Sun
Tzu bagi Jokowi dan Prabowo
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juni 2014
BAGI Sun Tzu, dalam The Art of War yang legendaris itu,
setidaknya ada enam kesalahan yang bisa menyebabkan kekalahan, yaitu
pengkhianatan, ketidakpatuhan, kesia-siaan, ketergesa-gesaan, kekacauan, dan
kekurangmampuan. Pertanyaan sederhananya ialah ada berapa kesalahan yang
telah dibuat setiap kandidat capres/cawapres beserta tim pemenangan
masing-masing? Pasti mereka tak siap dengan jawaban yang jujur tentang ini
semua.
Di tengah hiruk-pikuk dentuman
kampanye pilpres, setiap tim pemenangan hanya berpikir soal kemenangan, apa
pun caranya dan bagaimanapun jalannya. Seharusnya kedua tim pemenangan juga
secara arif dari sekarang telah menyiapkan crisis center yang terdiri dari para tokoh agama dan psikolog,
agar ada pintu keluar emosi para pendukung kedua pasangan jika jagonya kalah.
Artinya, kedua pihak juga harus siap menerima kekalahan secara dewasa dan
bertanggung jawab meskipun hal itu pasti hampir mustahil untuk diwujudkan
kedua kandidat. Setidaknya jika dibuat, crisis center tersebut justru akan memberi
proses belajar berdemokrasi secara dewasa dan tidak emosional.
Dalam The Art of War, Sun Tzu juga bilang, “Bagi seorang jenderal ada lima bahaya. Bertekad mati, ia bisa tewas.
Bertekad hidup, ia bisa tertangkap. Cepat marah, ia bisa dihasut. Murni dan
jujur, ia bisa dipermalukan. Mengasihi orang banyak, ia bisa dibuat jengkel.”
Kelima jenis tanda bahaya itu juga penting untuk dinisbatkan kepada para
capres-cawapres karena kedua kandidat pasti akan dilihat dari perilaku
berbahaya yang paling minim yang dimilikinya. Jika capres-cawapres memiliki
patriotisme yang keterlaluan dan kebablasan hingga mengatakan rela sampai
mati demi membela keyakinannya, jelas kematiannya pasti ditunggu banyak
orang. Sementara itu, jika calon pemimpin memiliki hasrat untuk terus hidup
tetapi memiliki niat untuk merusak hajat hidup orang banyak, pasti kebenaran
yang paling pahit akan diterimanya.
Apalagi jika seorang capres kita
gampang marah, dapat dipastikan dia pastilah tipikal orang yang mudah dihasut
dan diprovokasi. Juga, jika orang-orang di sekelilingnya ialah para penjilat
hebat yang mempunyai vested interest dan syahwat kekuasaan yang mahakuat.
Sementara itu, calon pemimpin yang jujur dan murni hatinya juga bisa
dipermalukan orang karena biasanya tipikal calon pemimpin seperti ini mudah
percaya pada orang, tapi lupa bahwa orang yang dipercaya sekalipun bisa
berkhianat. Alhasil, pada masa kampanye saat ini, banyak sekali pelajaran
berharga yang bisa diambil kita semua.
Pendekatan emosional
Bahkan jika ingin ekstrem,
sesungguhnya model dan gaya kampanye yang dikembangkan kedua kandidat
sesungguhnya masih menggunakan pendekatan emosional yang tidak menghitung
latar bela kang pendidikan para konstituen mereka. Akhirnya situasi laksana
perang terus terjadi setiap saat, bahkan terjadi saling fitnah dan ghibah yang
berujung pada penyesatan opini tanpa fakta dan data yang jelas. Saya teringat
pada Tolstoy (1964), yang mengatakan, “And
the war began, that is, an event took place opposed to human reason and all
human nature.“ Suasana kampanye yang laksana perang seakan membuktikan
bahwa kita tak pernah berhitung dampak psikologis dari perang saling fitnah
terhadap masa depan anak-anak kita kelak.
Adagium Tolstoy itu secara jelas
mengingatkan kita bahwa perang (dalam bentuknya yang ringan seperti perang
penyesatan dalam kampanye pilpres) memang sangat melawan akal sehat dan
nurani kemanusiaan. Yang lebih menyakitkan dan membawa dampak berjangka
panjang ialah efek perang jenis ini terhadap pertumbuhan individu anak-anak
dan keluarga. Secara tidak disadari, efek perang berupa munculnya deretan
kekerasan yang melibatkan ayah terhadap anak, ibu terhadap anak, anak
terhadap teman-teman sepermainannya, dan kombinasi di antara ketiganya. Pendek
kata, akibat perang yang paling kasatmata ialah kekerasan. Gambaran tentang
itu terjalin sangat apik dalam fi lm cukup lawas berjudul The War yang dibintangi oleh Elijah Wood dan Kevin Costner.
Sejalan dengan kesimpulan
Tolstoy soal perang, Stu (diperankan oleh Elijah Wood) membuat sebuah
kesimpulan sangat baik tentang kekerasan yang terjadi antara satu keluarga
dan keluarga lainnya sesama veteran perang Vietnam. Kata Stu, “Semua manusia
mengenal apa itu perang, tetapi perang tak mengenal manusia.“ Betapa
traumatiknya sebuah masyarakat akan akibat perang sehingga kekerasan kemudian
menjadi gelombang kedua dari efek perang yang kurang disadari manusia. Akan
tetapi, jika kekerasan di dalam keluarga dan atau di sekolah kerap terjadi,
bentuk perang apa yang kira-kira terjadi sebelumnya?
Bentuk lain perang
Hampir setiap hari kita
menyaksikan berita tentang kekerasan, baik yang terjadi di tengah keluarga,
masyarakat, maupun sekolah. Tawuran antarsekolah dan bentukbentuk intimidasi
lainnya terhadap anak ketika belajar di sekolah kerap terjadi, tetapi kita seakan
tak bisa memberi jalan keluar. Meskipun saran dan seruan tentang penting dan
perlunya pendidikan moral, akhlak, karakter, dan pendidikan agama sudah
sering kita dengar, kekerasan terhadap anak masih saja tetap terjadi. Jika
kekerasan merupakan bentuk lain dari perang, dalam terminologi the psychosocial costs of structural
violence sangat boleh jadi kemiskinan (poverty) dan kebodohan merupakan bentuk perang sesungguhnya yang
sedang dialami masyarakat kita, terutama perempuan dan anak-anak (Brown: 1983).
Jika melihat fakta itu,
seyogianya model, jenis, dan gaya kampanye yang harus dikembangkan ialah gaya
positif yang mengusung tema-tema di sekitar kemiskinan dan kebodohan, tetapi
dalam argumen yang masuk akal serta berdasarkan fakta-fakta yang ada, bukan penyesatan
dan manipulasi data. Anak-anak kita yang saat ini duduk di bangku SMP dan
SMA, serta jutaan guru di Indonesia sedang menyaksikan kematangan berpikir
dan kejiwaan para calon pemimpin Indonesia beserta para tim pemenangan mereka
untuk tidak ragu berkata dan berperilaku jujur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar