Selasa, 17 Juni 2014

Menyemai Pendidikan Nirkekerasan

Menyemai Pendidikan Nirkekerasan

Agus Wibowo  ;   Magister Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta,
Penulis buku Malpraktik Pendidikan
MEDIA INDONESIA,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEKOLAH idealnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik. Selain sebagai rumah kedua, di sekolah anak didik bisa menjalani proses pendidikan dan pemupukan aneka potensi mereka dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Para orangtua pun bisa menitipkan anak-anak mereka tanpa takut sang buah hati tersakiti atau terampas keceriaannya. Namun, harapan itu akhir-akhir ini sirna. Alih-alih semakin mendewasakan dan membentuk karakter luhur anak didik, proses pendidikan di sekolah justru menjadi tempat eksekusi dan perampas keceriaan mereka.

Lihat saja kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) belum lama ini, kemudian pelecehan seksual di SMAN 22 Jakarta dan SD negeri di Depok yang dilakukan guru. Sementara itu, kekerasan fisik terjadi di salah satu SD negeri di Tanjung Priok, Jakarta, yang juga dilakukan guru.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak baik di sekolah ataupun di luar, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2014), mengalami peningkatan lebih dari 20% pada 2013. Sementara itu, hasil survei KPAI di sembilan provinsi, yaitu Sumatra Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, dengan total responden 1.026 siswa, menyebutkan masih tingginya tindak kekerasan pada anak didik.

Mengapa kekerasan terhadap anak didik masih terus terjadi di sekolah? Bagaimana sebaiknya para pemangku pendidikan memutus ‘mata rantai’ kekerasan terhadap anak didik?

Disorientasi?

Menurut WHO (2000), kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang salah. Kekerasan terhadap anak (child abuse) dan neglect ialah tindakan melukai berulang-ulang secara fisik ataupun emosional anak melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan bisa berbentuk kekerasan fisik, psikologis, verbal, emosi, dan sosial.

Kekerasan dalam pendidikan lebih sering terjadi pada unsur utama, yakni pelaku pendidikan. Kekerasan itu bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lain. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada unsur selain pelaku utama pendidikan. Kekerasan itu mewujud dalam kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan. Kekerasan itu bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui aparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat (Francis Wahono, 2003).

Tingginya angka kekerasan pada anak di sekolah sampai awal 2014 mengindikasikan disorientasi pendidikan kita. Padahal, jauh hari para bapak bangsa memiliki ancangan luhur bahwa pendidikan hendaknya menjadi sarana humanisasi bagi anak didik. Pendidikan bangsa hendaknya menempa anak didik menjadi pribadi yang santun, beretika, dan berkarakter luhur. Melalui pendidikan, anak didik menjadi terbimbing, tercerahkan, dan tabir ketidaktahuannya terbuka sehingga mereka mampu menjalani proses humanisasi. Pendek kata, para bapak bangsa dahulu tidak saja menggaransikan keluaran pendidikan berupa manusia sejati, tetapi juga sosok yang kaya akan visi humanisme dalam kerangka kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Data-data kekerasan yang terus bertambah menegaskan pendidikan kita belum mampu menjadi wahana humanisasi bagi anak didik. Pendidikan kita yang mestinya menjadi ruang menyemai humanisasi malah menjadi wahana melanggengkan kekerasan (bullying) dan ketidakmanusiawian terhadap anak didik. Sekolah laksana ajang para gladiator mempertontonkan kekerasan otot yang menyebabkan satu per satu anak bangsa gugur sia-sia. Guru yang mestinya menjadi orangtua kedua justru menjadi jagal-jagal kejam atau para eksekutor bengis yang merampas keceriaan bahkan nyawa anak didik. Ironis sekali!

Lebih parah lagi, kekerasan atas nama pendidikan tidak hanya terjadi di tingkat dasar tetapi juga di perguruan tinggi (PT) kedinasan milik negara. Kematian taruna tingkat I Dimas Dikita Handoko, Ju mat (25/4), menjadi indikasinya. Menurut Ketua STIP Jakarta Kapten Rudiana, kejadian tersebut sebenarnya sudah pernah terjadi pada 2008. Kasus serupa sebelumnya pernah terjadi di perguruan tinggi ke dinasan DLLAJ dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Penyebab penganiayaan para taruna itu sebagian besar hanya kesalahan ringan dan sepele. Misalnya karena korban melakukan kesalahan pada saat latihan membawa bendera pusaka, tidak mengenakan atribut seragam, tidak mengenakan topi, dan terlambat masuk kelas.

Kekerasan di PT kedinasan, tulis Agus Wibowo (2010), di sebabkan belum tertatanya sistem kurikulum yang humanis serta masih kentalnya budaya militeristis; terutama menyangkut kedisiplinan. Hal senada juga pernah dikeluhkan Prof Ryas Rasyid (2010). Bahkan menurut Ryas Rasyid, jika kurikulum PT kedinasan tidak dirombak, sebai knya lembaga pendidikan pemerintah itu ditutup agar tidak menimbulkan korban baru. Lebih dari itu, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja di berbagai bidang. Itu karena animo orangtua menyekolahkan putra putrinya ke PT kedinasan bukan karena mutu pendidikannya, melainkan karena jami nan pekerjaan setelah lulus nanti.

Sebagaimana Ryas Rasyid, Inu Kencana (2010) juga meng kritisi kurikulum di PT kedinasan. Menurut Inu, pendekatan dan kurikulum di perguruan tinggi kedinasan perlu diubah. Pendekatan sistem perguruan tinggi memang cocok dalam pendidikan kemiliteran; karena militer butuh kekompakan dan ketaatan pada perintah. Akan tetapi, bagi perguruan tinggi kedinasan, pendekatan itu sangat tidak sesuai. Pasalnya, yang akan dilayani lulusan perguruan tinggi kedinasan adalah masyarakat sipil.

Hentikan kekerasan

Kekerasan dalam pendidikan kita lebih sering terjadi karena kurikulum yang keliru. Anak didik menjadi objek langsung dari kurikulum yang didukung kerangka dan pranata pendidikan. Pendekatan pendidikan yang digunakan para guru lebih sering bersifat top down dan mendikte. Pendekatan seperti itu berasumsi bahwa guru sebagai pusat kebenaran dan pengetahuan lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat dibantah. Sistem pendidikan model itu sebenarnya cocok dalam dunia militer, dengan disiplin seragam, ketat ideologi, dan taat perintah tanpa boleh banyak bertanya.

Kekerasan dalam pendidikan harus dihentikan. Sudah saatnya para guru dan stakeholder pendidikan memahami bahwa esensi dasar pendidikan ialah wahana humanisasi anak didik melalui pembentukan jati diri dan perilaku dalam koridor kognitif (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku). Sekolah yang dikelola secara humanis, nirkekerasan, tanpa eksploitasi, dan pelaksanaan disiplin yang tidak kaku akan menciptakan iklim budaya yang nyaman. Sekolah dengan budaya yang demikian akan melahirkan anak didik yang kaya akan perspektif humanisasi di samping berkarakter, bukan mereka yang berin gas lantaran diedukasi dengan kekerasan.

Sudah saatnya pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat bekerja sama memperbaiki pendidikan kita terpenting perguruan tinggi kedinasan. Benar perguruan tinggi kedinasan masih dibutuhkan untuk mendidik pamong praja yang profesional di bidangnya, tetapi bukan dengan sistem yang kental kekerasan. Mestinya, proses pendidikan dibentuk dalam kultur yang humanis atau bottom up. Kedisiplinan memang penting, bahkan harus lebih ditingkatkan karena itu merupakan kunci dari kesuksesan. Akan tetapi, disiplin bukan diterjemahkan sebagai alur top down yang sangat kaku. Pola seperti itu hanya akan membahayakan keselamatan para taruna.

Menurut banyak ahli pendidikan, kekerasan akan terus terulang selama mata rantainya tidak secara bertahap dan komprehensif dihilangkan. Menurut Doni Koesuma (2014), kekerasan lebih sering terjadi karena selama ini belum ada sinergi antara KPAI, Kemendibud, dan dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Padahal, kerja sama dan sinergi lintas sektoral diperlukan agar perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan tidak terjadi lagi.

Para pengawas sekolah diharapkan lebih jeli dan lebih sering turun ke lapangan. Meminjam istilah Hamrin (2010), pengawas sekolah jangan hanya datang, duduk, periksa administrasi, dan mencari kesalahan. Pengawas harus menjadi mitra efektif kepala sekolah sekaligus ikut menjamin tidak terjadinya tindak kekerasan. Tidak kalah pentingnya masyarakat, termasuk wali murid dan komite sekolah, harus berpartisipasi mengontrol sekolah agar berjalan bagus, bermakna, sejalan dengan prinsip pendidikan, dan terbebas dari kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar