tidak bisa lepas dari ketegangan
antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia. Khususnya setelah KPK
menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Polri pilihan
Presiden dan DPR, sebagai tersangka korupsi. Langkah KPK kemudian memunculkan
proses kriminalisasi terhadap sejumlah pemimpin KPK.
Bahkan sudah ada dua orang yang menjadi korban kriminalisasi.
Abraham Samad menjadi tersangka atas kasus pemalsuan dokumen dan Bambang
Widjojanto menjadi tersangka atas kasus pemberian keterangan palsu. Selain
kriminalisasi, tidak sedikit pegawai dan penyidik mendapat intimidasi dari
pihak yang tidak dikenal.
Ketika dua pemimpin KPK menjadi tersangka, respons yang
dilakukan Jokowi sungguh di luar harapan. Jokowi, dalam keputusannya, Rabu,
18 Februari lalu, justru tidak memberi ketegasan untuk menghentikan proses
kriminalisasi dan ancaman terhadap KPK.
Jokowi lebih memilih memberhentikan sementara (non-aktif)
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pemimpin KPK, karena berstatus
tersangka. Presiden juga menunjuk Taufiequrachman Ruki (mantan Ketua KPK),
Indriyanto Seno Adji (akademikus), dan Johan Budi (Deputi Pencegahan KPK)
sebagai pelaksana tugas sementara pemimpin KPK.
Di sisi lain, muncul asumsi bahwa Keputusan Presiden soal
penunjukan tiga orang pelaksana tugas pemimpin KPK merupakan bentuk
legalisasi terhadap upaya kriminalisasi yang dialami oleh dua pemimpin KPK.
Tanpa adanya ketegasan Jokowi untuk menghentikan proses kriminalisasi ini,
proses pemeriksaan dan kriminalisasi terhadap sejumlah pemimpin ataupun
penyidik yang diduga direkayasa atau terkesan dicari-cari akan terus
berlanjut.
Proses hukum yang dilakukan oleh Bareskrim terhadap
Bambang Widjojanto, berdasarkan laporan Ombudsman, juga dinilai melanggar
aturan dan ditemukan sejumlah maladministrasi. Ombudsman memberikan sejumlah
rekomendasi, perlu adanya sanksi terhadap para penyidik Polri yang dinilai
bermasalah.
Dalam kerangka penyelamatan KPK, seharusnya sikap atau
tindakan yang perlu dilakukan oleh Presiden adalah memerintahkan Polri
menghentikan proses kriminalisasi terhadap pemimpin, pegawai, dan penyidik
KPK.
Alternatif lainnya adalah Presiden dapat membentuk tim
independen untuk menilai secara obyektif apakah proses kriminalisasi terhadap
pemimpin KPK dinilai wajar atau tidak wajar.
Pembentukan tim independen pernah dilakukan Presiden SBY
dalam kasus Bibit-Chandra. Atas masukan rekomendasi tim independen yang juga
disebut sebagai Tim 8, SBY kemudian memerintahkan Jaksa Agung menghentikan
proses penuntutan (deponering)
terhadap kasus Bibit dan Chandra. KPK akhirnya terselamatkan dari upaya
pelemahan.
Masyarakat masih menagih janji Jokowi yang tercantum dalam
Program Nawa Cita, yaitu memperkuat KPK. Jokowi harus memastikan bahwa
keputusan yang diambil dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat KPK dalam
melawan korupsi di negeri ini. Bukan sebaliknya, membiarkan KPK dilemahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar