Kredibilitas
Penyelenggara Pemilu
Didik Supriyanto ;
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
15 Juli 2014
Banyak
orang mengecam soal manipulasi penghitungan suara pada pemilihan anggota
legislatif bulan April lalu. Para politisi, khususnya yang menjadi calon
anggota legislatif, menyebut telah terjadi pelanggaran yang masif dan
sistematis dengan menuduh penyelenggara pemilu sebagai aktornya. Beberapa
pemantau pemilu menilai Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya tak bekerja
profesional. Bahkan, beberapa pengamat, berdasar pernyataan politisi dan
pemantau di media, ikut mengkritik penyelenggara.
Saya
menahan diri untuk tak ikut menyalahkan penyelenggara meski tak menutup mata
atas terjadinya kasus-kasus manipulasi penghitungan suara. Pengalaman saya
memantau pemungutan dan penghitungan suara selama empat hari di satu
kecamatan di kabupaten di luar Jawa menunjukkan pelanggaran memang terjadi,
tetapi lebih karena faktor kelelahan dan kelalaian. Saya tak menemukan
manipulasi penghitungan suara, apalagi masif dan sistematis.
Tentu
hasil pemantauan di satu kecamatan tak bisa digunakan untuk menilai pemilu
secara keseluruhan. Namun, yang membuat saya meneguhkan diri untuk tidak
ikut-ikutan mengecam penyelenggara pemilu adalah hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei,
yang ternyata tidak berbeda dengan
angka-angka hasil pemilu sementara yang mulai terbaca sejak pekan
kedua setelah pemungutan suara. Oleh karena itu, ketika KPU mengumumkan
secara resmi hasil pemilu legislatif pada 9 Mei 2014, yang ternyata hasilnya
hampir sama dengan hasil hitung cepat, pertanyaan pun muncul: di mana letak
manipulasi penghitungan suara yang masif dan sistematis itu?
Putusan MK
Saya
berharap Mahkamah Konstitusi bisa menunjukkan kasus-kasus manipulasi
penghitungan suara itu. Apalagi perkara gugatan hasil pemilu yang diajukan
peserta pemilu kali ini lebih banyak dibandingkan pemilu lima tahun lalu.
Namun, seperti dilaporkan Kompas (Selasa (1/7), ternyata MK mengabulkan hanya
21 dari 914 perkara atau sekitar 2,29 persen. Bandingkan dengan Pemilu 2009,
MK mengabulkan 10,24 persen dari 615 perkara.
Jadi,
berdasarkan hasil pemantauan di satu kecamatan, perbandingan hitung cepat
dengan hasil resmi KPU, dan gugatan hasil pemilu yang dikabulkan MK, saya
menyimpulkan, pemungutan dan penghitungan suara berjalan sangat baik. Jauh
lebih baik daripada pemilu sebelumnya. Memang masih terjadi kasus-kasus
manipulasi penghitungan suara. Namun, jika disebut masif dan sistematis,
barangkali agak berlebihan.
Mungkin
saja benar dugaan beberapa calon kalah bahwa manipulasi penghitungan suara
justru terjadi di antara calon dalam satu partai. Jika itu masalahnya,
bukankah para calon bisa buka-bukaan di rapat internal partai? Lagi pula,
melalui partai politik, calon juga bisa menggugat hasil pemilu ke MK.
Beberapa calon memanfaatkan peluang ini, tetapi semua kandas karena tidak
didukung bukti. Sebagian besar yang lain memilih diam, dengan dalih menjaga
nama baik partai.
Manajemen
pemenangan pemilu yang buruk, baik karena anggota tim pemenangan tak
berintegritas maupun sistem kerja yang asal-asalan, menjadi penyebab utama
para calon kalah menyalahkan penyelenggara. Saya menyaksikan banyak anggota
tim pemenangan me-mark up hasil penghitungan suara di TPS, PPS, dan PPK.
Tentu tujuannya untuk menyenangkan calon, sekaligus unjuk diri. Cara
merekapitulasi suara pun keliru sehingga angka yang diterima calon juga
keliru, atau lebih besar.
Banyak
calon mengeluhkan betapa sulit mendapatkan formulir C1 karena ditahan calon
lain atas nama pengurus partai. Tentu ini soal internal partai. Namun, jika
tak bisa mendapatkan formulir C1, bagaimana calon bisa memastikan bahwa
angka-angka penghitungan suara yang diterima dari tim pemenangan benar
adanya?
Saya
menduga, para calon kalah yang mengecam penyelenggara sekadar meluapkan rasa
kesal yang sangat karena telah mengeluarkan banyak uang. Mereka menyadari
telah ditipu oleh tim kampanye, petugas, dan pemilih. Bagaimanapun seorang
petugas tak mudah memanipulasi penghitungan suara karena dia dikontrol oleh
saksi dan petugas lain. Demikian juga yang membagi uang ke pemilih tidak
hanya satu calon, sementara pemilih hanya memilih satu calon.
Kontrol ketat
Sekali
lagi, saya tak menafikan sama sekali terjadinya kasus-kasus manipulasi
penghitungan suara. Banyaknya anggota KPU kabupaten/kota yang dipecat atas
rekomendasi DKPP menunjukkan hal itu. Demikian juga sikap tegas KPU yang
memecat anggota panitia di kecamatan dan desa/kelurahan. Semua itu
menunjukkan mekanisme kontrol terhadap penyelenggara berjalan baik sehingga
dengan cepat kasus-kasus salah hitung atau pencurian suara bisa dikembalikan
ke calon yang berhak.
Putusan
MK dan tindakan tegas KPU terhadap petugas yang berlaku curang dalam
pemungutan dan penghitungan suara mestinya bisa mengembalikan kredibilitas
penyelenggara pemilu yang sempat jatuh akibat kecaman membabi buta para calon
anggota legislatif yang kalah. Kredibilitas penyelenggara pemilu menjadi modal
besar untuk kesuksesan pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu
presiden nanti.
Berbeda
dengan pemilu presiden sebelumnya, pemilu presiden kali ini berlangsung ketat
karena hanya ada dua pasang calon. Setiap pasangan calon mengaku telah
menyiapkan saksi terlatih di semua TPS, PPS, dan PPK.
Tentu
ini kabar baik karena hadirnya saksi berintegritas dari semua pasangan calon
akan menciptakan saling kontrol dalam proses pemungutan dan penghitungan
suara sehingga kecurangan dan manipulasi penghitungan suara bisa dicegah.
Namun,
KPU harus menyadari bahwa kehadiran semua saksi tidak sendirinya akan
menciptakan saling kontrol. Justru yang sebaliknya bisa terjadi, yakni
saksi-saksi saling bersekongkol untuk mengubah hasil penghitungan suara.
Persekongkolan jahat itu akan menjadi
sempurna apabila petugas pemilu menyetujuinya. Oleh karena itu, KPU harus
meningkatkan kontrol terhadap petugas pemilu di TPS, PPS, dan PPK.
Pertama,
mereka yang terbukti atau terindikasi terlibat manipulasi penghitungan suara
dalam pemilu legislatif seharusnya sudah diganti. Namun, bukan hal yang mudah
untuk mencari penggantinya, apalagi di daerah-daerah yang memang sumber daya
manusianya tidak bagus, seperti di Papua pegunungan dan Maluku kepulauan. Di
wilayah-wilayah seperti ini, kontrol harus diperketat. Turunkan saja seluruh
anggota dan staf sekretariat KPU kabupaten/kota ke desa/kelurahan dan
kecamatan yang rawan.
Kedua,
KPU memerintahkan seluruh jajarannya untuk mempercepat pengiriman scan formulir C1 ke database KPU agar bisa
segera dipublikasikan. Publikasi dokumen itu bisa digunakan untuk mengontrol
kemungkinan terjadinya manipulasi penghitungan suara di TPS, PPS, dan PPK.
Akan lebih baik apabila KPU memerintahkan petugas TPS untuk memotret formulir
C1 plano, lalu dikirim juga ke database KPU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar