Menciptakan
Indonesia yang Lebih Baik
BS
Mardiatmadja ; Rohaniwan
|
KOMPAS,
14 Juni 2014
ADA
seorang penyanyi yang tak akan jadi pilihan saya untuk menjadi presiden
Indonesia. Namun, salah satu seruannya mengiang-ngiang di telinga selama
debat antara tim-tim pendukung kedua capres-cawapres, ”Ayo membuat dunia (Indonesia) ini menjadi tempat yang lebih baik…”.
Dan, saya akan memilih orang yang paling mendekatkan cita-cita anak muda itu,
yaitu ”… yang membuat Indonesia suatu
tempat yang lebih baik…, untuk kita semua”.
Pendahulu
kita yang telah memproklamasikan republik ini dengan jelas-jelas mengemukakan
arti ”merdeka” bagi seluruh rakyat,
tanpa kecuali. Begitu awal mukadimah UUD 1945, yang tidak disentuh siapa pun
yang mengusulkan koreksi. Maka, kita akui bersama sebagai tuntutan terhadap
semua capres dan timnya, siapa pun juga.
Atas
dasar itu, capres mana pun dituntut secara terbuka menjamin kebebasan
berpendapat dalam republik tercinta ini. Kita merasakan betapa kebebasan
berpendapat itu dilaksanakan pada awal masa kemerdekaan, ketika di tahun 1945
sampai pemilihan umum perdana, siapa pun—dari golongan mana pun, asal suku
apa pun, dengan keyakinan dan iman seberapa pun, dalam partai apa pun—diajak
ikut membangun persaudaraan dan akan serentak dihadapi aparat ataupun rakyat
secara konsisten kalau melawan persatuan itu.
Akhir-akhir
ini, republik ini menjamin kebebasan berpendapat secara lebih maju karena
iklan dan pendapat beraneka dapat disampaikan lewat media apa pun. Dengan
demikian, pelbagai keyakinan secara resmi dipersilakan berkembang tanpa
penindasan dari pimpinan negara. Oleh karena itu, setiap capres dituntut
berjanji dan merencanakan untuk menjamin itu. Setiap tindakan melawan
keleluasaan berpendapat dan berkeyakinan harus jelas-jelas ditindak dan tak
dibiarkan oleh rakyat dan pemerintah pada lapisan apa pun. Itulah tekad
republik sebagaimana tampak dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945.
Konsekuensinya,
capres mana pun tidak layak mendapat suara jika tidak hanya tidak menjamin
kebebasan berpendapat, tapi juga malah ingin melampaui kekuasaan negara
dengan mengambil alih kewenangan manusiawi untuk mengatur keyakinan iman.
Dengan kesadaran itu, tinggal setengah jengkal lagi yang bersangkutan akan
membungkam setiap pendapat yang berbeda dengannya, lalu hilanglah sila
keempat Pancasila. Sebab, pengandaian dasar dari sila keempat adalah
kesetaraan setiap warga negara untuk berpendapat melalui musyawarah dalam
perwakilan secara trustworthy.
Kalaulah ada perbedaan keyakinan, tekad para pendiri negara ini adalah ”bermusyawarah dan berunding”.
Dengan
segala keterbatasan di masa silam, para pendiri republik ini membuka diri
pada komunikasi terus-menerus dan secara fair mengakui kesetaraan martabat
setiap golongan. Segala kekerasan dalam meyakinkan orang lain atau arus lain
adalah bertentangan dengan tekad Pancasila dan anti demokratis. Setiap ucapan
dan tulisan yang menunjuk ke arah ketakadilan berpendapat dan berkeyakinan
tak selaras dengan sila keempat sehingga harus ditolak.
Dalam
pengertian itu, persatuan bangsa Indonesia yang kita cita-citakan sejak 1945
(bahkan sejak 1928) adalah persatuan atas dasar kesetaraan martabat setiap
warga negara. Oleh karena itu, pemilihan presiden dan wakilnya seyogianya
tidaklah diwarnai oleh persyaratan suku, agama, pendidikan, atau keterampilan
apa pun, selain kesediaan melayani kepentingan seluruh rakyat secara kompeten
sehingga menjamin kedaulatan rakyat.
Dalam
semangat itulah persatuan bangsa Indonesia tidak berhenti sebagai slogan
kampanye pemilihan, tetapi harus dijamin oleh capres mana pun akan secara
efektif diupayakan dalam seluruh program pasca pemilihan umum.
Setiap
capres hanya dapat memenuhi cita-cita persatuan bangsa Indonesia apabila
peduli kepada rakyat secara cerdas, dengan argumentasi bernas, tanpa membuat
batas pada kelas dan asas, dan rela memberdayakan rakyat tanpa
memperdayakannya. Maka, seorang presiden harus bekerja sama dengan semua
bagian masyarakat sampai ke luar batas ideologi dan partai serta agama demi
kepentingan seluruh rakyat yang diucapkannya nanti kalau disumpah.
Kalau
janji itu tidak diucapkan seorang capres, berarti ia tidak ingin melaksanakan
Pancasila secara konsekuen. Sebab, kekuatan Pancasila ini, yang diakui
bangsa- bangsa—khususnya sejak Konferensi Asia Afrika beberapa puluh tahun
lalu—adalah bahwa seluruh bagian bangsa Indonesia diakui sebagai manusia yang
sama karena diciptakan Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, setiap capres
perlu kembali secara eksplisit mengakui bahwa dirinya dari sudut kemanusiaan
dan keimanan tidaklah lebih tinggi dibandingkan warga negara mana pun. Perlu
dicari rumusan ataupun perundangan dan administrasi kenegaraan yang
menunjukkan presiden dan ”segala pembantunya” sungguh ”pelayan rakyat”,
seperti sudah terucap dalam aneka pidato kampanye.
Khususnya
anggota legislatif dan yudikatif perlu secara fair menjaga agar sejak hari
pertama sampai hari terakhir menjabat, presiden dan wakil presiden sungguh
menjaga bonum commune. Membiarkan
pelanggaran bonum commune tidaklah
berbeda dengan ikut ambil bagian dari ”pelanggaran hak asasi” juga. Dalam
semangat itu pula, relasi internasional juga harus diperjuangkan sebagai
bangsa yang setara duduk berdampingan dengan orang lain.
Kalau
demikian, kita boleh tidak putus asa bahwa rakyat yang paling kecil, paling
miskin, paling celaka, paling bodoh, paling nestapa, dan paling menderita,
justru akan senantiasa mendapatkan perhatian dari bangsa ini. Pemerintah
memegang teguh komitmen untuk secara efisien dan efektif menjaga agar orang
yang berlain-lainan pendapatnya secara fair diperlakukan dengan adil. Seluruh
bangsa memperoleh keadilan. Itulah makna keadilan sosial, melampaui keadilan
kata per kata, keadilan aturan atau keadilan politis, keadilan lintas
kelompok ataupun keadilan yang dijaga dengan kekerasan senjata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar