Kemanusiaan
Adil dan Beradab
Daoed Joesoef ; Alumnus
Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
05 Maret 2015
Baik pemerintah maupun kaum terpelajar kini semakin santer
menyuarakan agar Indonesia segera menggerakkan pembangunan industrial secara
besar-besaran. Jika suara ini dikaitkan pada jargon revolusi mental Jokowi,
ia kiranya mengisyaratkan adanya suatu revolusi industrial, paling sedikit
berupa kemauan keluar dari jebakan ekonomi dan lembaga ekstraktif.
Menggerakkan revolusi industrial bisa bermanfaat bagi kehidupan ekonomi
sejauh secara bersamaan dipikirkan pula akibat sampingannya. Justru
kelengkapan kerja seperti inilah yang selalu diabaikan. Kalau dalam berusaha
demi kebaikan selama ini kita mengalami keburukan, otomatis diterima sebagai
"ongkos" dari manfaat yang kita peroleh. Apakah ongkos itu wajar?
Ternyata tak selalu ia turut diperhitungkan sebelumnya.
Revolusi ilmiah
Berhubung kita bertekad menciptakan suatu era peradaban
industrial, ada baiknya kini merenungi pernyataan maha penting bagi
masyarakat modern. Dalam hal apa perubahan substansial dari kehidupan yang
dialami masyarakat modern berbeda dengan perubahan yang menandakan karakter
bisnis dari komunitas industrial? Bagaimana alasan dan bobot dari dampaknya yang
luar biasa? Maka, diperlukan suatu pemikiran pluridisipliner yang terpanggil
untuk mengonfrontasi "revolusi industrial" yang asas-asasnya sedang
dikutuk serta "revolusi ilmiah dan teknologis" yang beberapa
manifestasi awalnya sudah terasa melalui serangkaian perubahan aktual dan
perlu dibedakan dengan perubahan-perubahan akibat ekspansi dari sistem
industrialisasi.
Konfrontasi total ini menyentuh opini yang melihat
"revolusi ilmiah dan teknologis" sebagai lanjutan belaka, bahkan
lebih ganas daripada "revolusi industrial" sehingga perlu
diwaspadai. Padahal, "revolusi ilmiah" ini khas, spesial berupa
reaksi terhadap "revolusi industrial" sehingga berpotensi, secara
teoretis, mencetuskan sejumlah kegiatan human dan dari situ menyodorkan suatu
visi yang-agar bisa diakui "baru", "optimis", dan
"menjanjikan"-bisa lebih kritis terhadap situasi yang ada serta
aneka ide yang terkait.
Revolusi industrial dan revolusi ilmiah berbeda secara
esensial dalam pemutarbalikan tempat yang tersedia bagi manusia dan alam di proses
produksi. Revolusi yang pertama berlandaskan kerja fisik tok, terbagi-bagi,
repetitif dari massa pekerja yang melayani mesin. Revolusi kedua tampil di
saat keterbatasan pengertian "kerja" itu goyah dasarnya. Ia baru
dapat membuktikan elan vitalnya jika menggarap, pada tingkat yang lebih luas,
"pembangunan permanen dari daya cipta human" dalam berproduksi
ataupun berkarya di semua domain kehidupan.
Revolusi industrial berpegang pada ide bahwa penguasaan
dunia obyektif berkat akumulasi pengetahuan, penyempurnaan peralatan teknis,
dan pembangunan industrial mampu menjamin kenaikan umum tingkat kehidupan
dan, dari situ, kemajuan humanitas. Namun, hasil faktualnya berupa suatu
ketidakseimbangan yang serius antara peralatan teknis (mesin) dan peralatan
finansial (modal) yang terlibat dalam kegiatan industrial. Manusia hanya
apendiks dari masing-masing peralatan tadi, pekerja ditetapkan melayani mesin
agar berfungsi sebagaimana pengusaha melayani modal agar berguna. Kalaupun
kelihatan ada perbaikan tingkat hidup pekerja, ia hasil dari gerakan buruh
radikal, perbaikan serba semu dan akhirnya dikuasai demagog diktatorial.
Sejauh mengenai "alam"-dengan potensi
tradisionalnya yang telah diketahui dan dihormati oleh petani dan
perajin-diserahkan untuk dieksploitasi habis-habisan berkat kemajuan teknis
dan industrialisasi, tanpa memperhitungkan "kebutuhan" dan
"kehidupan alami" dari ibu alam itu sendiri. Dengan kata lain,
"manusia" dan "alam" menjadi mangsa dari revolusi industrial.
Revolusi ilmiah yang menyusul berangsur-angsur mengoreksi,
bahkan membalik keadaan melalui kemampuan penalarannya dengan menunjukkan
signifikansi kapasitas potensial dan daya aktivitas dari manusia dan alam
yang selama ini diremehkan begitu saja. Dengan kata lain, mengubah pasangan
manusia-alam dari "korban" menjadi "tuan". Promosi ganda
yang berbobot ini menempatkan ilmu pengetahuan dan budaya di pusat dinamika
dan konflik penentu dari dunia modern. Ilmu pengetahuan menjadi kekuatan
produktif paling revolusioner dari masyarakat dan pembangunannya serta aneka
penerapannya, menuntut pengintensifan pembudayaan kekuatan-kekuatan kreatif
dan talenta dari massa besar manusia, begitu rupa hingga revolusi yang sedang
berlaku merupakan pula revolusi kebudayaan yang terbesar dalam sejarah.
Perubahan-perubahan karakteristik dari komunitas
industrial dewasa ini, seperti krisis pendidikan, konsumsi, dan kebudayaan
massal, tampil dalam perspektif revolusioner ini sebagai gagap-gagap awal
dari suatu transformasi positif yang memungkinkan perwujudan hasrat akan
adanya konversi umum dari seluruh kehidupan human menjadi/suatu proses
pembangunan manusia dan memelopori suatu kreasi kolektif yang sadar dari
gaya, cara, dan lingkungan hidup.
Sesudah dikoreksi oleh revolusi ilmiah revolusi industrial
harus digerakkan dalam rangka pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
masa depan negara-bangsa. Di satu negara yang bertekad demokratis, wujud ini
terjadi secara evolusioner, berangsur-angsur bagai suatu keniscayaan. Baik
bagi praktik pemerintahan maupun buat teori akademisi, evolusi ini merupakan
satu peralihan dari empirisme ke etika atau, bisa dikatakan, dari pragmatisme
ke humanisme. Kebijakan-kebijakan peralihan ini pada gilirannya menuntut
perubahan dalam pengertian pembangunan, perencanaan, dan pendidikan.
Masih ada negara berkembang, termasuk Indonesia, yang
memberlakukan pendidikan dan kesehatan umum bagai pelayanan sosial sehingga
tergolong di sektor konsumsi. Maka, ia dianggap bisa dipenuhi hanya berdasar
adanya suatu kenaikan produksi sebelumnya. Teori pembangunan yang berlaku
menerapkan suatu pemisahan absolut antara yang ekonomi dan yang sosial
sebagaimana tecermin pada realitas administratif (baca: nomenklatur kabinet).
Yang satu ditanggapi selaku lembu, yang lain sebagai pedati dan beban serta kecepatan
jalannya pedati adalah fungsi dari kemampuan lembu.
Keberhasilan pembangunan sudah lama menyatakan lain.
Dikotomi ekonomi dan sosial adalah produk kepicikan ekonomika yang menganggap
misi penalarannya hanya mengurus aspek material dari kehidupan, bukan
aspek-aspek lain yang kini dimuliakan, seperti pendidikan. Sekarang telah
diketahui, kecuali di Indonesia, bahwa pertumbuhan ekonomi an sich memerlukan
investasi "sosial-kultural", bahwa perbandingan yang konstan antara
modal dan produksi bisa terjaga tidak hanya berkat masukan modal, tetapi juga
tergantung pada sumbangan lain-lain faktor human murni: kompetensi teknis,
stimula berproduksi, tingkat umum pendidikan, mutu riset, dan nasionalisme.
Manusia dan pembangunan
UNESCO sudah lama mengakui pendidikan bukan lagi
semata-mata tergolong benda konsumsi. Ia sudah menjadi unsur produktivitas,
jadi suatu faktor produksi. Bahkan, Bank Dunia juga berkesimpulan begitu,
bersedia memberikan pinjaman berhubung pendidikan menghasilkan sumber daya
manusia (human resources). Dari
sumber ini pada gilirannya mengondisikan efektivitas pemanfaatan sumber daya
alam (natural resources). Jadi, di
kabinet, pendidikan lebih pantas dimasukkan ke bidang ekonomi, turut bicara
urusan ekonomi. Berarti, setiap analisis pembangunan dan setiap perencanaan,
walaupun ia pada awalnya merupakan respons terhadap masalah ekonomi tok,
harus meluas ke sektor sosial, diletakkan pada level nasional, bukan malah
mengerdilkan pembangunan nasional.
Apakah benar manusia merupakan sumber esensial, bahkan
satu-satunya, bagi pembangunan? Pasti tidak! Namun, jauh sebelum sumber,
sebelum tergolong agen pembangunan, manusia sudah menjadi tujuan finalnya.
Sebab, apa yang dibangun? Siapa yang dibangun dan untuk siapa? Manusia inilah
yang dibangun dan untuk dia sendiri, demikian kata Direktur Jenderal UNESCO
Rene Maheu, di depan sivitas akademika Sorbonne (April 1964).
Memang betul jika manusia dan aktivitas sosial dipromosi
menjadi agen pembangunan. Namun, satu-satunya ekonomi yang pantas dikualifikasi
"humanis", sejujurnya, adalah ekonomi yang menetapkan manusia
selaku alfa dan omega dari pembangunan. Lalu, pendidikan melatihnya bisa
menjadi makhluk pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai sesuai tuntutan
situasi dan kondisi kehidupan.
Pembangunan perlu direncanakan. Perencanaan diniscayakan
karena adanya keterbatasan ekonomika. Penalaran disiplin ini dapat menyusun
deskripsi tipologis dari tujuan, tetapi tak dapat menyuguhkan suatu teori
tentang tujuan. Teori ini berasal dari etika. Aneka pilihan ekonomi yang
ditetapkan oleh perencanaan selalu didahului opsi lebih fundamental, yang
teori ekonomi tak bisa sendirian menjelaskan, apalagi menganalisisnya.
Kegunaan besar perencanaan adalah mengungkapkan unsur kebebasan, unsur etika
yang mendahului pembangunan. Perencanaan mengembalikan manusia ke dirinya
sendiri, dengan memberikan kepadanya kesempatan menguasai nasibnya. Inilah
nilai yang essentially intelektual
dan sukarela, yaitu nilai etis perencanaan.
Dan, ini alasan mengapa perencanaan merupakan operasi yang
sekaligus demi menangani pembangunan dalam keseluruhannya dan yang
mempertaruhkan manusia sebagai satu keseluruhan, tidak melulu homo economicus. Operasi
keintelektualan murni ini menetapkan dan memilih tujuannya sepadan dengan
semua kegiatan human yang diperhitungkan dan, sesuai tujuan tadi,
diorganisasi dan diproyeksi dalam waktu sumber-sumber yang tersedia. Berkat
semua kegiatan terpadu itu perencanaan menjadi suatu alam pikiran (mindset), pencetus gerakan ganda ke
arah manusia dan ke arah semua manusia, jadi humanisme dari pembangunan.
Bukankah hal ini yang pernah dinarasikan dalam ensiklik Pacem in Terris dan
diisyaratkan oleh sila kedua Pancasila. Baik narasi maupun isyarat tadi
sama-sama mengingatkan betapa pentingnya how
men behave, bukan how the markets
behave, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar