Selasa, 23 September 2014

Wakil Rakyat Butuh Komunikasi Politik

Wakil Rakyat Butuh Komunikasi Politik

Irma Garnesia ;   Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran Bandung
HALUAN, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Wakil Rakyat mut­lak butuh ko­mu­nikasi politik. Coba jawab per­tanyaan berikut, “Apa yang ada dalam pikiran Anda mengenai Politik?” Kekuasaan, Koalisi, Oposisi, atau Korupsi? Korupsi, kata yang satu ini erat kaitannya dengan perpolitikan di In­donesia. Politik di negara kita tidak hanya bicara mengenai kekuasaan, tapi juga korupsi. Itulah pemahaman masyarakat mengenai politik secara umum.

Politik juga memiliki hu­bungan erat dengan koalisi. Bukankah kita sering men­dengar mengenai Koalisi Merah Putih? Begitu pula kabar yang berkembang akhir-akhir ini bahwa Koalisi Merah Putih berusaha merebut kekuasaan dengan menguasai daerah. Seperti yang dikutip dari Metrotvnews.com, Rabu (10/09), “Mereka, Gerindra dan partai politik Koalisi Merah-Putih ngotot untuk mengubah tata cara Pemilihan Kepala Daerah Tingkat II. Alasannya, sistem pemilihan langsung seperti sekarang terlalu mahal biayanya dan bahkan me­marakkan politik uang.”

Disadari atau tidak, per­bincangan mengenai politik erat hubungannya dengan persepsi. Seperti jawaban Anda atas pertanyaan pertama, jawaban ditentukan oleh persepsi Anda mengenai politik. Sama halnya dengan koalisi, pertimbangan-pertimbangan dalam politik bersifat perseptual. Maka dari itu, jangan pernah per­caya pada koalisi permanen. Tidak ada koalisi yang aba­di, yang ada ha­nyalah kepen­tingan.

Pemilu 2009 mengingatkan kita bahwa pilihan politik bersifat perseptual. Saat itu, SBY memenangkan pemilu sebesar 70%. Ia menang telak tanpa tadeng alih-alih. Kemudian ia membangun koalisi penuh, koalisi yang sangat besar. Seharusnya koalisi gemuk ini mampu mendukung SBY hingga menjadi pemerintahan yang kuat. Dalam teorinya, SBY mendapat dukungan dari koalisi dan parlemen. Tapi kenyataannya parlemen tak sepenuhnya mendukung SBY. Contohnya dalam kebijakan menaikan harga BBM. SBY tidak jadi menaikkan harga BBM karena ditolak oleh parlemen. Persepsi bermain di sini. Di satu sisi parlemen mendukung SBY, tapi di sisi lain mematahkan kebijakan SBY.

Persepsi adalah inti ko­munikasi, jelas Prof. Deddy Mulyana dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi. Masyarakat seringkali memiliki persepsi buruk mengenai politik, termasuk ke dalamnya DPR. Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata DPR? Mobil mewah? Liburan ke luar negeri? Rumah mewah dan gaji miliaran? Atau tidur saat sidang? DPR me­miliki komunikasi yang buruk terhadap masyarakat. Sering kali kita beranggapan negatif terhadap mereka, padahal di sisi lain ada pula wakil rakyat yang bekerja dengan baik dan tulus. Namun yang mendapat perhatian intensif adalah perilaku negatif mereka.

Lantas apa solu­sinya? Para wakil rakyat mem­bu­tuh­kan komunikasi politik. Mereka per­lu sering-sering berinteraksi dengan rakyat atas peker­jaannya. Mereka perlu men­dengar keluhan rakyat dan bagaimana kondisi publik saat ini. Semua agar persepsi masyarakat baik terhadap pemerintah. Koalisi Merah Putih misal­nya bisa saja meyakinkan rakyat agar RUU Pilkada dapat diterima. Namun persepsi rakyat buruk terha­dap hal ini. Banyak pihak menilai motif me­reka adalah me­rebut kekuasaan. Dengan menguasai Kepala-kepada Da­e­rah Ting­kat II, Koalisi Merah Putih akan mudah untuk me­nyetir program pe­me­rintahan selanjutnya. Jika pemerintahan se­lanjutnya tidak menunjukkan kinerja bagus, mudah bagi pihak koalisi untuk merebut kekuasaan pada Pemilu 2019.

Maka sekali lagi, elite sangat butuh komunikasi politik. Agar tercipta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Persepsi masya­rakat akan negatif jika terus disuntik berita buruk dari media. Wakil rakyat perlu berubah, menjadi lebih ramah kepada rakyat. Jangan hanya mengingat rakyat lima tahun sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar