Sabtu, 13 September 2014

Pilkada Tak Langsung dan Hak Warga

Pilkada Tak Langsung dan Hak Warga

Fajar Kurnianto  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta, Tinggal di Depok
SINAR HARAPAN, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Isu pilkada tak langsung atau dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali diangkat dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Koalisi Merah Putih yang di dalamnya ada Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKS, dan Demokrat, mendukung pilkada tak langsung. Di sisi lain, PDIP, PKB, dan Hanura mendukung pilkada langsung.

Wacana ini sebetulnya beberapa kali muncul, tetapi berkali-kali pula sekadar wacana. Kali ini, tampaknya isu tersebut diangkat lebih serius. Ini juga berpotensi disahkan jika melihat peta pendukung dan penentang di parlemen.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) berhasil disahkan dalam sidang paripurna pengesahan revisi UU MD3 pada 8 Juli 2014, yang diwarnai walk out (WO) anggota Fraksi PDIP, Hanura, dan PKB. Dalam UU itu, antara lain disebutkan pemimpin DPR termasuk alat kelengkapan dewan, nanti akan dipilih langsung secara paket. Ini berbeda dengan UU sebelumnya, yaitu Ketua DPR milik pemenang pileg.

Pengesahan ini merupakan “kemenangan” Koalisi Merah Putih di parlemen sebelum pilpres berlangsung. Setelah “gagal” dalam pilpres yang akhirnya dimenangi Jokowi yang diusung PDIP, PKB, dan Hanura, Koalisi Merah Putih kembali “bermanuver”.

Pilkada tak langsung kembali diangkat. Jika melihat peta di parlemen, boleh saja Koalisi Merah Putih optimistis akan mengulang kembali kemenangan seperti dalam UU MD3. Namun, kali ini masalahnya berbeda. Ini masalah serius yang menyangkut kehidupan demokrasi, bukan lagi lingkup parlemen seperti pada UU MD3 yang tak begitu disorot publik.

Mungkin publik juga mengerti, itu masalah internal di parlemen, soal tata tertib pemilihan ketua yang tak ada sangkut pautnya dengan publik. Dalam bahasa yang ekstrem mungkin, itu tak ada “manfaatnya” secara langsung bagi publik. Lain halnya dengan pilkada langsung atau tak langsung. Ini menyangkut hak-hak publik dalam alam demokrasi.

Dalam alam demokrasi, hak individu mesti dilindungi, dihormati, dan dihargai dalam bentuk pemberian hak untuk memilih pemimpin yang dimauinya seperti dalam pilkada. Masalah kepemimpinan tak bisa diserahkan hanya kepada segelintir orang, dalam hal ini elite-elite di parlemen atau anggota DPRD.

Sesuai namanya, mereka memang perwakilan rakyat yang dipilih rakyat melalui pemilu legislatif. Mereka dianggap representasi suara dan keinginan rakyat. Namun, itu tak serta-merta berarti apa yang dimaui rakyat sama dengan yang dimaui para anggota parlemen itu. Bisa saja di parlemen ada koalisi besar yang menjadi mayoritas, seperti Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta, nyatanya rakyat justru lebih memilih Jokowi-Kalla pada pilpres lalu.

Meminjam kata-kata Tocquiville, suara terbanyak dan mayoritas tidak selalu mencerminkan kebenaran, karena potensi tirani mayoritas akan selalu menghantui demokrasi. Ini menggambarkan parlemen tak benar-benar menggambarkan utuh apa yang dimaui rakyat.

Menyerahkan pemilihan pemimpin eksekutif, dalam hal ini gubernur, kepada DPRD tidak hanya merampas hak konstitusional individu warga untuk memilih pemimpinnya. Ini juga membuka celah dan ruang bagi munculnya politik transaksional di parlemen yang bisa melahirkan korupsi, suap, dan sejenisnya. Gubenur yang akan muncul bisa jadi adalah hasil transaksi politik.

Kekuatan uang (money politics) akan kian besar nilainya. Jika ini terjadi, publik berarti telah memilih anggota parlemen yang nantinya akan memilih pemimpin yang tidak dikehendaki mereka, tetapi dikehendaki parlemen melalui proses-proses yang sarat dengan money politics. Betul bahwa baik model pemilu langsung maupun tak langsung ada kurang lebihnya, negatif positifnya. Money politics terjadi di masing-masing model itu. Namun, model pilkada langsung lebih memberikan hak kepada setiap individu warga, dibanding pilkada tak langsung.

Jika dikatakan selama ini praktik pilkada langsung banyak memakan biaya (alasan efisiensi), sebenarnya ada alternatif pilkada serentak yang bisa dicoba dan dapat menghemat biaya. Jika dikatakan selama ini banyak masalah sosial yang muncul, seperti konflik horizontal akibat pilkada, tentu perlu dilihat apakah itu efek dari pilkada langsung atau sebenarnya hanya masalah elite-elite politik yang kalah dan tak terima kemudian menyerukan pendukungnya untuk melakukan tindakan-tindakan anarkistis.

Sejauh yang kita lihat dalam banyak konflik politik setelah pilkada, peran elite dalam menggerakkan massa sangat besar. Rakyat sebetulnya sudah cukup menerima jika jagoannya kalah, tetapi tidak dengan jagoan yang kalah. Tradisi menerima kekalahan secara legawa belum begitu mengakar pada elite-elite politik. Bisa jadi ini karena ongkos politik yang mahal, atau yang lainnya.

Kepentingan Rakyat

Lebih dari sekadar manuver, politik Koalisi Merah Putih di parlemen yang terlihat merupakan babak lanjutan dari proses pilpres yang telah berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Apa yang terjadi di parlemen sebenarnya mengecewakan publik. Publik melihat wakil-wakilnya yang telah dipilih dalam pileg ternyata terlalu sibuk dengan pertarungan elite-elite politik, sehingga energi habis seakan tak menyisakan untuk memikirkan nasib rakyat dan janji-janji yang mereka buat sewaktu kampanye.

Publik telah melihat langsung dan menganggap drama pilpres sudah selesai di MK, dengan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden (wapres) terpilih. Namun, rupanya drama itu terus berlanjut di parlemen dengan babak-babak baru. Selain UU MD3 dan pilkada tak langsung, berkembang pula wacana pembentukan pansus pilpres.

Publik tentu akan bertanya-tanya, kepentingan rakyat yang seperti apa diperjuangkan di parlemen? Mereka memang yang berhak membuat UU. Akan lebih baik jika UU itu yang berorientasi kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Pilkada langsung mestinya sudah final dan tak usah kembali lagi ke masa lalu. Tinggal bagaimana mencari cara untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada, dengan memikirkan alternatif-alternatif yang bisa dilakukan untuk menghemat biaya, jika masalahnya ada di biaya. Atau, untuk meredam gejolak sosial-politik setelah pilkada jika masalahnya ada di situ.

Pileg dan pilpres sudah berakhir. Saat ini dan ke depan, bangsa ini menghadapi banyak masalah besar mesti dipecahkan bersama-sama, bahu-membahu, bergotong-royong. Daripada sibuk mengutak-atik atau “mengakali” UU yang sudah ada, akan lebih baik mengurusi hal lain yang lebih penting dan mendesak bagi kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar