Senin, 15 September 2014

Perlu Solusi Politik Regional

Perlu Solusi Politik Regional

Musthafa Abd Rahman  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 14 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Amerika Serikat dalam waktu cukup cepat ber-hasil membangun koalisi internasional dan regi-onal memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jen Psaki, mengklaim, lebih dari 40 negara siap bergabung dalam koalisi tersebut.

AS membangun koalisi melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dalam empat tahap yang terwujud dalam waktu singkat. Pertama, melalui sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Agustus 2014, yang berhasil mengeluarkan Resolusi Nomor 2170. Resolusi yang bersandar pada Pasal VII Piagam PBB itu memberi mandat untuk memerangi NIIS akibat perilaku brutal terhadap kelompok minoritas di Irak, seperti Kristen, Kurdi, dan Yazidi.

Tahap kedua adalah pertemuan puncak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Wales, Inggris, 5 September, yang dihadiri Presiden AS Barack Obama. Negara anggota NATO saat itu menyatakan siap mendukung Irak menghadapi NIIS.

Selanjutnya, Sidang Tingkat Menteri Luar Negeri Liga Arab pada 7 September di Kairo, Mesir. Sidang itu mengeluarkan rekomendasi mengambil segala langkah yang diperlukan dalam menghadapi NIIS. Liga Arab juga akan bekerja sama dengan dunia internasional, regional, dan domestik untuk memerangi kelompok radikal.

Tahap terakhir adalah pertemuan Menlu AS John Kerry dengan sejumlah menlu Arab dan Turki di Jeddah, Arab Saudi, pada 11 September. Dalam pertemuan itu, sepuluh negara Arab sepakat mendukung AS memerangi NIIS. Selain Arab Saudi, negara Arab lain yang bergabung dalam koalisi internasional adalah Bahrain, Mesir, Irak, Jordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Turki yang turut dalam pertemuan di Jeddah menolak bergabung. Ankara mengkhawatirkan nasib 50 warga Turki yang disekap NIIS jika mereka bergabung di koalisi internasional.

Melihat catatan sejarah, AS hampir selalu berhasil membangun koalisi internasional melawan kelompok atau negara tertentu dalam waktu singkat. Koalisi itu, misalnya, yang dibangun AS pada Perang Teluk I (1990) untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait, perang melawan Taliban dan Tanzim Al Qaeda di Afganistan (2001), dan perang menumbangkan rezim Saddam Hussein di Irak (2003).

AS dengan mudah menggerakkan mesin perangnya ke mana pun, kapan pun, setelah koalisi terbangun. Bahkan, AS sudah menggempur sejumlah sasaran NIIS di Irak dari udara sebelum koalisi resmi terbentuk. AS bisa dengan mudah melumpuhkan kekuatan militer NIIS.

Namun, persoalan sesungguhnya tak hanya militer semata, tetapi juga dimensi politik yang tak kalah signifikan. Dimensi politik ini bisa jauh lebih pelik daripada dimensi militer.

AS punya pelajaran berharga dari kasus Irak. Mesin perang AS bisa menumbangkan rezim Saddam Hussein di Baghdad dalam tiga pekan saja. Namun, setelah itu, situasi di Irak justru makin terpuruk akibat buruknya tatanan politik yang dibangun setelah era Saddam.

Dalam konteks politik, AS dinilai sukses mengatasi krisis politik di Baghdad berupa suksesi Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki oleh Haider al-Abadi. Solusi politik itu diterima semua kekuatan regional, khususnya Arab Saudi dan Iran. Al-Maliki selama ini dikenal sebagai musuh bebuyutan Arab Saudi.

Arab Saudi sempat main mata dengan NIIS untuk menyerang beberapa provinsi di Irak dalam upaya melemahkan pemerintah Maliki. Arab Saudi disinyalir memberi syarat kepada AS untuk menggeser Maliki dengan imbalan Arab Saudi berbalik melawan NIIS. Syarat itu yang kemudian dipenuhi AS.

Akomodasi kepentingan

Namun, kasus Turki yang belum bergabung dengan koalisi adalah persoalan politik yang sudah muncul pada awal terbentuknya koalisi. Bagaimanapun, Turki merupakan negara besar di Timur Tengah. Tanpa partisipasi Turki, keberhasilan koalisi melawan NIIS diragukan. Turki berbatasan langsung dengan Irak dan memiliki perbatasan sepanjang 900 kilometer dengan Suriah.

Selama ini dimaklumi, sebagian besar anggota NIIS dari mancanegara datang ke Suriah melalui Turki. NIIS bisa menjadikan Turki tempat perlindungan jika terdesak gempuran AS di Irak dan Suriah. Karena itu, AS harus menggunakan
segala cara melibatkan Turki dalam koalisi atau setidaknya berupa kesepakatan bilateral AS-Turki guna memerangi NIIS.

Dalam konteks ini, AS harus berkompromi mengakomodasi kepentingan Turki. Turki, misalnya, keberatan atas kecenderungan Barat mempersenjatai Peshmerga, satuan keamanan Kurdistan. Turki khawatir senjata canggih Barat di tangan Peshmerga jatuh ke Partai Pekerja Kurdistan yang anti Pemerintah Turki.

Turki juga meminta pemisahan jelas antara NIIS dan kelompok Islamis beraliran moderat di Suriah. Turki meminta AS hanya menggempur NIIS.

AS juga harus mengakomodasi tuntutan Jordania, Arab Saudi, dan opini warga Sunni secara umum bahwa aksi melawan NIIS tidak berdampak melemahkan milisi Sunni sekaligus memperkuat rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus dan milisi bersenjata Syiah, seperti Hezbollah, Brigade al Fadel bin Abbas, milisi Al-Badar, dan milisi Al-Mahdi.

Diketahui, Iran dan rezim

Assad sangat mendukung koalisi melawan NIIS karena dinilai menguntungkan mereka secara politik. Bahkan, Iran dan Assad menawarkan kerja sama dengan AS melawan NIIS.

Di sini, AS harus cerdik menjembatani kepentingan kaum Sunni dan Syiah di dalam dan luar Irak, terutama kepentingan Arab Saudi dan Iran yang sering berseberangan. AS juga tidak bisa mengabaikan kepentingan Israel. Jika AS gagal mengakomodasi kepentingan politik regional secara adil, hal ini akan menghambat suksesnya perang melawan NIIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar