MK
Bukan Legislatif
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 13 September 2014
Mahkamah
Konstitusi (MK) bisa diibaratkan sebagai lembaga negara yang dibenci, tetapi
juga dirindui sekaligus. Setelah meledaknya kasus penangkaptanganan Ketua MK
Akil Mochtar, 2 Oktober 2013, MK menjadi sasaran kebencian dan kemarahan
banyak pihak.
Perkara-perkara
lama yang sudah bertahun-tahun selesai di MK diungkit-ungkit lagi, dituding
sebagai produk korupsi, para pimpinan lembaga negara mengisolasi MK dengan
membuat keputusan yang terkait dengan MK tanpa mengundang pimpinan MK, bahkan
pada sidang resmi MK diserang secara brutal oleh pengunjung sidang.
Namun
pada saat yang sama MK tetap dirindukan dan menjadi tempat berharap untuk
menyelesaikan secara adil dan konstitusional berbagai konflik yang terkait
dengan masalah-masalah konstitusi. Meskipun banyak yang mencaci MK, banyak
pula yang tetap mengajukan perkara ke MK untuk diputus, baik pemilu (pileg,
pilpres, dan pilkada) maupun pengujian undangundang (judicial review).
Uniknya,
tidak jarang kita mendengar ancaman orang akan menguji ke MK satu UU yang
masih berupa ide atau rencana alias belum menjadi UU. Harus diingat, MK bukan
lembaga legislatif atau lembaga negara pembentuk atau pembuat UU. MK adalah
lembaga yudikatif yang mengadili jika ada masalah konstitusionalitas UU,
tetapi MK tidak boleh membuat vonis pengujian UU yang sifatnya mengatur,
sebab yang boleh mengatur dengan UU hanya lembaga legislatif (DPR dan
pemerintah).
Penggagas
peradilan konstitusi Hans Kelsen mengatakan bahwa MK merupakan negative legislator atau lembaga yang
hanya boleh membatalkan atau menegasikan UU (atas sebagian isinya) tanpa
boleh membuat isi UU. Tegasnya, dalam konteks UU, MK boleh membatalkan UU,
tetapi tidak boleh membuat peraturan yang menjadi materi muatan UU.
Harus
diingat pula bahwa MK hanya boleh membatalkan UU atau isi UU yang
bertentangan dengan konstitusi atau berpotensi melanggar hak konstitusional
warga negara, kelompok masyarakat maupun badan hukum. MK tidak boleh
membatalkan UU atau isi UU yang hanya tidak disukai oleh seseorang, ditentang
oleh sekelompok orang, atau tidak disenangi oleh hakim MK sendiri.
Ukuran
utama bagi MK untuk membatalkan UU atau isi UU adalah manakala ia benarbenar
bertentangan dengan konstitusi. Itulah sebabnya dari begitu banyak pengajuan judicial review ke MK (minimal sampai
April 2013), terdapat hanya sekitar 23% yang dikabulkan, itu pun banyak yang
dengan pengabulan bersyarat.
Di
dalam beberapa putusan MK ada dua istilah yang sering dipergunakan sebagai
alasan untuk membatalkan atau tidak membatalkan isi UU, yakni istilah opened
legal policy (pilihan politik hukum yang terbuka) dan closed legal policy
(pilihan politik hukum yang tertutup) sebagaimana diatur di dalam UUD. MK
tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang materinya menjadi pilihan politik
hukum terbuka (opened legal policy) bagi DPR, tetapi boleh membatalkan isi UU
yang secara konstitusional bersifat tertutup alias tak bisa diartikan lain
dari isi UUD.
Ihwal
pencalonan pasangan capres/cawapres oleh parpol atau gabungan parpol,
misalnya, bisa disebut sebagai contoh dari pilihan politik hukum yang
tertutup. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pasangan capres/cawapres harus
diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. MK tidak boleh membatalkan isi UU
yang sudah mengatur sama dengan isi UUD itu. Yang bisa mengubah itu hanya MPR
melalui amendemen atas UUD 1945. I
Ini
berbeda dengan pencalonan kepala daerah yang memang tidak menutup calon
perseorangan. Pasal 18B UUD 1945 mengatur, pemilihan kepala daerah dilakukan
secara demokratis. Istilah demokratis mencakup pengajuan calon melalui parpol
yang sudah mempunyai kursi di DPRD dan pengajuan calon secara perseorangan.
Maka itu ketika lembaga legislatif mereduksi istilah demokratis dengan hanya
memberi hak pengajuan calon kepala daerah kepada parpol, MK membatalkannya.
Reduksi
atas istilah demokratis itu dipandang sebagai pelanggaran atas hak
konstitusional warga negara. Ini lain lagi, misalnya, soal banyaknya kursi
atau daerah pemilihan untuk pemilu legislatif serta jumlah komisi di DPR RI.
Hal-hal tersebut sepenuhnya menjadi hak lembaga legislatif untuk
menentukannya.
MK
tak boleh membatalkan halhal tersebut, apalagi kemudian mengaturnya, kecuali
nyatanyata ada pemasungan terhadap hak konstitusional atau melanggar
prinsip-prinsip dalam konstitusi. MK tak bisa membatalkan isi UU yang
menentukan jumlah anggota atau jumlah alat kelengkapan seperti komisikomisi
di DPR, sebab hal-hal tersebut merupakan pilihan politik hukum terbuka bagi
lembaga legislatif untuk menentukannya sendiri sesuai dengan hak dan prosedur
yang tersedia.
Kalau
MK membatalkan halhal yang sudah menjadi hak DPR untuk menentukannya sendiri
berdasar pilihan politik hukum secara terbuka, apalagi kemudian ikut
mengaturnya, maka MK telah bergeser atau digeser dari lembaga yudikatif
menjadi lembaga legislatif. Itu tidak boleh terjadi, kecuali dengan alasan
luar biasa dan bersifat einmalig.
Sebagai
mantan hakim MK saya mulai merasa gembira karena dalam vonis-vonisnya
belakangan ini MK sudah independen, tidak terombang-ambing oleh intervensi
atau teror opini, keluar dari trauma dan mulai berjalan dengan gagah sebagai
penjaga demokrasi dan nomokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar