Negara
Hukum yang Sejahtera
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 02 Oktober 2014
JUDUL
tulisan di atas merupakan perpaduan sekaligus abstraksi dari ketentuan UUD
1945, khususnya Bab I Pasal 1 ayat (3) dan Bab XIV Pasal 33.
Belanda
menganut negara kesejahteraan (welfare
state), namun di dalam perkembangan pembentukan hukumnya termasuk hukum
pidana telah diarahkan kepada hukum yang menyejahterakan rakyatnya.
Indonesia
di dalam konstitusi UUD 1945 telah secara eksplisit menyatakan sebagai negara
hukum, tetapi dalam perkembangan pembentukan hukumnya sering melupakan amanat
konstitusi UUD 1945, khususnya Bab XIV tersebut.
Dalam
kenyataannya memang benar bahwa dalam setiap perancangan UU hampir tidak
pernah diperhatikan secara sungguh-sungguh ketentuan Bab XIV khusus Pasal 33
tersebut dengan persepsi bahwa urusan tugas meningkatkan kesejahteraan hanya
berada pada pundak ahli ekonomi dan birokrat ekonom yang ada di pemerintahan.
Sedangkan
setiap langkah kebijakan ekonomi harus dilandaskan pada aturan hukum yang
memperkuat kebijakan di bidang ekonomi dengan tujuan mencapai kesejahteraan.
Di kalangan para ahli hukum sampai saat ini di Indonesia terdapat persepsi
keliru bahwa hukum tidak ada kaitan dan relevansinya dengan ekonomi.
Begitupula sebaliknya.
Kekeliruan
persepsi para ahli dan praktisi hukum tentu bersumber pada masalah pendidikan
hukum dan ekonomi di perguruan tinggi yang tidak memberikan kesempatan untuk
memilih mata kuliah di luar lingkup kurikulum fakultasnya masing-masing.
Dalam
praktik dan pengalaman penulis, ketika disusun UU tentang Kepailitan atau UU
Perseroan Terbatas, hampir dipastikan tim penyusun 99-100% adalah memiliki latar
belakang pendidikan hukum; keikutsertaan ahli ekonomi dan pemangku
kepentingan cukup pada sosialisasi atau RDPU.
Begitu
pula ahli ekonomi pengambil kebijakan di negeri ini sering berpandangan
keliru bahwa hukum hanya alat (tool)
untuk mewujudkan kebijakan ekonomi di dalam kenyataan masyarakat; juga sering
diabaikan peranan para ahli hukum di mana mereka seharusnya bekerja sama.
Peristiwa
BLBI dan Bank Century antara lain disebabkan masih ada sekat parokialisme
yang tegas di antara dua ahli tersebut dalam membahas permasalahan bangsa dan
negara. Keadaan kontroversial penuh rasa keakuan tersebut juga berlaku bagi
dua golongan para ahli tersebut terhadap ahli ilmu politik. Akibat itu,
undangundang yang telah ditetapkan satu sama lain sering tidak jelas arah
politik hukum yang seharusnya dianut di dalam membawa perjalanan bangsa ini
ke depan.
Dalam
kurun waktu 69 tahun Indonesia merdeka, saya mengamati dan meneliti bahwa
sampai saat ini politik hukum Indonesia merdeka belum jelas arah capaiannya
menciptakan kesejahteraan di dalam perlindungan hukum yang adil, pasti, dan
bermanfaat bagi rakyatnya. Mekanisme yang cocok dalam penyusunan suatu naskah
RUU terkait semua sektor kehidupan di negara ini seharusnya tetap
mengikutsertakan para ahli ekonomi dan ahli ilmu politik sesuai kekhususannya
masing-masing.
Kementerian
satu-satunya yang merupakan koordinator proses legislasi sejak proses
penyusunan, harmonisasi, dan sinkronisasi sampai pada proses pembahasan
naskah RUU seharusnya Kementerian Hukum dan HAM; dan seharusnya juga
merupakan satu pintu proses legislasi sehingga tidak ada lagi K/L bekerja
sendiri dan langsung “bekerja sama” dengan DPR RI di dalam menggolkan sebuah
RUU.
Dalam
kenyataan terjadi kebalikannya; jika K/L tidak berhasil menembus proses legislasi
yang dikoordinasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, mereka berkolaborasi dengan
anggota DPR RI agar RUU yang disiapkan K/L berhasil dan tentu tidak ada makan
siang yang gratis. Mekanisme dan keadaan masalah terkait proses legislasi
harus diubah dan dihentikan dari setiap gaya “terobosan hukum” yang
kontraproduktif.
Di
lapangan hukum pidana, capaian untuk menyejahterakan rakyat bukan hal
mustahil jika para ahli hukum pidana dan pengambil kebijakan di bidang hukum
mengubah mindset (nalar) dari teori moralitas dengan penilaian benar (right) atau salah (wrong) setiap tingkah laku manusia,
kepada teori efisiensi (teori ekonomi) dengan penilaian “cost and benefit ratio“.
Perubahan
mindset tersebut dalam terapan akan mempertanyakan: apakah perilaku yang benar
berdampak menguntungkan atau merugikan bagi masa depan masyarakat dan pribadi
pelakunya; begitu pula mengenai perilaku yang salah.
Dalam
konteks praksis, setiap kebijakan pemerintah dalam segala sektor kehidupan
akan selalu diukur bukan hanya dalam bentuk larangan atau kebolehan,
melainkan juga dalam bentuk solusi jangka panjang jika terjadi pelanggaran
atas larangan dan kebolehan itu dengan menggunakan analisis dampak regulasi
(ADR) atau regulatory impact analysis
(RIA).
Analisis
ini telah digunakan oleh para pengambil kebijakan publik di Amerika Serikat,
Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa sejak 1970-an. Mengapa pendekatan
teori ekonomi dengan ADR diperlukan untuk masa depan bangsa ini?
Di
lapangan hukum pidana misalnya pemberantasan korupsi, penelitian penulis
menunjukkan bahwa selama kurun 2009-2013 total kerugian keuangan negara di
seluruh sektor pembangunan mencapai hampir Rp500 triliun.
Sementara
kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan oleh kejaksaan,
kepolisian, dan KPK mencapai kurang lebih Rp8.716.000.000.000 (delapan
triliun tujuh ratus enam belas miliar), hanya tercapai kurang dari 20%.
Capaian
tiga institusi penegak hukum tersebut belum dikurangi dengan biaya perkara
korupsi rata-rata Rp200 juta per tahun dan biaya makan narapidana per hari
Rp15.000 dengan rata-rata jumlah narapidana 100.000 orang per bulan dan
rata-rata menjalani hukuman selama 1-3 tahun.
Kalkulasi
secara total dana APBN dan keberhasilan pengembalian kerugian keuangan negara
dari korupsi terbukti tidak signifikan, bahkan jauh lebih kecil dari harapan
membantu kesejahteraan rakyat. Fakta dan data tersebut merupakan buah dari
pengutamaan pendekatan penjeraan (deterrent
effect) dari pemulihan hubungan baik antara pelaku dan korban (negara
atau perorangan atau kelompok) berbasis efisiensi dan berdampak produktif.
Solusi
alternatif dari penjeraan/ penghukuman adalah sistem pemidanaan nonpenal
(nonpenal policy) yang mengutamakan best-practices baik bagi kepentingan
negara maupun korban perorangan maupun pelaku. Hukuman yang cocok dalam
konteks pendekatan efisiensi ini hukuman denda yang tinggi dilengkapi dengan
hukuman bersyarat dan pidana kerja sosial bagi pelakunya.
Sistem
hukuman nonpenal ini bukan bertujuan efek jera secara fisik, melainkan efek
jera baik secara finansial maupun sosial dan bersamaan dengan sistem hukuman
tersebut negara tidak perlu harus mengeluarkan biaya yang sangat besar dan
tidak efisien.
Biarkan biaya hasil penghematan dengan sistem hukuman ini disediakan untuk
pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar