Menelusuri
Jejak Iman Kita
Mohamad
Sobary ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 30 Juni 2014
”Di
manakah jejak iman kita?” ”Apakah iman memang punya jejak?” ”Punya. Dia punya
jejak, dan tanda-tanda, yang dapat dibaca” ”Apakah iman memang bergerak, dan
meninggalkan tanda, hingga kita tahu ke mana arah geraknya?”
”Ya.
Iman itu tumbuh, makin dewasa, makin matang, dan dia pun bergerak, sehingga
jejak- jejak yang ditinggalkannya dapat kita temukan.” ”Nanti dulu. Iman
siapa yang seperti itu ciri-cirinya? Komunitas orang-orang beriman yang
bagaimana yang punya jejak, punya tanda dan bekas-bekas keimanan seperti
itu?” ”Semua jenis komunitas orang-orang beriman seharusnya memiliki
ciri-ciri identitas yang sama.”
”Tapi
kenyataannya tidak sama. Dan kita tak mungkin membuatnya sama” ”Ya. Mungkin
begitu. Dan jika memang benar begitu, saya tak mengerti lagi harus bicara
apa. Iman yang sama, wujud ibadah yang sama, dipersembahkan pada Tuhan yang
sama, mengapa berbeda-beda jejak dan wujud eksistensialnya?” ”Kau benar, dan
berhak merasa heran, kalau ukuran yang kau pakai hanya semua yang standar,
pakem, dan normatif: iman melahirkan salat, iman diwujudkan dalam puasa, iman
membawa kewajiban-kewajiban hukum yang tak bisa diabaikan. Kalau ini
ukurannya, jejak iman niscaya sama di manamana” ”Memangnya ada iman jenis apa
lagi?”
”Kalau
yang kau tanya itu, jawabnya jelas: iman ya iman. Di mana-mana tak kita
temukan bedanya. Tapi buah iman ada banyak macamnya.” ”Banyak tapi sama. Apa
yang datang dari ajaran yang sama, muncul praktek yang sama pula.” ”Ya. Itu
kalau dilihat semata dari dimensi normatifnya agama.” ”Memangnya apalagi
selain itu?” ”Mereka yang memperkaya pengamalan agama, dengan berbagai jenis
ibadah, yang menunjung tinggi pula kewajiban etis, jelas membuat jejak-jejak
iman yang berbeda. Mereka orang-orang yang tulus.” ”Ya. Tapi iman itu sama
bukan?”
”Ya. Sama.
Terutama bagi mereka yang memandang agama sebagai aturan hukum-hukum, yang
normatif, dan tak bisa dielakkan. Semua orang beriman menaati aturan ini.”
”Itu sudah kita pahami bersama.” ”Tapi ada hamba-hamba yang baikhati,
yangsaleh, dantulusdalam kesalehannya, telah membuat agama tampak menjadi
lebih semarak, lebih manusiawi. Amalan lahir bukan semata karena panggilan
hukum, melainkan juga karena panggilan etis, tambahan amal mulia, yang
disukai Allah.
Orang-orang
ini jelas meninggalkan jejak iman yang lain, yang tak sama dengan apa yang
bisa disebut ”mainstream” keagamaan” Keduanya kemudian diam. Dan kita merasa
diantar oleh keduanya, ke dalam suatu corak kesadaran keagamaan yang lain,
yang ukuran-ukurannya kualitatif, yang menekankan makna ketulusan dalam iman.
Bila kita terbiasa menemukan jejak-jejak iman kita sendiri, yang tampil lebih
pada dimensi yang tulus ini, kita tahu bahwa kita telah membiasakan berlatih
dengan baik untuk bisa menjadi hamba yang tulus.
Latihan
ketulusan, yang kita tempuh, di atas landasan yang jelas, membuat kita siap
menjalankan perintah puasa, yang ukuranukurannya begitu personal, dan menaruh
”trusttrust yang besar pada ketulusan kita. Mereka yang tak tulus bisa saja
pada sianghari, ketikaorang lain tak ada, makan kenyang, minum
sepuas-puasnya, dan meneruskan puasanya, seperti orang-orang lain yang jujur
pada diri mereka sendiri. Yang tak tulus, yang purapura berpuasa, bisa tak
ketahuan siapa pun.
Tak
berpuasa tapi pura-pura berpuasa, semata karena malu jika kelihatan tak berpuasa,
boleh saja kalau kita bisa menjalaninya. Tapi kepura-puraan seperti ini tak
akan membuatnya mencapai sesuatu, atau menjadi sesuatu. Kepura-puraan ini
sama dengan apa yang palsu, dan culas di dalam dunia politik. Orang politik
terbiasa bersiasat, menipu seperti tak menipu, bohong seperti tidak bohong,
dan kemudian, lebih serius lagi, memfitnah seperti tidak memfitnah. Tapi
intinya mereka menipu, mereka bohong, dan mereka memfitnah.
Puasa
menekankan kejujuran dan sikap tulus. Dan kita, yangsudahberpuluh-puluh bulan
Ramadhan berpuasa, apa yang kita praktekkan bila kita masih juga terpeleset
dari apa yang bersifat etis, yang menjunjung kejujuran dalam hidup? Watak
oportunis, dan bersikap serakah tanpa tahu malu, kelihatannya tak
diperhatikan orang. Tapi kita tahu, di banyak kalangan watak itu dicaci maki,
disesali dan dikutuk habis-habisan. Orang lain, yang kritis dan bawel itu,
bisa saja kita tipu, dan kita kecoh.
Tapi
dapatkah kita mengecoh diri kita sendiri? Mungkin, diam-diam, kita selalu–
tiap saat–menelusuri kembali jejak iman kita, dan untuk tahu, kita ini jenis
apa, memiliki jejak iman seperti apa, ataukah kita tak punya jejak sama
sekali. Ajaran puasa, yang menekankan pada kebebasan itu, dapatkah kita
laksanakan secara bebas, dengan kebebasan orang dewasa, dan bertanggung
jawab? Puasa, yang memberi kita trust, untuk bersikap tulus, sudahkah kita
sambut dengan ketulusan? Atau di sini kita bersiasat, bohong dan pura-pura,
seperti orang-orang di dunia politik? Sering kita merasa seperti sudah berjalan
jauh, tetapi kita tidak menjadi semakin dekat dengan apa yang kita cari dalam
perjalanan ini.
Bahkan
tak jarang, sesudah makin jauh kita melangkah, baru kita sadar, bahwa mungkin
kita tersesat. Ini perjalanan tanpa peta, tanpa petunjuk arah, tanpa tanda
kapan harus membelok, kapan berhenti, dan di tikungan mana belokan pertama
dan terakhir. Berpuasa, begitu rumit, begitu dalam lekuk-lekuknya yang gelap.
Tuhan, aku tak tahu, apa arti puasa dan ketulusanku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar