Selasa, 17 Juni 2014

Sun Tzu bagi Jokowi dan Prabowo

Sun Tzu bagi Jokowi dan Prabowo

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BAGI Sun Tzu, dalam The Art of War yang legendaris itu, setidaknya ada enam kesalahan yang bisa menyebabkan kekalahan, yaitu pengkhianatan, ketidakpatuhan, kesia-siaan, ketergesa-gesaan, kekacauan, dan kekurangmampuan. Pertanyaan sederhananya ialah ada berapa kesalahan yang telah dibuat setiap kandidat capres/cawapres beserta tim pemenangan masing-masing? Pasti mereka tak siap dengan jawaban yang jujur tentang ini semua.

Di tengah hiruk-pikuk dentuman kampanye pilpres, setiap tim pemenangan hanya berpikir soal kemenangan, apa pun caranya dan bagaimanapun jalannya. Seharusnya kedua tim pemenangan juga secara arif dari sekarang telah menyiapkan crisis center yang terdiri dari para tokoh agama dan psikolog, agar ada pintu keluar emosi para pendukung kedua pasangan jika jagonya kalah. 

Artinya, kedua pihak juga harus siap menerima kekalahan secara dewasa dan bertanggung jawab meskipun hal itu pasti hampir mustahil untuk diwujudkan kedua kandidat. Setidaknya jika dibuat, crisis center tersebut justru akan memberi proses belajar berdemokrasi secara dewasa dan tidak emosional.

Dalam The Art of War, Sun Tzu juga bilang, “Bagi seorang jenderal ada lima bahaya. Bertekad mati, ia bisa tewas. Bertekad hidup, ia bisa tertangkap. Cepat marah, ia bisa dihasut. Murni dan jujur, ia bisa dipermalukan. Mengasihi orang banyak, ia bisa dibuat jengkel.” Kelima jenis tanda bahaya itu juga penting untuk dinisbatkan kepada para capres-cawapres karena kedua kandidat pasti akan dilihat dari perilaku berbahaya yang paling minim yang dimilikinya. Jika capres-cawapres memiliki patriotisme yang keterlaluan dan kebablasan hingga mengatakan rela sampai mati demi membela keyakinannya, jelas kematiannya pasti ditunggu banyak orang. Sementara itu, jika calon pemimpin memiliki hasrat untuk terus hidup tetapi memiliki niat untuk merusak hajat hidup orang banyak, pasti kebenaran yang paling pahit akan diterimanya.

Apalagi jika seorang capres kita gampang marah, dapat dipastikan dia pastilah tipikal orang yang mudah dihasut dan diprovokasi. Juga, jika orang-orang di sekelilingnya ialah para penjilat hebat yang mempunyai vested interest dan syahwat kekuasaan yang mahakuat. Sementara itu, calon pemimpin yang jujur dan murni hatinya juga bisa dipermalukan orang karena biasanya tipikal calon pemimpin seperti ini mudah percaya pada orang, tapi lupa bahwa orang yang dipercaya sekalipun bisa berkhianat. Alhasil, pada masa kampanye saat ini, banyak sekali pelajaran berharga yang bisa diambil kita semua.

Pendekatan emosional

Bahkan jika ingin ekstrem, sesungguhnya model dan gaya kampanye yang dikembangkan kedua kandidat sesungguhnya masih menggunakan pendekatan emosional yang tidak menghitung latar bela kang pendidikan para konstituen mereka. Akhirnya situasi laksana perang terus terjadi setiap saat, bahkan terjadi saling fitnah dan ghibah yang berujung pada penyesatan opini tanpa fakta dan data yang jelas. Saya teringat pada Tolstoy (1964), yang mengatakan, “And the war began, that is, an event took place opposed to human reason and all human nature.“ Suasana kampanye yang laksana perang seakan membuktikan bahwa kita tak pernah berhitung dampak psikologis dari perang saling fitnah terhadap masa depan anak-anak kita kelak.

Adagium Tolstoy itu secara jelas mengingatkan kita bahwa perang (dalam bentuknya yang ringan seperti perang penyesatan dalam kampanye pilpres) memang sangat melawan akal sehat dan nurani kemanusiaan. Yang lebih menyakitkan dan membawa dampak berjangka panjang ialah efek perang jenis ini terhadap pertumbuhan individu anak-anak dan keluarga. Secara tidak disadari, efek perang berupa munculnya deretan kekerasan yang melibatkan ayah terhadap anak, ibu terhadap anak, anak terhadap teman-teman sepermainannya, dan kombinasi di antara ketiganya. Pendek kata, akibat perang yang paling kasatmata ialah kekerasan. Gambaran tentang itu terjalin sangat apik dalam fi lm cukup lawas berjudul The War yang dibintangi oleh Elijah Wood dan Kevin Costner.

Sejalan dengan kesimpulan Tolstoy soal perang, Stu (diperankan oleh Elijah Wood) membuat sebuah kesimpulan sangat baik tentang kekerasan yang terjadi antara satu keluarga dan keluarga lainnya sesama veteran perang Vietnam. Kata Stu, “Semua manusia mengenal apa itu perang, tetapi perang tak mengenal manusia.“ Betapa traumatiknya sebuah masyarakat akan akibat perang sehingga kekerasan kemudian menjadi gelombang kedua dari efek perang yang kurang disadari manusia. Akan tetapi, jika kekerasan di dalam keluarga dan atau di sekolah kerap terjadi, bentuk perang apa yang kira-kira terjadi sebelumnya?

Bentuk lain perang

Hampir setiap hari kita menyaksikan berita tentang kekerasan, baik yang terjadi di tengah keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Tawuran antarsekolah dan bentukbentuk intimidasi lainnya terhadap anak ketika belajar di sekolah kerap terjadi, tetapi kita seakan tak bisa memberi jalan keluar. Meskipun saran dan seruan tentang penting dan perlunya pendidikan moral, akhlak, karakter, dan pendidikan agama sudah sering kita dengar, kekerasan terhadap anak masih saja tetap terjadi. Jika kekerasan merupakan bentuk lain dari perang, dalam terminologi the psychosocial costs of structural violence sangat boleh jadi kemiskinan (poverty) dan kebodohan merupakan bentuk perang sesungguhnya yang sedang dialami masyarakat kita, terutama perempuan dan anak-anak (Brown: 1983).

Jika melihat fakta itu, seyogianya model, jenis, dan gaya kampanye yang harus dikembangkan ialah gaya positif yang mengusung tema-tema di sekitar kemiskinan dan kebodohan, tetapi dalam argumen yang masuk akal serta berdasarkan fakta-fakta yang ada, bukan penyesatan dan manipulasi data. Anak-anak kita yang saat ini duduk di bangku SMP dan SMA, serta jutaan guru di Indonesia sedang menyaksikan kematangan berpikir dan kejiwaan para calon pemimpin Indonesia beserta para tim pemenangan mereka untuk tidak ragu berkata dan berperilaku jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar