Manuver
Koalisi
Bivitri Susanti ;
Indonesia Fellow Ash Center for Democratic Governance and
Innovation Harvard Kennedy School of Government
|
KOMPAS,
19 Juli 2014
DUNIA
politik di Amerika Serikat mengenal istilah lame duck session atau secara harfiah ’sesi bebek pincang’.
Istilah ini digunakan untuk menamakan masa sidang Kongres AS yang waktunya
berada di antara dua pemilu.
Lame duck
adalah istilah untuk menggambarkan seorang politisi yang mendekati akhir masa
jabatan, sementara pimpinan penerusnya sudah terpilih, tetapi belum disahkan.
Seperti halnya bebek yang tak berdaya karena luka tertembak pemburu, politisi
dalam kondisi ini tak bisa lagi efektif karena tak punya kekuatan. Namun,
bisa jadi sebaliknya: keputusan yang diambil dalam situasi semacam ini justru
bisa berupa manuver berbahaya. Sebab, politisi yang mengambil keputusan dalam
lame duck session tidak lagi
mempertaruhkan popularitasnya. Apa pun yang ia putuskan tidak akan mengubah
popularitasnya karena pemilu sudah selesai.
Inilah
yang baru saja terjadi di Indonesia pada 8 Juli 2014. Hanya beberapa jam
menjelang waktu Pemilu Presiden 2014, DPR menyetujui RUU tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD atau RUU MD3. Salah satu pengaturan RUU MD3 adalah cara
pemilihan pimpinan DPR dan DPRD.
Pimpinan
Dewan memiliki peran strategis bagi parpol karena wewenangnya untuk mengatur
agenda Dewan dan jalannya sidang. Dalam UU yang berlaku sekarang, pimpinan
DPR dan DPRD otomatis dijabat partai pemenang pemilu. Sementara dalam RUU
MD3, penentuan pimpinan tidak lagi secara otomatis, tetapi diserahkan
mekanisme pemilihan. PDI-P sebagai pemenang pemilu legislatif April lalu tak
menyetujui ketentuan ini. Bersama fraksi-fraksi yang partainya mendukung
pencalonan Joko Widodo—Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai
Hanura—Fraksi PDI-P keluar dari sidang untuk menyatakan ketidaksetujuan (walk out).
Menguatkan Dewan
Karena
situasi politik yang menghangat akibat pilpres, perhatian pada RUU MD3
terfokus pada masalah pimpinan Dewan. Namun, sebenarnya isi RUU MD3 sangat
banyak dan penting bagi demokrasi. Secara umum, RUU MD3 ini memberikan
kekuatan yang lebih kepada Dewan, sementara soal transparansi dan
akuntabilitas yang sudah ada dalam UU MD3 yang berlaku sekarang (UU Nomor 27
Tahun 2009) justru dikurangi.
Kewajiban
evaluasi fraksi terhadap kinerja anggotanya dan pelaporan kepada publik yang
sebenarnya sudah diatur dalam UU MD3 yang berlaku justru dihilangkan dalam
RUU yang baru disetujui. Demikian pula laporan atas kinerja komisi hanya
dilakukan pada akhir masa jabatan/keanggotaan DPR sehingga tak ada alat
kontrol atas kinerja DPR di tengah masa periode.
Sementara
itu, jika RUU MD3 berlaku nanti, anggota semua lembaga yang diatur dalam RUU
itu akan menikmati hak imunitas yang diperluas. Hak imunitas berarti anggota
lembaga perwakilan tak dapat dituntut secara perdata di muka hukum karena apa
yang dinyatakannya dalam sidang. Hak yang jamak diterapkan di berbagai
parlemen ini bertujuan mendorong kebebasan berpendapat legislator dalam
sidang. Karena itu, hak imunitas terbatas pada hal-hal yang disampaikan dalam
sidang. Masalahnya, RUU MD3 memberikan hak imunitas tidak hanya untuk
pernyataan anggota Dewan di dalam rapat, tetapi juga di luar rapat, bahkan
sikap, tindakan, serta kegiatan di dalam dan di luar rapat Dewan.
Ada
batasan yang diberikan dengan menambahkan frasa ”yang berkaitan dengan fungsi
serta wewenang dan tugas DPR”. Namun, frasa ini bisa berarti luas, apalagi
karena pemeriksaan terhadap indikasi tindak pidana, menurut RUU MD3, harus
dilakukan setelah ada persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan. Mahkamah
Kehormatan berpotensi bias dalam mengartikan fungsi dan wewenang Dewan. Tanpa
adanya persetujuan Mahkamah Kehormatan, pemeriksaan terhadap anggota Dewan
dalam konteks hak imunitas yang salah kaprah ini tidak dapat dilakukan.
Masih
soal hukum, RUU MD3 juga mengharuskan adanya izin pemeriksaan oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan jika ada anggota Dewan yang harus menjalani penyidikan.
Mahkamah Kehormatan diberi batas 30 hari untuk mengeluarkan izin ini. Izin
ini tidak berlaku dalam hal anggota Dewan tertangkap tangan, disangka
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara,
atau disangka melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi. Namun, dalam
kasus lain, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan
penipuan, izin ini mutlak diperlukan. Selain tidak sesuai dengan prinsip
persamaan di depan hukum, jangka waktu 30 hari juga berpotensi menjadi celah
bagi penghilangan alat bukti atau melarikan diri.
Gentong babi
Topik
lain yang muncul adalah adanya aturan ”gentong babi” (pork barrel). Istilah yang juga mengacu pada istilah politik di
AS ini mengacu pada pengeluaran yang diusahakan oleh politisi untuk
konstituennya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk
kampanye maupun suara pada pemilihan umum. Tujuannya agar mereka dapat
terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.
Aturan
bagi-bagi uang ini terdapat dalam pasal mengenai ”program pembangunan daerah
pemilihan”. RUU MD3 memberikan kewajiban bagi anggota DPR mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan, tanpa memerinci apa yang
dimaksud dengan program ini, apa skema operasionalnya, serta bagaimana
kebijakan pengelolaannya yang transparan dan akuntabel. Tanpa adanya paket
kebijakan untuk menjaga akuntabilitasnya, ketentuan ini hanya akan membuka
peluang bagi anggota DPR untuk membagi-bagi uang ke daerah pemilihannya dalam
konteks gentong babi.
Koalisi
Proses
persetujuan RUU MD3 yang kontroversial pada 8 Juli lalu membuat mata publik
terbuka mengenai bagaimana para politisi bisa mengatur dirinya sendiri dalam
sebuah undang-undang dengan manuver-manuver tak etis. Apakah undang-undang
yang diloloskan dalam ”lame duck
session” ini sah? Ya, secara kasatmata tidak ada yang salah dalam
prosedur pebuatan RUU ini. Masalahnya terletak pada etik. Namun, barangkali
etik bukanlah kata yang cukup penting bagi politisi di DPR.
Melalui
langkah meloloskan RUU ini, mereka bukan hanya mengatur ketentuan yang
menguntungkan dirinya sendiri di saat banyak orang lengah karena persiapan
pilpres, melainkan juga menggunakannya sebagai momentum untuk menunjukkan
kekuatan koalisi. Secara tak langsung, ada ”unjuk kekuatan” yang meresahkan
bagi demokrasi. Bayangkan apabila koalisi yang meloloskan RUU MD3 ini juga
memenangkan pilpres dan mengontrol eksekutif. Praktis tidak akan ada lagi
checks and balances. Eksekutif dan legislatif akan seiya sekata dan
pembalikan proses demokratisasi bisa dimulai dari sini.
Namun,
koalisi tidaklah permanen, apalagi dalam konteks sistem presidensial yang
dianut Indonesia. Demikian pula disetujuinya sebuah undang-undang, bukanlah
titik akhir. Undang-undang bisa diuji di Mahkamah Konstitusi dan diubah. Ke
depannya, undang-undang sepenting ini tidak boleh lolos lagi dari perhatian
publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar