Sesat
Pikir Quick Count
Khairil Anwar Notodiputro ;
Guru Besar Statistika IPB,
Ketua Kelompok Peneliti Survey Research
Methodology
|
REPUBLIKA,
14 Juli 2014
Pemilihan presiden (pilpres)telah
usai dilaksanakan dengan menyisakan permasalahan terhadap kepastian pemenang.
Penyebab dasarnya adalah adanya hasil quick
count (QC) yang berbeda di antara lembaga survei. Pertanyaannya, mahluk
apakah QC tersebut? Bagaimana kita harus memahami QC agar tidak terjadi sesat
pikir? Peristiwa pilpres ini adalah momentum penting dalam mengubah wajah
Indonesia.
Kontroversi yang timbul
dari perbedaan hasil QC jika dibiarkan dapat memicu konflik horizontal yang
merugikan masyarakat luas. Menyikapi kondisi tersebut maka Kelompok Peneliti Survey Research Methodology,
Departemen Statistika IPB, menyatakan keprihatinan dan berharap agar semua
pihak dapat menahan diri. Diharapkan agar masyarakat dapat menyikapi
perbedaan hasil QC dengan beberapa perspektif berikut ini.
Pertama, QC berada pada
ranah ilmiah, sehingga pelaksanaannya harus mengedepankan nilai-nilai etika,
integritas, objektivitas, dan kebenaran. QC bertujuan untuk menduga
persentase perolehan suara dalam pemilihan umum (pileg/pilpres/pilkada). Hasil
dugaannya bisa berbeda-beda antar-survei, serta kecil kemungkinannya untuk
tepat sama dengan hasil perhitungan KPU. QC dengan hasil selisih perolehan
suara yang lebih kecil atau sama dengan dua kali sembir galat (margin of error) tidak akan mampu membedakan
antara pihak yang menang dan yang kalah.
Kedua, QC merupakan bentuk
khusus dari survei (sample survey)
dengan tujuan untuk menduga (to
estimate) parameter populasi, yaitu persentase perolehan suara secara
keseluruhan. Parameter itu belum diketahui sampai saatnya nanti diumumkan
oleh KPU. Ketiga, karena QC itu merupakan survei, maka agar hasil QC itu bisa
dipercaya harus memenuhi dua prinsip utama, yaitu contoh (sample) harus representatif dan
jumlahnya cukup.
Keempat, hasil dari QC
merupakan dugaan terhadap perolehan suara yang sesungguhnya (true value) dari peserta pemilu.
Karena hasil QC adalah dugaan, maka sudah pasti ada kesalahan di dalamnya,
yang disebut sebagai galat (error),
sehingga kecil kemungkinan hasil QC akan tepat sama dengan hasil penghitungan
KPU. Kelima, sebagai suatu survei, maka QC tunduk pada sifat-sifat survei
yaitu mengandung galat percontohan (sampling
error) dan galat bukan percontohan (non-sampling
error); semakin besar ukuran contoh, semakin kecil galat percontohannya;
hasil dari satu survei ke survei yang lain hampir pasti berbeda; berpotensi
mengandung bias jika salah merancang pengambilan contohnya dan jika terdapat
banyak TPS yang tidak berhasil dikumpulkan datanya.
Keenam, QC memiliki
"dadu bersisi tiga" yang masing masing sisinya mencerminkan ukuran
contoh, tingkat kepercayaan, dan sembir galat. Ketiga sisi ini tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Jika ukuran contoh membesar, maka tingkat
kepercayaan kita terhadap hasil QC meningkat karena sembir galatnya mengecil.
Ketujuh, apabila selisih
perolehan suara dari suatu QC lebih kecil atau sama dengan dua kali sembir
galat, maka hasil dari QC itu tidak akan mampu mem bedakan mana yang menang
dan mana yang kalah, atau bersifat inkonklusif. Hasil yang inkonklusif ini tidak
dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa QC tersebut salah. Kesembilan,
QC jika dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar akan memberikan
hasil yang memuaskan da - lam arti ketepatannya dan ketelitiannya dapat
diukur.
Lalu bagaimana cara
menyikapi perbedaan hasil QC oleh beberapa lembaga survei yang menghebohkan
itu? Pilpres yang telah berjalan dengan lancar dan aman seharusnya tidak
dicederai oleh perbedaan hasil QC karena berpotensi merusak wajah demokrasi
yang sedang dibangun oleh bangsa ini. Karena itu sikap-sikap berikut penting
dikedepankan oleh kita semua.
Pertama, kredibilitas dari
suatu survei tidak dapat dihakimi hanya dari hasilnya, melainkan harus
dinilai dari perencanaan, implementasi, sampai ke hasilnya. Kedua, penting
dan mendesak untuk dilakukan audit terhadap seluruh penyelenggara QC yang
mencakup sampling design, proses
pengumpulan data, manajemen data, analisis dan penarikan kesimpulan, serta
kualifikasi SDM dan ketersediaan perangkat pendukung untuk dapat melaksanakan
QC dengan benar.
Ketiga, sebaiknya kita
semua bersabar menunggu hasil KPU yang akan diumumkan tanggal 22 Juli yang
akan datang. Bagi relawan dan pihak-pihak yang berada di kedua belah pihak
penting untuk mengawal proses penghitungan oleh KPU untuk meminimalkan terjadinya
kesalahan penghitungan suara.
Keempat, jika masih
terjadi silang sengkarut pascapenghitungan langsung oleh KPU, maka sebaiknya
ditempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi.
Dalam menyikapi hasil QC,
kita perlu mengedepankan cara berpikir induktif-probabilistik, bukan cara
berpikir deduktif-deterministik. Pola pikir induktif-probabilistik dalam QC
adalah bahwa dengan mengamati sebagian hasil TPS, kita ingin menduga hasil
dari keseluruhan TPS yang dilakukan secara ca - cah lengkap oleh KPU.
Sesat pikir QC dapat
terjadi karena hasil QC dipahami sebagai hasil final layaknya hasil KPU.
Seharusnya QC dipandang sebagai patokan saja, dan untuk keputusan akhirnya
harus didasarkan pada cacah lengkap. Ini tidak berarti bahwa kita meragukan
kebenaran dan nilai penting dari teori percontohan melainkan karena kita
sedang mengambil keputusan yang penting dan krusial. Kesalahan memutuskan
pemenang pilpres bisa berimplikasi luas dan kompleks.
Memang tidak mudah ketika
survei dilaksanakan berbarengan dengan kepentingan politik. Karena
kepentingan bisa jadi mengalahkan kebenaran. Mudah-mudahan pilpres yang
berlangsung di saat bulan Ramadhan bukan sebuah kebetulan, tetapi ini
pertanda dari Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa kejujuran dan integritas serta
ketakwaan yang tinggi menjadi landasan berpikir, berpijak, dan bersikap dari
semua pihak untuk menghasilkan pemimpin yang adil dan amanah sehingga mampu
membawa Indonesia ke gerbang baldatun
thayyibatun wa Rabbul ghofuur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar