Nasib
Petani dan Kabinet Baru
Dedik S Widodo ;
Mahasiswa
Magister Agribisnis FST-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Iskandar Andi Nuhung ;
Dosen
Magister Agribisnis FST-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA,
15 September 2014
Kemarau
yang hadir dan mulai mencekik kehidupan petani menjadi peringatan bersama
bahwa nasib mereka harus segera diperbaiki. Disadari atau tidak, pembangunan
pertanian dewasa ini lebih banyak ditujukan untuk kepentingan pemerintah
ketimbang petani itu sendiri.
Dengan
alasan swasembada pangan, stabilitas harga, menekan inflasi, peningkatan
devisa, dan mendorong industri dalam negeri, pemerintah berupaya mendorong
peningkatan produksi pertanian. Asumsinya, jika produksi pertanian meningkat,
maka kesejahteraan petani juga akan terkerek naik secara otomatis.
Republika
(10/9/2014) menulis di headline-nya "Pemerintah Abaikan Irigasi"
menjadi bukti nyata bahwa petani yang merupakan bagian terbesar produsen
hasil pertanian belum menikmati hasil keringatnya sendiri dengan lebih adil.
Laju
perkembangan yang dirasakan pemerintah tidak selaju nikmat yang dirasakan
petani. Pemerintah berhasil meningkatkan nilai ekspor hasil pertanian 2013
mencapai Rp 477 triliun, tapi devisa itu tidak banyak digunakan untuk
kepentingan petani. Uang itu tidak kembali ke desa, apalagi ke pertanian.
Buktinya,
APBN dan kredit untuk sektor pertanian masing-masing hanya 1,3 persen dan 5,4
persen dari total APBN dan kredit yang dikucurkan perbankan. Simpedes yang
jumlahnya mendekati Rp 100 triliun, hanya sebagian kecil dikembalikan untuk
membangun perdesaan dan pertanian dalam bentuk Kupedes.
Pola
pembangunan yang berputar di perkotaan telah menghisap habis-habisan aset
perdesaan. Terjadi backwash terhadap perdesaan, yang menyebabkan kemiskinan
perdesaan, kesenjangan antara kota dan desa sehingga mendorong urbanisasi
dengan segala efeknya.
Transformasi
pembangunan dari sektor pertanian ke nonpertanian yang diindikasikan oleh semakin
kecilnya share sektor pertanian dalam pembentukan PDB (saat ini tinggal 13
persen, dibanding dengan 65 persen di awal Orde Baru) bukan sesuatu yang
harus disyukuri karena transformasi tenaga kerja tidak bekerja secara
proporsional.
Peranan
sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja masih di kisaran 40 persen,
berarti setiap petani menanggung beban tenaga kerja lebih dari dua orang yang
merupakan pengangguran terselubung. Upaya untuk meringankan beban petani
tersebut tidak menjadi agenda pemerintah, bahkan sebaliknya diharapkan sektor
pertanian dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang jumlahnya semakin
meningkat setiap tahun karena pertambahan penduduk.
Program
swasembada beras yang telah berhasil mendorong petani dalam meningkatkan
produksi beras tidak berimbas kepada
kesejahteraan petani secara signifikan karena tergerus oleh inflasi
dan kenaikan harga produk nonpertanian. Bisa dicermati, bilamana terjadi
kenaikan harga barang nonpertanian, misalnya, BBM, selalu saja pemerintah
turun tangan membendung agar tidak terjadi kenaikan harga hasil pertanian
terutama pangan. Sementara harga barang nonpertanian dibiarkan bergerak
sesuai mekanisme pasar. Akibatnya daya beli petani untuk barang nonpertanian
menjadi rendah.
Saat
ini, indeks Gini rasio 0,42 yang menunjukkan terjadi ketimpangan serius.
Juga, kebijakan impor hasil pertanian yang dalam beberapa kasus praktiknya
terjadi di musim panen, mencederai upaya petani yang bersusah payah melakukan
proses produksi karena harga akan tertekan ke titik yang rendah sehingga
petani tidak menikmati hasil panennya.
Ketika
pemerintah memberlakukan pajak ekspor dan PPN 10 persen untuk hasil
pertanian, yang menderita adalah petani produsen karena petani tidak menerima
harga sesuai dengan korbanannya. Di daerah suburban dan hinterland perkotaan,
petani dibiarkan berhadapan head to head dengan pemilik modal dan kapitalis.
Studi
menunjukkan, lahan sawah di kawasan pantura Jawa, seperti di Karawang,
misalnya, sebagian terbesar (lebih dari 50 persen) sudah bukan milik petani.
Petani berubah menjadi buruh tani di bekas lahan sawahnya, tanpa ada
perlindungan dari pemerintah.
Nilai
tukar petani yang digunakan sebagai salah satu tolok ukur kesejahteraan
petani bisa menyesatkan. Sebagai ilustrasi, pada 1960-an, petani padi untuk
mendapatkan sebuah sepeda motor cukup dengan 50 kg beras, tapi kini butuh dua
ton (2.000 kg) beras. Untuk mendapatkan satu gram emas di zaman itu cukup
dengan satu kg beras, tapi saat ini harus menyiapkan 200 kg beras.
Infrastruktur
yang jelek di perdesaan seperti tombak bermata dua. Input pertanian dan
barang nonpertanian kebutuhan petani yang didatangkan dari kota menjadi mahal
karena biaya transportasi yang tinggi sampai di tingkat petani. Sementara itu
harga hasil pertanian di farm gate menjadi rendah karena harga di tingkat
konsumen di perkotaan dilindungi (given).
Posisi tawar petani Indonesia sangat lemah dan bisa dikatakan tidak berdaya
bila dihadapkan pada fakta kebijakan yang menyulitkan mereka dalam mengelola
usahanya.
Kabinet
baru hasil Pemilu 2014 disarankan melakukan shifting paradigm dengan
mengedepankan kepentingan petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian,
bukan sekadar pemenuhan citra bahwa pemerintah telah bekerja dan pertumbuhan
telah terjadi. Kini saatnya petani benar-benar dilindungi, diberdayakan,
dilayani, dan difasilitasi dengan kualitas yang baik.
Lebih
penting, petani harus merasa dibela oleh pemerintahnya sendiri sehingga
mereka termotivasi dan betah berusaha di pertanian. Bukan pekerjaan yang
mudah bagi pemerintahan baru, mengingat petani telah terlalu lama diabaikan.
Tetapi setiap petani sejati selalu yakin bahwa perubahan selalu saja
menghasilkan harapan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar