APBN
dan Mandat Konstitusi
Ahmad
Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis
Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 30 Juni 2014
Secara
teoretis pemerintah memiliki kekuatan yang besar untuk menstimulasi
perekonomian suatu negara.
Salah
satu kekuatan yang dipunyai pemerintah adalah membuat kebijakan yang kredibel
melalui sumber daya fiskal. Kebijakan fiskal sendiri merupakan rangkaian
sumber daya pemerintah terkait anggaran (APBN). Dengan begitu, kebijakan
fiskal akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, karena
pada intinya kebijakan fiskal diarahkan untuk memperkuat ekonomi domestik
lewat pendapatan negara dan pengeluaran publik.
Melalui
kebijakan fiskal pemerintah dapat mengontrol segala permasalahan perekonomian
yang terjadi di sebuah negara. Kenyataan ini sebetulnya mudah dipahami, namun
agak mengherankan apabila hingga sekarang pemerintah cenderung mengabaikan
potensi tersebut.
Konservatisme dan Inefisiensi
Teori
ekonomi standar menyatakan bahwa pada saat ekonomi normal anggaran bisa
didesain seimbang, bahkan surplus. Dalam situasi normal, fungsi APBN lebih
banyak didorong untuk memperbaiki fungsi alokasi dan distribusi. Peran sektor
swasta lebih besar karena mereka berada dalam posisi bagus untuk melakukan
ekspansi. Sebaliknya, pada saat ekonomi mengalami krisis, sektor swasta
melemah sehingga dibutuhkan pendorong dari sisi pemerintah.
Dalam
situasi ini APBN bisa dibuat defisit untuk menjalankan fungsi stabilisasi
perekonomian. Dalam kasus Indonesia, baik pada saat ekonomi berada dalam
posisi stabil maupun darurat, APBN selalu dibuat defisit, yang tentu
berkebalikan dengan dasar teori tersebut. Lebih mencemaskan lagi, defisit
anggaran itu disusun dengan semangat konservatisme di sisi penerimaan dan
inefisiensi pada sudut belanja. Pada sisi penerimaan, khususnya terkait
pajak, kebijakan harus dikaitkan dengan amanah konstitusi yang salah satunya
berporos kepada citacita keadilan sosial.
Di
negara-negara Eropa penganjur welfare
state, kebijakan pajak didesain progresif karena meletakkan keadilan
sosial di atas kesejahteraan individu. Di luar itu, pajak juga menempati
posisi strategis karena alasan: (i) penerimaan untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan dasar bagi warga (revenue); (ii) pemerataan sumber daya keuangan negara untuk
pengurangan kemiskinan dan pemerataan (redistribution);
(iii) salah satu bidang bagi pemerintah untuk membangun akuntabilitas kepada
warga dan ruang bagi warga terlibat dalam kebijakan (representation); dan (iv) membatasi barang-barang publik yang
buruk dan memperbanyak barang- barang yang baik (repricing) [Sucipto dkk,
2014].
Selain
itu, hal yang tak kalah penting adalah strategi penguatan penerimaan negara
dengan cara menggali potensi pendapatan negara bukan pajak. Selama ini
pendapatan dari hasil sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, ikan, hutan,
dan lain-lain) melayang karena tata kelola yang buruk. Isu tata kelola ini
juga terjadi di BUMN sehingga laba yang diperoleh jauh dari titik optimal.
Jadi, sumber pendapatan negara sebetulnya sangat banyak, namun jalan yang
harus ditempuh memang berliku.
Kekayaan
alam dapat menjadi sumber pendapatan negara bukan pajak. Potensi alam mulai
dari minyak, bahan tambang, perkebunan, perikanan, sampai kehutanan dapat
menjadi sumber peningkatan pendapatan negara. Di sini perlu dipahami, bahwa
titik tekannya bukan eksploitasi alam, namun memastikan setiap eksplorasi
diterima sesuai nilai yang sebenarnya.
Politik Anggaran
Pilar
penting APBN adalah asumsi makroekonomi, yang dibuat sebagai panduan arah
kebijakan dan program. Jika asumsi makroekonomi hanya berisi harapan atau
target tanpa diimbangi dengan program dan alokasi anggaran yang mendukung,
maka dipastikan harapan tersebut tidak akan bisa dicapai. Pada titik inilah
salah satu kelemahan APBN yang dirancang pemerintah selama ini.
Program
dan alokasi anggaran tidak mencerminkan keselarasan asumsi makroekonomi yang
dibuat, sehingga kinerja ekonomi yang dihasilkan meleset dari asumsi
tersebut. Setidaknya, apabila asumsi makroekonomi itu (sebagian) tercapai,
namun kinerja secara mikro tidak mendeskripsikan impian yang sebetulnya.
Misalnya, pertumbuhan ekonomi hasilnya sesuai target, tapi angka kemiskinan
turun sangat lambat. Lebih menyedihkan lagi, pertumbuhan ekonomi dicapai
dengan menyertakan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi pula.
Di luar
itu, di masa depan keberhasilan alokasi dan kualitas anggaran perlu dilihat
dari sejauh mana program-program itu dijalankan. Kinerja keberhasilan
pelayanan sektor publik tersebut mesti dilihat dari sisi efisiensi dan
efektivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian
pemanfaatan sumber daya dalam memproduksi pelayanan. Sementara itu,
efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan
program yang telah ditentukan.
Tujuan-tujuan
dari program itu antara lain: (i) aksesibilitas (aspek- aspek semacam
kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas,
dan keterjangkauan fisik); (ii) kesesuaian (mencocokkan pelayanan dengan
kebutuhan masyarakat); dan (iii) kualitas (proses pertemuan standar yang
dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan) [Dollery dan Wallis, 2001]. Terakhir, anggaran bukan hanya cermin
alokasi teknokratis, baik dari sisi penerimaan maupun belanja, namun yang
jauh lebih penting adalah makna politiknya, yaitu politik anggaran.
Politik
anggaran harus dimaknai sebagai keberpihakan kebijakan dan alokasi anggaran
yang secara sadar ditujukan untuk menjalankan mandat konstitusi. Sampai hari
ini aspek itu nyaris diabaikan sehingga politik anggaran tidak memantulkan
cahaya yang terkandung dalam konstitusi. Pasal-pasal ekonomi yang terkait
dengan kesejahteraan dan keadilan terpinggirkan karena didesak oleh
kepentingan sempit dan jangka pendek.
Akibatnya,
fungsi APBN sebagai pengungkit kesejahteraan dan keadilan masyarakat menjadi
sirna. Jadi, sudah saatnya APBN dilihat sebagai instrumen teknokratis yang
bersandar kepada aspek efisiensi dan efektivitas tanpa harus mengubur mandat
konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar