Rabu, 16 Juli 2014

Kredibilitas Penyelenggara Pemilu

                            Kredibilitas Penyelenggara Pemilu

Didik Supriyanto  ;   Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
KOMPAS,  15 Juli 2014
                                                


Banyak orang mengecam soal manipulasi penghitungan suara pada pemilihan anggota legislatif bulan April lalu. Para politisi, khususnya yang menjadi calon anggota legislatif, menyebut telah terjadi pelanggaran yang masif dan sistematis dengan menuduh penyelenggara pemilu sebagai aktornya. Beberapa pemantau pemilu menilai Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya tak bekerja profesional. Bahkan, beberapa pengamat, berdasar pernyataan politisi dan pemantau di media, ikut mengkritik penyelenggara.

Saya menahan diri untuk tak ikut menyalahkan penyelenggara meski tak menutup mata atas terjadinya kasus-kasus manipulasi penghitungan suara. Pengalaman saya memantau pemungutan dan penghitungan suara selama empat hari di satu kecamatan di kabupaten di luar Jawa menunjukkan pelanggaran memang terjadi, tetapi lebih karena faktor kelelahan dan kelalaian. Saya tak menemukan manipulasi penghitungan suara, apalagi masif dan sistematis.

Tentu hasil pemantauan di satu kecamatan tak bisa digunakan untuk menilai pemilu secara keseluruhan. Namun, yang membuat saya meneguhkan diri untuk tidak ikut-ikutan mengecam penyelenggara pemilu adalah hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei, yang ternyata tidak berbeda dengan  angka-angka hasil pemilu sementara yang mulai terbaca sejak pekan kedua setelah pemungutan suara. Oleh karena itu, ketika KPU mengumumkan secara resmi hasil pemilu legislatif pada 9 Mei 2014, yang ternyata hasilnya hampir sama dengan hasil hitung cepat, pertanyaan pun muncul: di mana letak manipulasi penghitungan suara yang masif dan sistematis itu?

Putusan MK

Saya berharap Mahkamah Konstitusi bisa menunjukkan kasus-kasus manipulasi penghitungan suara itu. Apalagi perkara gugatan hasil pemilu yang diajukan peserta pemilu kali ini lebih banyak dibandingkan pemilu lima tahun lalu. Namun, seperti dilaporkan Kompas (Selasa (1/7), ternyata MK mengabulkan hanya 21 dari 914 perkara atau sekitar 2,29 persen. Bandingkan dengan Pemilu 2009, MK mengabulkan 10,24 persen dari 615 perkara.

Jadi, berdasarkan hasil pemantauan di satu kecamatan, perbandingan hitung cepat dengan hasil resmi KPU, dan gugatan hasil pemilu yang dikabulkan MK, saya menyimpulkan, pemungutan dan penghitungan suara berjalan sangat baik. Jauh lebih baik daripada pemilu sebelumnya. Memang masih terjadi kasus-kasus manipulasi penghitungan suara. Namun, jika disebut masif dan sistematis, barangkali agak berlebihan.

Mungkin saja benar dugaan beberapa calon kalah bahwa manipulasi penghitungan suara justru terjadi di antara calon dalam satu partai. Jika itu masalahnya, bukankah para calon bisa buka-bukaan di rapat internal partai? Lagi pula, melalui partai politik, calon juga bisa menggugat hasil pemilu ke MK. Beberapa calon memanfaatkan peluang ini, tetapi semua kandas karena tidak didukung bukti. Sebagian besar yang lain memilih diam, dengan dalih menjaga nama baik partai.

Manajemen pemenangan pemilu yang buruk, baik karena anggota tim pemenangan tak berintegritas maupun sistem kerja yang asal-asalan, menjadi penyebab utama para calon kalah menyalahkan penyelenggara. Saya menyaksikan banyak anggota tim pemenangan me-mark up hasil penghitungan suara di TPS, PPS, dan PPK. Tentu tujuannya untuk menyenangkan calon, sekaligus unjuk diri. Cara merekapitulasi suara pun keliru sehingga angka yang diterima calon juga keliru, atau lebih besar.

Banyak calon mengeluhkan betapa sulit mendapatkan formulir C1 karena ditahan calon lain atas nama pengurus partai. Tentu ini soal internal partai. Namun, jika tak bisa mendapatkan formulir C1, bagaimana calon bisa memastikan bahwa angka-angka penghitungan suara yang diterima dari tim pemenangan benar adanya?

Saya menduga, para calon kalah yang mengecam penyelenggara sekadar meluapkan rasa kesal yang sangat karena telah mengeluarkan banyak uang. Mereka menyadari telah ditipu oleh tim kampanye, petugas, dan pemilih. Bagaimanapun seorang petugas tak mudah memanipulasi penghitungan suara karena dia dikontrol oleh saksi dan petugas lain. Demikian juga yang membagi uang ke pemilih tidak hanya satu calon, sementara pemilih hanya memilih satu calon.

Kontrol ketat

Sekali lagi, saya tak menafikan sama sekali terjadinya kasus-kasus manipulasi penghitungan suara. Banyaknya anggota KPU kabupaten/kota yang dipecat atas rekomendasi DKPP menunjukkan hal itu. Demikian juga sikap tegas KPU yang memecat anggota panitia di kecamatan dan desa/kelurahan. Semua itu menunjukkan mekanisme kontrol terhadap penyelenggara berjalan baik sehingga dengan cepat kasus-kasus salah hitung atau pencurian suara bisa dikembalikan ke calon yang berhak.

Putusan MK dan tindakan tegas KPU terhadap petugas yang berlaku curang dalam pemungutan dan penghitungan suara mestinya bisa mengembalikan kredibilitas penyelenggara pemilu yang sempat jatuh akibat kecaman membabi buta para calon anggota legislatif yang kalah. Kredibilitas penyelenggara pemilu menjadi modal besar untuk kesuksesan pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu presiden nanti.

Berbeda dengan pemilu presiden sebelumnya, pemilu presiden kali ini berlangsung ketat karena hanya ada dua pasang calon. Setiap pasangan calon mengaku telah menyiapkan saksi terlatih di semua TPS, PPS, dan PPK.

Tentu ini kabar baik karena hadirnya saksi berintegritas dari semua pasangan calon akan menciptakan saling kontrol dalam proses pemungutan dan penghitungan suara sehingga kecurangan dan manipulasi penghitungan suara bisa dicegah.

Namun, KPU harus menyadari bahwa kehadiran semua saksi tidak sendirinya akan menciptakan saling kontrol. Justru yang sebaliknya bisa terjadi, yakni saksi-saksi saling bersekongkol untuk mengubah hasil penghitungan suara. Persekongkolan jahat  itu akan menjadi sempurna apabila petugas pemilu menyetujuinya. Oleh karena itu, KPU harus meningkatkan kontrol terhadap petugas pemilu di TPS, PPS, dan PPK.

Pertama, mereka yang terbukti atau terindikasi terlibat manipulasi penghitungan suara dalam pemilu legislatif seharusnya sudah diganti. Namun, bukan hal yang mudah untuk mencari penggantinya, apalagi di daerah-daerah yang memang sumber daya manusianya tidak bagus, seperti di Papua pegunungan dan Maluku kepulauan. Di wilayah-wilayah seperti ini, kontrol harus diperketat. Turunkan saja seluruh anggota dan staf sekretariat KPU kabupaten/kota ke desa/kelurahan dan kecamatan yang rawan.

Kedua, KPU memerintahkan seluruh jajarannya untuk mempercepat pengiriman  scan formulir C1 ke database KPU agar bisa segera dipublikasikan. Publikasi dokumen itu bisa digunakan untuk mengontrol kemungkinan terjadinya manipulasi penghitungan suara di TPS, PPS, dan PPK. Akan lebih baik apabila KPU memerintahkan petugas TPS untuk memotret formulir C1 plano, lalu dikirim juga ke database KPU. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar