Mengurangi
Subsidi BBM Secara Bijak
Iman Sugema ;
Ekonom
IPB
|
REPUBLIKA,
15 September 2014
Seorang
kakek yang bijak yang kebetulan juga seorang fan fanatik Jokowi-JK, sebulan lalu
pernah mengajukan pertanyaan yang sangat pelik untuk dicarikan
jawabannya. Kalau Jokowi-JK ingin
merealisasikan janji-janjinya selama masa kampanye, maka mau tidak mau
pemerintah harus mengurangi beban subsidi energi dan itu berarti sama saja
dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik.
Di
lain pihak, PDI Perjuangan dan Hanura dikenal sebagai parpol yang selama ini
getol menolak kenaikan harga BBM. Pertanyaannya, apakah ada cara untuk
mengurangi beban subsidi tanpa harus menaikkan harga BBM?
Kalau
kita renungkan sejenak, pertanyaan ini sepertinya sangat muskil untuk bisa
dicarikan jawabannya yang pas. Bagaimana mungkin subsidi BBM dikurangi tanpa
menaikkan harga? Secara definisi, subsidi adalah selisih antara harga komersial
dengan harga eceran. Jadi kalau harga pasar Premium adalah Rp 10 ribu per
liter dan pemerintah menjualnya ke konsumen Rp 6.500, maka subsidi yang
ditanggung pemerintah Rp 3.500 per liter. Kalau subsidi akan dikurangi
menjadi hanya Rp 2.500 per liter, maka harga harus dinaikkan menjadi Rp 7.500
per liter. Itu adalah perhitungan matematika sederhana saja.
Sedikit
titik terang mengenai jawaban atas pertanyaan di atas mulai menyeruak ketika
saya mencermati besaran subsidi yang setiap tahun terus membengkak. Ketika
pemerintah menaikkan harga Premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 dan harga
solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter pada Juni 2013, harapannya
waktu itu tentulah beban subsidi di tahun-tahun berikutnya akan berkurang.
Kenyataannya tidak demikian.
Dengan
kuota yang hampir sama, yakni 46 juta kiloliter, beban subsidi tahun 2014
membengkak menjadi Rp 246,5 triliun dibandingkan 2013 yang hanya Rp 210
triliun. Harga minyak mentah 2013 juga kurang lebih sama dengan 2014. Yang
menjadi penyebab pembengkakan adalah nilai tukar yang merosot dari Rp 10.450
per dolar AS menjadi Rp 11.600 per dolar.
Ada
dua pelajaran berharga dari kasus subsidi 2013-2014 ini. Pertama, kenaikan
harga eceran tidak selalu identik dengan upaya mengurangi beban subsdidi BBM.
Kedua, skema subsidi yang diterapkan sekarang sama sekali tidak menjamin
adanya kepastian mengenai kapan dan seberapa besar subsidi dapat dikurangi.
Pangkal
masalahnya, dengan harga yang dipatok seperti sekarang, sebetulnya pemerintah
menanggung dua hal sekaligus, yaitu subsidi dan risiko harga. Ketika harga
patokan cenderung meningkat, maka jumlah subsidi juga akan secara otomatis
meningkat. Walhasil, tidak ada kepastian bahwa beban akan menurun walaupun
harga eceran sudah dinaikkan.
Karena
itu, kita harus menanggalkan skema subsidi yang sekarang berlaku kalau memang
tujuannya adalah mengurangi beban subsidi BBM. Ada dua alternatif skema
subsidi, yakni subsidi per liter tetap dan subsidi proporsional.
Kalau
dihitung berdasarkan RAPBN 2015, maka subsidi per liter untuk Premium adalah
Rp 3.700 dan untuk solar Rp 5.200 per liter. Skema subsidi per liter tetap
dilakukan dengan cara mematok nilai subsidi per liter di kedua angka
tersebut. Jadi harga eceran akan naik atau turun sejalan dengan harga patokan
yang terjadi. Nilai subsidi akan tetap di angka tersebut. Satu kelemahan
skema ini, yakni ketika harga patokan cenderung turun, beban subsidi tidak
turun. Padahal, pada saat itulah
kesempatan terbaik untuk menurunkan beban subsidi.
Skema
yang kedua, yakni subsidi proporsional tampaknya lebih adil dan lebih
fleksibel. Kalau memakai angka RAPBN 2015, maka proporsi subsidi adalah
sebesar 37 persen untuk Premium dan 49 persen untuk solar. Karena sifatnya
proporsional terhadap harga patokan, maka otomatis beban subsidi akan naik
atau turun secara proporsional terhadap harga patokan. Hanya saja besaran
kenaikan beban subsidi tidak akan sebesar yang terjadi pada skema yang
berlaku sekarang ini.
Intinya
adalah, risiko harga yang ditanggung pemerintah tidak 100 persen melainkan
sebesar proporsi subsidinya. Dengan skema ini, maka besaran subsidi akan
lebih mudah untuk dikendalikan. Selain itu, beban subsidi otomatis akan turun
ketika harga patokan turun.
Melalui
skema subsidi proporsional juga sangat memungkinkan untuk mengurangi beban
subsidi pada saat harga patokan sedang turun. Pada saat ini, harga minyak
dunia sedang mengalami tren penurunan sehingga membuka kesempatan emas bagi
pemerintahan Jokowi-JK untuk menurunkan beban subsidi. Caranya adalah dengan
secara bertahap menurunkan proporsi subsidi pada saat yang tepat. Yang
diperlukan adalah kesabaran untuk menunggu waktu yang tepat.
Semoga saja kita bisa
menurunkan beban tanpa harus menaikkan harga. Niat yang baik selalu memiliki
jalannya tersendiri. Semoga Allah memberi kesempatan bagi kita semua untuk
merealisasikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar