SBY
dan Buku
Muhidin M Dahlan ;
Kerani
@warungarsip
|
TEMPO,
13 September 2014
Bagi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, buku itu penting. Termasuk rumah buku,
yakni perpustakaan. Untuk itu, Ibu Negara via Solidaritas Istri Kabinet
Indonesia Bersatu (Sikib) ditugaskan membuat Rumah Pintar di pelbagai penjuru Nusantara. Jumlahnya sudah lebih
dari setengah juta unit. Terkadang, dari segi bangunan, Rumah Pintar jauh lebih kinclong ketimbang gedung perpustakaan
daerah yang tampak kusam dan kelelahan berhadapan dengan zaman.
Bagi
Presiden SBY, buku itu mahkota seorang pemimpin. Karena itu, ketika pulang
dari muhibah ke luar negeri mewakili negara dan bangsa, ia kerap singgah di
toko untuk membeli beberapa buku penting tentang politik, manajamen
kepemimpinan, dan biografi.
Bagi
Presiden SBY, buku itu memperkaya gagasan dan menambah perbendaharaan istilah
dan lema. Karena itu, dalam berpidato, SBY betul-betul mengecek draf pidato
yang dibuat staf khusus untuk melihat gagasan, alur, dan bahkan diksi. Untuk
itu, jangan heran, dalam pidato SBY, terlalu banyak paragraf atau kalimat
yang layak kutip, atau meminjam istilah generasi terbaru media sosial,
"layak twit".
Bagi
Presiden SBY, buku itu sahabat inspirasi. Dengan buku, SBY menjadi pencipta
dan penulis lirik-lirik lagu. Menulis bait-bait lagu, bagi SBY, seperti kerja
seorang penyair. Ia membutuhkan waktu tapa dan hening. Karena itu, jangan
kaget kalau beberapa kali menemukan foto Presiden SBY duduk sendiri
berhadapan dengan kertas kosong dengan latar alam kehijauan dan sunyi. Di
dalam situasi yang hening itu, ia menulis syair lagu sebagai resultan puncak
dari refleksi kesehariannya sebagai pemimpin negeri. Mungkin juga ia sedang
menulis dan mengedit pidatonya.
Bagi
Presiden SBY, buku itu warisan pemikiran. Karena itu, dalam beberapa kali
kesempatan pada tahun-tahun pamungkas kekuasaannya selama 10 tahun ini, ia
dengan lirih berkata bahwa ia membuat suatu lembaga dengan perpustakaan kaya
koleksi/terpilih yang menjadi tempat para pemimpin muda masa depan Republik
untuk mengasah gagasan. Ia juga merancang Museum Presiden jauh-jauh hari, di
mana koleksi kepustakaan dan bibliografi tentang kepresidenan dan politik di
dalamnya bisa ditemui. Perpustakaan dari Museum Presiden itu kelak menjadi
sandaran warisan untuk tahu bagaimana lini masa pemikiran presiden-presiden
Republik dalam waktu kebangsaan dan ruang kenegaraan kita.
Bagi
Presiden SBY, buku itu mengabadikan. Maka ia menulis apa saja tentang
dirinya. Menjelang masa menjabat Presiden RI lewat pemilihan langsung oleh
rakyat pada 2004, buku biografinya, SBY
Sang Demokrat, terbit. Separuh dari biografi tebal itu adalah
foto-fotonya yang sekaligus menjadi epik, karena inilah buku biografi
presiden dengan kuantitas foto terbanyak, yang mengalahkan dengan telak
biografi Sukarno.
Dan
pada akhir masa kekuasaannya, biografi harian SBY terbit dengan judul Selalu Ada Pilihan. Ia merefleksikan
isu-isu terpilih selama 10 tahun, termasuk gosip panas tentang dirinya. Dan
seperti seorang resi, tentu saja buku itu berisi banyak nasihat bijak untuk
presiden berikutnya.
Akhirul
kalam, bagi Presiden SBY, buku itu adalah cerminan sikap politik. Dalam buku,
dialog yang intim adalah keharusan. Tak ada opsi pamer senjata dalam kamus
kebijakan SBY. Karena itulah pemerintah SBY selamat meniti demokrasi yang
konstitusional dalam kurun 10 tahun-sebuah transisi kepemimpinan politik
paling sukses dalam sejarah RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar