Sabtu, 14 Juni 2014

Retorika Konstitusi di Pilpres

Retorika Konstitusi di Pilpres

Munafrizal Manan  ;   Alumnus University of Melbourne, Australia;
Mahasiswa Utrecht University School of Law, Belanda
KOMPAS,  14 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MENDEKATI jadwal kontestasi elektoral pemilihan presiden dan wakil presiden, para calon presiden melontarkan retorika konstitusi untuk meyakinkan publik.
Mereka menyebut-nyebut argumen konstitusional untuk mempertegas garis politiknya. Mulai dari soal konstitusionalitas pencalonan presiden, tuntutan kaum buruh, hingga amandemen kelima konstitusi. Mereka tampak ingin membangun impresi sebagai konstitusionalis yang paham dan patuh berkonstitusi.

Seperti halnya isu populisme dan anti korupsi, retorika konstitusi sangat seksi dijajakan di tengah momentum kontestasi elektoral. Terlebih lagi praktik demokrasi konstitusional Indonesia masih mengidap defisit kaum konstitusionalis. Maka, figur yang tampil dengan retorika konstitusi sepintas tampak sebagai patriot yang menawarkan panacea. Benarkah?

Masih kedodoran

Menilai kesungguhan komitmen berkonstitusi para capres saat mereka belum terpilih dan berkuasa berpotensi prematur. Namun, dengan mencermati desain demokrasi konstitusional kini dan kecenderungan praktiknya sejauh ini, tersedia argumen untuk menguji retorika konstitusi tersebut.

Di harian ini (27/12/2012), penulis pernah berargumen, pengabaian konstitusi adalah titik lemah praktik demokrasi konstitusional Indonesia. Konstitusi sebagai hukum dasar dan tertinggi belum menjadi the living constitution meski telah dilakukan amandemen konstitusi (UUD 1945) sebanyak empat kali.

Sejauh menyangkut implementasi konstitusi mengenai penyelenggaraan kelembagaan negara dalam bingkai checks and balances, butir-butir konstitusi relatif dipatuhi. Wujud nyatanya, tak ada satu pun lembaga negara yang lebih dominan daripada lembaga negara yang lain. Artinya, komitmen berkonstitusi masih terbatas aspek penyelenggaraan kelembagaan negara. Di luar ini, komitmen berkonstitusi di kalangan elite pemangku kekuasaan negara masih lemah.

Padahal, cakupan konstitusi kita tidak hanya pada aspek kelembagaan negara (konstitusi politik), tapi juga meliputi konstitusi ekonomi, sosial, dan hak-hak konstitusional. Pada aspek ini, komitmen berkonstitusi penyelenggara negara kedodoran.

Pasal 33 UUD 1945, misalnya, telah secara jelas dan tegas mengatur tentang asas kekeluargaan dalam perekonomian, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta penguasaan oleh negara atas bumi dan air dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, kebijakan ekonomi yang dibuat oleh penyelenggara negara dari periode ke periode cenderung menyimpangi prinsip konstitusi ekonomi dan sebaliknya justru selaras dengan agenda liberalisasi ekonomi.

Selain itu, pelanggaran atau pengabaian konstitusi yang berhubungan dengan hak-hak konstitusional warga negara masih terus terjadi. Para pengemis dan anak jalanan masih mudah dijumpai, terutama di pusat-pusat kota. Berdasarkan Pasal 34 UUD 1945, seharusnya mereka dipelihara oleh negara. Kebebasan beragama, yang secara eksplisit dijamin oleh Pasal 28 E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 UUD 1945, masih tetap persoalan krusial. Banyak jaminan hak konstitusional lainnya yang belum menjelma teks hidup. Hak-hak konstitusional itu sebagian masuk kategori sebagai positive rights.

Di tengah kultur kesadaran berkonstitusi yang belum terbangun baik, sistem ketatanegaraan kita tidak mengatur mekanisme menuntut tanggung jawab konstitusional aktor-aktor negara jika abai atau gagal melaksanakan seluruh isi konstitusi. Pada saat yang sama, desain demokrasi konstitusional kita belum menyediakan akses constitutional complaint bagi tiap warga negara untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya dalam perkara konkret. Mahkamah Konstitusi Indonesia belum memiliki kewenangan constitutional complaint sebagaimana Mahkamah Konstitusi Jerman, misalnya.

Kekosongan ini menyebabkan, mengutip Scott Gordon (2002: 361), ”demokrasi konstitusional belum sukses membangun sebuah sistem yang sempurna untuk mengontrol negara”. Akibatnya, pelanggaran konstitusi oleh penyelenggara negara belum dianggap persoalan serius.

Mekanisme konstitusional yang tersedia untuk menuntut pertanggungjawaban penyelenggara negara terbatas pada presiden dan/atau wakil presiden melalui pemakzulan. Namun, menurut Pasal 7 A dan Pasal 7 B UUD 1945, presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat diberhentikan dengan alasan telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Keengganan atau ketidakmampuan presiden dan/atau wakil presiden menegakkan semua isi konstitusi tidak eksplisit disebut sebagai alasan konstitusional untuk dapat melakukan pemakzulan. Lagi pula, pemakzulan tak mudah dilakukan karena harus memenuhi proses konstitusional berliku.

Dalam demokrasi elektoral memang tersedia mekanisme punitif menuntut tanggung jawab kegagalan aktor-aktor negara, yaitu pemilihan umum. Konstituen dapat menjatuhkan hukuman dengan cara tidak memilihnya kembali. Namun, mekanisme ini kurang memberikan rasa keadilan pada masyarakat yang telanjur menanggung beban derita akibat pelanggaran atau pengabaian konstitusi oleh aktor-aktor negara. Selain itu, mekanisme ini tidak ampuh memberikan efek jera pada penyelenggara negara berikutnya.

Ingkari sumpah jabatan

Sejatinya pengabaian atau pelanggaran konstitusi merupakan pengingkaran sumpah jabatan. Pejabat publik sebelum memangku jabatan harus melafazkan komitmen memegang teguh UUD 1945. Namun, yang terjadi, pengucapan sumpah jabatan hanya pelengkap seremonial pelantikan. Padahal, jika betul supremasi konstitusi dijunjung tinggi, pengingkaran sumpah jabatan seharusnya ada konsekuensinya, yaitu memenuhi syarat meletakkan jabatan. Maka, ada banyak pejabat publik yang harus dimakzulkan.

Arena demokrasi konstitusional tak hanya mensyaratkan kehadiran kaum demokrat, tetapi juga meniscayakan peran kaum konstitusionalis, terutama di kalangan aktor-aktor negara. Retorika konstitusi para calon presiden boleh jadi indikasi awal komitmen berkonstitusi, tetapi juga sangat mungkin sekadar pemanis bibir untuk kepentingan politik elektoral sesaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar