Perlu
Solusi Politik Regional
Musthafa Abd Rahman ;
Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
14 September 2014
Amerika
Serikat dalam waktu cukup cepat ber-hasil membangun koalisi internasional dan
regi-onal memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah. Juru bicara Departemen
Luar Negeri AS, Jen Psaki, mengklaim, lebih dari 40 negara siap bergabung
dalam koalisi tersebut.
AS
membangun koalisi melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dalam empat
tahap yang terwujud dalam waktu singkat. Pertama, melalui sidang Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Agustus 2014, yang berhasil mengeluarkan
Resolusi Nomor 2170. Resolusi yang bersandar pada Pasal VII Piagam PBB itu
memberi mandat untuk memerangi NIIS akibat perilaku brutal terhadap kelompok
minoritas di Irak, seperti Kristen, Kurdi, dan Yazidi.
Tahap
kedua adalah pertemuan puncak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di
Wales, Inggris, 5 September, yang dihadiri Presiden AS Barack Obama. Negara
anggota NATO saat itu menyatakan siap mendukung Irak menghadapi NIIS.
Selanjutnya,
Sidang Tingkat Menteri Luar Negeri Liga Arab pada 7 September di Kairo,
Mesir. Sidang itu mengeluarkan rekomendasi mengambil segala langkah yang
diperlukan dalam menghadapi NIIS. Liga Arab juga akan bekerja sama dengan
dunia internasional, regional, dan domestik untuk memerangi kelompok radikal.
Tahap
terakhir adalah pertemuan Menlu AS John Kerry dengan sejumlah menlu Arab dan
Turki di Jeddah, Arab Saudi, pada 11 September. Dalam pertemuan itu, sepuluh
negara Arab sepakat mendukung AS memerangi NIIS. Selain Arab Saudi, negara
Arab lain yang bergabung dalam koalisi internasional adalah Bahrain, Mesir,
Irak, Jordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
Turki
yang turut dalam pertemuan di Jeddah menolak bergabung. Ankara
mengkhawatirkan nasib 50 warga Turki yang disekap NIIS jika mereka bergabung
di koalisi internasional.
Melihat
catatan sejarah, AS hampir selalu berhasil membangun koalisi internasional
melawan kelompok atau negara tertentu dalam waktu singkat. Koalisi itu,
misalnya, yang dibangun AS pada Perang Teluk I (1990) untuk mengusir pasukan
Irak dari Kuwait, perang melawan Taliban dan Tanzim Al Qaeda di Afganistan
(2001), dan perang menumbangkan rezim Saddam Hussein di Irak (2003).
AS
dengan mudah menggerakkan mesin perangnya ke mana pun, kapan pun, setelah
koalisi terbangun. Bahkan, AS sudah menggempur sejumlah sasaran NIIS di Irak
dari udara sebelum koalisi resmi terbentuk. AS bisa dengan mudah melumpuhkan
kekuatan militer NIIS.
Namun,
persoalan sesungguhnya tak hanya militer semata, tetapi juga dimensi politik
yang tak kalah signifikan. Dimensi politik ini bisa jauh lebih pelik daripada
dimensi militer.
AS
punya pelajaran berharga dari kasus Irak. Mesin perang AS bisa menumbangkan
rezim Saddam Hussein di Baghdad dalam tiga pekan saja. Namun, setelah itu,
situasi di Irak justru makin terpuruk akibat buruknya tatanan politik yang
dibangun setelah era Saddam.
Dalam
konteks politik, AS dinilai sukses mengatasi krisis politik di Baghdad berupa
suksesi Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki oleh Haider al-Abadi. Solusi
politik itu diterima semua kekuatan regional, khususnya Arab Saudi dan Iran.
Al-Maliki selama ini dikenal sebagai musuh bebuyutan Arab Saudi.
Arab
Saudi sempat main mata dengan NIIS untuk menyerang beberapa provinsi di Irak
dalam upaya melemahkan pemerintah Maliki. Arab Saudi disinyalir memberi
syarat kepada AS untuk menggeser Maliki dengan imbalan Arab Saudi berbalik
melawan NIIS. Syarat itu yang kemudian dipenuhi AS.
Akomodasi kepentingan
Namun,
kasus Turki yang belum bergabung dengan koalisi adalah persoalan politik yang
sudah muncul pada awal terbentuknya koalisi. Bagaimanapun, Turki merupakan
negara besar di Timur Tengah. Tanpa partisipasi Turki, keberhasilan koalisi
melawan NIIS diragukan. Turki berbatasan langsung dengan Irak dan memiliki
perbatasan sepanjang 900 kilometer dengan Suriah.
Selama
ini dimaklumi, sebagian besar anggota NIIS dari mancanegara datang ke Suriah
melalui Turki. NIIS bisa menjadikan Turki tempat perlindungan jika terdesak
gempuran AS di Irak dan Suriah. Karena itu, AS harus menggunakan
segala
cara melibatkan Turki dalam koalisi atau setidaknya berupa kesepakatan
bilateral AS-Turki guna memerangi NIIS.
Dalam
konteks ini, AS harus berkompromi mengakomodasi kepentingan Turki. Turki,
misalnya, keberatan atas kecenderungan Barat mempersenjatai Peshmerga, satuan
keamanan Kurdistan. Turki khawatir senjata canggih Barat di tangan Peshmerga
jatuh ke Partai Pekerja Kurdistan yang anti Pemerintah Turki.
Turki
juga meminta pemisahan jelas antara NIIS dan kelompok Islamis beraliran
moderat di Suriah. Turki meminta AS hanya menggempur NIIS.
AS
juga harus mengakomodasi tuntutan Jordania, Arab Saudi, dan opini warga Sunni
secara umum bahwa aksi melawan NIIS tidak berdampak melemahkan milisi Sunni
sekaligus memperkuat rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus dan milisi
bersenjata Syiah, seperti Hezbollah, Brigade al Fadel bin Abbas, milisi
Al-Badar, dan milisi Al-Mahdi.
Diketahui, Iran dan
rezim
Assad
sangat mendukung koalisi melawan NIIS karena dinilai menguntungkan mereka
secara politik. Bahkan, Iran dan Assad menawarkan kerja sama dengan AS
melawan NIIS.
Di
sini, AS harus cerdik menjembatani kepentingan kaum Sunni dan Syiah di dalam
dan luar Irak, terutama kepentingan Arab Saudi dan Iran yang sering
berseberangan. AS juga tidak bisa mengabaikan kepentingan Israel. Jika AS
gagal mengakomodasi kepentingan politik regional secara adil, hal ini akan
menghambat suksesnya perang melawan NIIS.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar