Tentang
Pilpres Satu Putaran
Hamid
Awaludin ; Dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS,
14 Juni 2014
INILAH
untuk pertama kali—setelah sistem pemilihan presiden secara langsung
dilaksanakan di Indonesia—hanya ada dua pasangan calon presiden-calon wakil
presiden yang langsung berhadapan di gelanggang. Sekilas, ini sebuah
pertarungan yang langsung, penyelenggaraan yang terlihat mudah dan sederhana.
Namun, ternyata tak semudah itu. Aturan hukum selalu punya ruang untuk
diperdebatkan, apalagi jika di ruang itu segalanya sudah dipertaruhkan: nama
besar, pendukung, modal, dan sumber daya.
Pangkal
soal ketidaksederhanaan itu di konstitusi kita, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, ”Pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”.
Ayat ini
dijabarkan lewat Pasal 159 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Menurut ayat ini, jika tak ada pasangan
capres-cawapres yang memenuhi syarat kemenangan yang ada dalam Pasal 6A Ayat
(3) UUD 1945, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan
kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung.
Pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu putaran kedua ini dilantik
sebagai presiden dan wakil presiden.
Secara
sederhana, tafsir atas ayat ini adalah pemenang pemilu presiden memenangi
lebih dari 50 persen dari total suara pemilih dan memenangi 20 persen suara
di sedikitnya 17 provinsi di seluruh Indonesia. Ketentuan soal sebaran suara
ini dapat dipahami mengingat presiden dan wakil presiden adalah representasi
penduduk seluruh Indonesia.
Tak perlu
Klausul
sebaran 20 persen suara di sedikitnya 17 provinsi inilah yang kemudian memunculkan
wacana baru: jika hanya ada dua pasangan capres dan cawapres, lalu tak satu
pun yang memenangi 20 persen suara di 17 provinsi, apakah harus lanjut ke
putaran kedua dengan peserta yang sama?
Menurut
saya, tidak perlu. Pemilu presiden dengan dua pasangan kandidat hendaknya
selesai di satu putaran.
Menengok
kembali perjalanan perubahan konstitusi kita, amandemen UUD 1945 dilakukan
dalam suasana euforia rakyat mendirikan partai politik saat keran kebebasan
sedang terbuka lebar.
Saat
klausul dalam pasal itu dibuat, setiap partai mencalonkan kandidat
presidennya. Soal ambang batas minimal suara (electoral threshold) batas
suara parlemen (parliamentary threshold) baru dipikirkan kemudian. Itu
sebabnya pada Pemilu Presiden 2004 tampil lima pasangan calon dan pada 2009
ada tiga pasangan calon.
Dalam
perjalanan waktu, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini kemudian
mengalami penyempurnaan. Syarat-syarat diperbarui sebagaimana dalam Pemilu
Presiden 2014 di mana hanya partai atau koalisi partai yang memenangi 20
persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional yang berhak
mengajukan capres dan cawapres.
Partai-partai
dengan perolehan suara kecil tidak mudah lagi mengajukan calonnya. Dinamika
ini yang belum terpikirkan oleh para penyusun konstitusi kita di awal era
Reformasi.
Dengan
pertimbangan itu, dalam hal hanya dua pasangan calon yang berada di
gelanggang, pemilihan presiden dan wakil presiden hanya berlangsung satu
putaran. Tentu ada yang berpendapat bahwa original intent pembuat konstitusi
memberikan syarat yang panjang itu agar presiden dan wakil presiden terpilih
kelak tidak hanya menjadi presiden karena memenangi pemilihan di Pulau Jawa
semata.
Pendapat
itu benar. Namun, jika kita jeli membaca Pasal 6A Ayat (4) UUD 1945, di situ
dijelaskan: ”Dalam hal tidak ada
pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih
oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.”
Tak perlu khawatir
Bagi
saya, pasal ini sebenarnya membuka peluang agar pasangan capres dan cawapres,
yang tidak dipilih dengan suara lebih dari 50 persen jumlah pemilih dan
tersebar di minimal 50 persen jumlah provinsi dengan 20 persen perolehan
suara di setiap provinsi, mendapatkan pembenaran dan legitimasi untuk
dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Maka,
tak perlu terlampau ribet mencari solusi yuridisnya. Capres dan cawapres yang
ikut dalam Pemilu Presiden 2014 ini hanya dua pasangan calon.
Saya
adalah orang yang amat optimistis bahwa salah satu dari dua pasangan capres
dan cawapres yang ikut kontestasi pada Pemilu Presiden 2014 bisa memenuhi
persyaratan-persyaratan yang digariskan oleh konstitusi dan aturan hukum kita
itu.
Prabowo
Subianto telah mengiklankan diri hampir lima tahun terakhir melalui berbagai
iklan dengan rupa-rupa peran yang dimainkannya. Wajahnya tak asing lagi bagi
rakyat Indonesia meski mungkin rekam jejaknya masih dipersoalkan secara
asasi. Begitu juga wajah Joko Widodo (Jokowi), terutama beberapa tahun
terakhir ini, sudah dikenal luas di seantero negeri. Ia tiba-tiba menjadi
medan magnet perhatian rakyat. Joko Widodo sontak menjadi media darling.
Cawapres
dari kedua capres di atas juga amat populer. Siapa yang tidak mengenal Jusuf
Kalla (JK) dengan kegesitan dan kecepatannya dalam merespons berbagai ihwal
pelik sekaligus mencari solusinya. Ia selalu menjadi episentrum pemberitaan
karena keterusterangan dan keterbukaannya. Begitupun Hatta Rajasa, dengan
perjalanan waktu yang dilewatinya di beberapa pos kementerian, juga bukan
figur baru dalam jagad raya politik di Tanah Air.
Faktor-faktor
inilah yang membuat salah satu dari pasangan capres dan cawapres dalam Pemilu
Presiden 2014 akan memenuhi persyaratan konstitusional kita. Lalu, kita pun
tak perlu lagi hiruk-pikuk berdebat tentang konstitusional atau tidaknya satu
putaran atau dua putaran pemilihan presiden dan wakil presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar