Karakter
Ekonomi Bangsa
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
16 Oktober 2014
OKTOBER 2014 akan ditandai oleh
dua cuaca penting. Cuaca alam menandai pergantian musim dari kemarau ke
hujan, yaitu ketika Tuhan mengirimkan hujan untuk menyuburkan tanah dan
petani mulai bercocok tanam. Sementara cuaca politik ditandai dengan
peralihan kekuasaan, yaitu pemerintahan baru membongkar kebijakan usang yang
tak relevan dan memproduksi kebijakan baru yang lebih segar. Petani bekerja
dengan sumber nilai lokal dan tradisi panjang, sedangkan kekuasaan berjalan
berdasarkan otoritas konstitusi dan kapasitas teknokratis. Dalam konteks
ekonomi, platform yang disusun selalu mengandaikan derivasi nilai bersumber
dari ideologi (konstitusi) itu. Jika tidak, pasti akan ditinggalkan karena
tak setia dengan ikrar negara. Jika proses politik tak dicederai kepentingan
sempit, kebijakan dan program ekonomi satu lini dengan platform berbasis
ideologi itu. Selama masa kampanye pilpres terlihat nuansa itu, benih program
ekonomi disebar di atas tanah konstitusi. Rakyat tentu bersiap memanen dan
merayakan hasil tanam itu.
Kolektivitas
ekonomi
Ideologi tak pernah bebas nilai, tetapi memihak kepada nilai-nilai
tertentu yang dianggap lebih bajik dan sesuai dengan konteks sosial-budaya.
Oleh karena itu, tiap ideologi akan turun dalam sebuah sistem yang memiliki
karakter spesifik. Dasar negara dan konstitusi yang kita miliki tak bisa pula
mengelak dari takdir itu. Tergambar jelas dari sila-sila dasar negara
(Pancasila) dan pasal-pasal ekonomi konstitusi (UUD 1945) tentang afirmasi
nilai tersebut.
Pasal 33 UUD 1945 adalah induk dari penyusunan dasar-dasar penyelenggaraan
ekonomi, sedangkan sila kelima Pancasila menjadi alat ukur pencapaian
pelaksanaan ekonomi itu. Watak kolektivitas ekonomi tak dapat dihindari jika
merujuk kepada panduan itu sebab term ”usaha bersama” dan ”keadilan sosial”
sudah sedemikian terang-benderang tertulis dalam dasar negara dan konstitusi.
Kolektivitas ekonomi memiliki makna sebuah gerakan bersama, bukan inisiatif
individu-individu yang dirangsang oleh motif profit perorangan.
Karakter itulah yang kini lenyap dari wajah ekonomi Indonesia. Dalam
bingkai konstitusi dan dasar negara itu, sekurangnya tiga ciri yang harus
muncul: (i) fragmentasi ekonomi tak akan terjadi, khususnya antara faktor
produksi modal dan pekerja sebab kegiatan ekonomi adalah bangun usaha yang
diniati sebagai gerakan bersama. Pemilik produksi dan yang menjalankan usaha
adalah pihak yang sama, yang dikelola secara kolektif, sehingga tiap-tiap
urusan/usaha dimiliki, diputuskan, dan ditanggung secara bersama-sama; (ii)
negara diberi ruang yang besar mengurus hajat publik sehingga kebutuhan dasar
rakyat tercukupi.
Secara eksplisit peran negara tidak sekadar membuat regulasi (yang
dijalankan pemerintah), tetapi juga mengambil peran aktif sebagai aktor
ekonomi, seperti yang diperlihatkan dalam frasa ”dikuasai oleh negara”; dan
(iii) hilir ekonomi dianggap berhasil apabila distribusi merata sehingga
keadilan sosial terselenggara. Kesejahteraan dianggap separuh pencapaian,
yang hanya lengkap jika diikuti dengan keadilan (pemerataan). Peran regulasi
pemerintah kian eksesif di sini.
Dari awal sampai akhir, sila dasar negara dan pasal-pasal ekonomi itu
tak memantik paradoks apa pun. Jika landasan ekonomi adalah gerakan kolektif,
kegiatan produksi dan hasil yang dibagi (distribusi) berada dalam satu
tarikan napas. Sejak dari hulu kemungkinan menyusupnya disparitas sudah
dipangkas. Di sini, bangun usaha koperasi dijadikan sebagai referensi sebab
penyelenggaraannya secara utuh memantulkan nilai-nilai mulia tersebut.
Berikutnya, negara tak dibiarkan ”netral” dalam memformulasikan
peraturan sebab dibebani aneka tanggung jawab sosial yang sangat besar,
seperti penciptaan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, kecukupan
pangan-sandang-papan, pendidikan rakyat, kesehatan warga, dan menafkahi
fakir-miskin (dan anak telantar). Jika format itu yang dijalankan, keadilan
pada tingkat hilir pasti akan tercipta (plus regulasi) sebab distribusi di
hulu sudah meniscayakan pemerataan. Itulah karakter ”demokrasi ekonomi”
Indonesia.
Jika karakter ekonomi konstitusi itu dikaitkan dengan keadaan hari ini,
akan dijumpai selisih jalan. Kegiatan ekonomi, khususnya produksi, tak
mengandaikan adanya kedaulatan rakyat atas faktor produksi. Ekonomi
dipadatkan sebagai hubungan pemilik modal dan pekerja sehingga relasi yang
dibangun semata pembagian nisbah ekonomi dalam posisi yang tak setara. Faktor
produksi sepenuhnya dipegang yang empunya modal (dan tanah). Pekerja hanya
berdaulat atas keterampilan dan tenaga yang dipunyai, itu pun dengan
mekanisme kontrak lemah.
Di sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, misalnya pertanian,
kekuasaan faktor produksi modal dan tanah sudah lama lenyap dari tangan
petani. Modal baru mengalir jika tangan menadah ke rentenir karena akses ke
lembaga keuangan formal begitu sempit. Kepemilikan lahan lebih nestapa lagi, diisap
struktur ekonomi yang tak memihak sehingga kian lama penguasaan tanah kian
kecil. Sebaliknya, pemilik modal bisa menguasai ratusan ribu hektar, nyaris
tanpa batas.
Pada saat sebagian besar urusan ekonomi diserahkan pasar, terdapat
sendi-sendi kepentingan publik yang tercerabut. Pada saat peran efektif
negara hilang, residu ekonomi banyak bermunculan di lapangan. Saat ini
pekerja sektor informal kita sekitar 59 persen. Jika jumlah total tenaga
kerja sekitar 130 juta, jumlah itu setara dengan 75 juta tenaga kerja.
Pekerja sektor informal ini tak dilindungi hukum, kepastian berusaha rapuh,
upah rendah (kadang tak dibayar), jaminan sosial absen (kesehatan), dan
lain-lain.
Demikian juga soal pangan-sandang-papan. Kedaulatan pangan dalam
ancaman karena produksi dan distribusi tak lagi dilakukan dan dipunyai para
petani. Akses sebagian penduduk kian mengecil atas pangan karena harga yang
nyaris menyundul langit. Harga rumah makin tak terjangkau sehingga kurang
lebih ada 10 juta-15 juta rumah tangga yang tak punya rumah (laik). Ini semua
menghendaki peran negara yang aktif, bukan semata regulator.
Keniscayaan berikutnya adalah disparitas yang makin menganga karena
konsentrasi faktor produksi dan kebijakan distribusi yang tumpul. Pemilik
faktor produksi menikmati pertumbuhan laba yang besar, berlipat ketimbang
tingkat inflasi. Sebaliknya, penerima upah (kelompok pekerja) berjibaku
menyesuaikan pertumbuhan pendapatan yang hanya cukup menyerap kenaikan harga
barang.
Sementara itu, kebijakan pajak dan transfer pemerintah kurang tajam
sehingga tidak dapat memangkas perbedaan pendapatan antar-golongan. Reformasi
pajak hanya menyangkut teknis pemungutan dan perluasan wajib pajak, tetapi
tak menyasar tingkat ideal tarif pajak yang senapas dengan cita-cita keadilan
sosial. Transfer pemerintah hampir tidak jalan karena skema yang integratif
belum disusun secara sistematis. Misalnya, bagaimana bentuk transfer yang
solid bagi kelompok penganggur, grup disabilitas, tunjangan pendapatan kaum
miskin, kerumunan tunatanah, dan sebagainya.
Preferensi sosial
Pilpres yang telah usai beberapa saat lalu menggembirakan karena
kandidat mencoba merebut napas konstitusi dalam formulasi platform ekonomi
sehingga harapan perekonomian ditata sesuai dengan mandat konstitusi
mendapatkan jalannya kembali. Pada titik ini, peristiwa pilpres tersebut
boleh dianggap sebagai kemenangan konstitusi sehingga api asa ekonomi dapat
dinyalakan lagi. Paling pokok, perbaikan fundamental berpikir dalam pembaruan
ekonomi harus disempurnakan sebab dalam platform masih dijumpai kebijakan dan
program tanpa didahului narasi ideologis yang ditulis dengan solid.
Hal ini bisa dimengerti sebab pada masa kampanye memang prioritas
kebijakan dan program lebih ditunggu masyarakat ketimbang aspek-aspek yang
kelihatan absurd. Kini saatnya pemerintahan (baru) merumuskan kelembagaan
paling tinggi (the highest level of
institutions) sebagai induk desain kebijakan dan program, yang tentu saja
disarikan dari konstitusi. Dari sinilah utang kepada konstitusi dicicil
sedikit demi sedikit.
Jika tugas itu telah usai, pemerintah lebih mudah memutuskan prioritas
atas pilihan-pilihan kebijakan (current
choices of the government). Harus dipahami bahwa pemerintahan ini
dibatasi usia administratif karena pagu waktu yang diberikan hanya lima
tahun. Artinya, tujuan-tujuan normatif konstitusi tak mungkin diwujudkan
dalam masa singkat itu sehingga opsi prioritas menjadi penting. Fakta pokok
yang tersedia, presiden (baru) telah memiliki sekian banyak kebijakan dan
program sehingga proses seleksi dapat dikerjakan. Seleksi itu sekurangnya
bisa dilakukan dengan dua pendekatan.
Pertama, seleksi substantif. Maksudnya, garis-garis besar mandat
konstitusi semuanya telah diakomodasi dalam prioritas kebijakan/program.
Pasal-pasal ekonomi yang termaktub di konstitusi seluruhnya, tanpa kecuali,
harus terpancarkan dalam kebijakan ekonomi. Kedua, seleksi problematik.
Persoalan-persoalan genting menyangkut hajat publik, semacam akses pangan,
pengelolaan sumber daya alam, dan disparitas pendapatan, memperoleh urutan
penanganan segera.
Pekerjaan rumah terakhir adalah menyingkap preferensi sosial (identification of social preferences)
untuk memastikan kebijakan/program yang hendak dieksekusi betul-betul
merupakan pantulan hasrat rakyat. Acap kali kebijakan gagal dijalankan bukan
karena kualitas kelembagaan yang buruk, melainkan kesenjangan antara
preferensi sosial dan prioritas pemerintah. Masalah jamak yang sering
berlangsung, kebijakan pemerintah yang sudah mempertimbangkan aspek
teknokratis belum tentu merupakan kebutuhan rakyat karena di lapangan rakyat
bergulat dengan kenyataan pedih hidup yang lain.
Gerakan blusukan (dan model menjala aspirasi lain yang lebih
terlembagakan) menjadi penting di sini sehingga patut dijadikan sumber untuk
merekatkan antara preferensi publik dan itikad pemerintah. Pola ini tak boleh
dilakukan semata untuk memenuhi disiplin prosedur, tetapi harus dihayati
sebagai telinga hati negara untuk mendengar suara lirih rakyat. Mari
menyatukan hati dan tekad untuk mewujudkan cita-cita luhur ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar