Pilkada
Tak Langsung dan Hak Warga
Fajar Kurnianto ;
Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta, Tinggal di Depok
|
SINAR
HARAPAN, 12 September 2014
Isu
pilkada tak langsung atau dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
kembali diangkat dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU
Pilkada). Koalisi Merah Putih yang di dalamnya ada Golkar, Gerindra, PPP,
PAN, PKS, dan Demokrat, mendukung pilkada tak langsung. Di sisi lain, PDIP,
PKB, dan Hanura mendukung pilkada langsung.
Wacana
ini sebetulnya beberapa kali muncul, tetapi berkali-kali pula sekadar wacana.
Kali ini, tampaknya isu tersebut diangkat lebih serius. Ini juga berpotensi
disahkan jika melihat peta pendukung dan penentang di parlemen.
Sebelumnya,
Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) berhasil
disahkan dalam sidang paripurna pengesahan revisi UU MD3 pada 8 Juli 2014,
yang diwarnai walk out (WO) anggota Fraksi PDIP, Hanura, dan PKB. Dalam UU
itu, antara lain disebutkan pemimpin DPR termasuk alat kelengkapan dewan,
nanti akan dipilih langsung secara paket. Ini berbeda dengan UU sebelumnya,
yaitu Ketua DPR milik pemenang pileg.
Pengesahan
ini merupakan “kemenangan” Koalisi Merah Putih di parlemen sebelum pilpres
berlangsung. Setelah “gagal” dalam pilpres yang akhirnya dimenangi Jokowi
yang diusung PDIP, PKB, dan Hanura, Koalisi Merah Putih kembali “bermanuver”.
Pilkada
tak langsung kembali diangkat. Jika melihat peta di parlemen, boleh saja
Koalisi Merah Putih optimistis akan mengulang kembali kemenangan seperti
dalam UU MD3. Namun, kali ini masalahnya berbeda. Ini masalah serius yang
menyangkut kehidupan demokrasi, bukan lagi lingkup parlemen seperti pada UU
MD3 yang tak begitu disorot publik.
Mungkin
publik juga mengerti, itu masalah internal di parlemen, soal tata tertib
pemilihan ketua yang tak ada sangkut pautnya dengan publik. Dalam bahasa yang
ekstrem mungkin, itu tak ada “manfaatnya” secara langsung bagi publik. Lain
halnya dengan pilkada langsung atau tak langsung. Ini menyangkut hak-hak
publik dalam alam demokrasi.
Dalam
alam demokrasi, hak individu mesti dilindungi, dihormati, dan dihargai dalam
bentuk pemberian hak untuk memilih pemimpin yang dimauinya seperti dalam
pilkada. Masalah kepemimpinan tak bisa diserahkan hanya kepada segelintir
orang, dalam hal ini elite-elite di parlemen atau anggota DPRD.
Sesuai
namanya, mereka memang perwakilan rakyat yang dipilih rakyat melalui pemilu
legislatif. Mereka dianggap representasi suara dan keinginan rakyat. Namun,
itu tak serta-merta berarti apa yang dimaui rakyat sama dengan yang dimaui
para anggota parlemen itu. Bisa saja di parlemen ada koalisi besar yang
menjadi mayoritas, seperti Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta,
nyatanya rakyat justru lebih memilih Jokowi-Kalla pada pilpres lalu.
Meminjam
kata-kata Tocquiville, suara terbanyak dan mayoritas tidak selalu
mencerminkan kebenaran, karena potensi tirani mayoritas akan selalu
menghantui demokrasi. Ini menggambarkan parlemen tak benar-benar
menggambarkan utuh apa yang dimaui rakyat.
Menyerahkan
pemilihan pemimpin eksekutif, dalam hal ini gubernur, kepada DPRD tidak hanya
merampas hak konstitusional individu warga untuk memilih pemimpinnya. Ini
juga membuka celah dan ruang bagi munculnya politik transaksional di parlemen
yang bisa melahirkan korupsi, suap, dan sejenisnya. Gubenur yang akan muncul
bisa jadi adalah hasil transaksi politik.
Kekuatan
uang (money politics) akan kian
besar nilainya. Jika ini terjadi, publik berarti telah memilih anggota
parlemen yang nantinya akan memilih pemimpin yang tidak dikehendaki mereka,
tetapi dikehendaki parlemen melalui proses-proses yang sarat dengan money
politics. Betul bahwa baik model pemilu langsung maupun tak langsung ada
kurang lebihnya, negatif positifnya. Money politics terjadi di masing-masing
model itu. Namun, model pilkada langsung lebih memberikan hak kepada setiap
individu warga, dibanding pilkada tak langsung.
Jika
dikatakan selama ini praktik pilkada langsung banyak memakan biaya (alasan
efisiensi), sebenarnya ada alternatif pilkada serentak yang bisa dicoba dan
dapat menghemat biaya. Jika dikatakan selama ini banyak masalah sosial yang
muncul, seperti konflik horizontal akibat pilkada, tentu perlu dilihat apakah
itu efek dari pilkada langsung atau sebenarnya hanya masalah elite-elite
politik yang kalah dan tak terima kemudian menyerukan pendukungnya untuk
melakukan tindakan-tindakan anarkistis.
Sejauh
yang kita lihat dalam banyak konflik politik setelah pilkada, peran elite
dalam menggerakkan massa sangat besar. Rakyat sebetulnya sudah cukup menerima
jika jagoannya kalah, tetapi tidak dengan jagoan yang kalah. Tradisi menerima
kekalahan secara legawa belum begitu mengakar pada elite-elite politik. Bisa
jadi ini karena ongkos politik yang mahal, atau yang lainnya.
Kepentingan Rakyat
Lebih
dari sekadar manuver, politik Koalisi Merah Putih di parlemen yang terlihat
merupakan babak lanjutan dari proses pilpres yang telah berakhir di Mahkamah
Konstitusi (MK). Apa yang terjadi di parlemen sebenarnya mengecewakan publik.
Publik melihat wakil-wakilnya yang telah dipilih dalam pileg ternyata terlalu
sibuk dengan pertarungan elite-elite politik, sehingga energi habis seakan
tak menyisakan untuk memikirkan nasib rakyat dan janji-janji yang mereka buat
sewaktu kampanye.
Publik
telah melihat langsung dan menganggap drama pilpres sudah selesai di MK,
dengan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden (wapres)
terpilih. Namun, rupanya drama itu terus berlanjut di parlemen dengan
babak-babak baru. Selain UU MD3 dan pilkada tak langsung, berkembang pula
wacana pembentukan pansus pilpres.
Publik
tentu akan bertanya-tanya, kepentingan rakyat yang seperti apa diperjuangkan
di parlemen? Mereka memang yang berhak membuat UU. Akan lebih baik jika UU
itu yang berorientasi kepentingan rakyat yang sesungguhnya.
Pilkada
langsung mestinya sudah final dan tak usah kembali lagi ke masa lalu. Tinggal
bagaimana mencari cara untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada, dengan
memikirkan alternatif-alternatif yang bisa dilakukan untuk menghemat biaya,
jika masalahnya ada di biaya. Atau, untuk meredam gejolak sosial-politik
setelah pilkada jika masalahnya ada di situ.
Pileg
dan pilpres sudah berakhir. Saat ini dan ke depan, bangsa ini menghadapi
banyak masalah besar mesti dipecahkan bersama-sama, bahu-membahu,
bergotong-royong. Daripada sibuk mengutak-atik atau “mengakali” UU yang sudah
ada, akan lebih baik mengurusi hal lain yang lebih penting dan mendesak bagi
kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar