Sabtu, 14 Juni 2014

Piala Dunia dan Kematian Malandro

Piala Dunia dan Kematian Malandro

Zen RS  ;   Chief editor di Pandit Football Indonesia; Novelnya ’’Jalan Lain ke Tulehu: Sepakbola & Ingatan yang Mengejar’’ baru saja terbit
JAWA POS,  12 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Jika Brasil adalah sepotong surga, sepak bola dan Piala Dunia merupakan puncak pengalaman bermain bola. Maka, Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil adalah padu padan yang kelewat sempurna untuk dilewatkan. Adakah yang lebih baik dari sepak bola yang dimainkan di tempatnya yang paling indah?

Tak ada tempat yang lebih baik untuk menikmati sepak bola selain Brasil. Di sana puncak-puncak keindahan sepak bola bisa ditemukan, bakat-bakat hebat tak pernah habis, dan seniman-seniman bola lahir tiada henti. Sepak bola bagi rakyat Brasil tak ubahnya suatu gairah, sejenis hasrat sekaligus mimpi-mimpi.

Sayangnya, Piala Dunia 2014 kali ini dibayangi perlawanan sengit dari rakyat Brasil. Protes dan perlawanan terhadap penyelenggaraan Piala Dunia datang dari berbagai kelompok dan lapisan masyarakat, dari hari ke hari, di setiap kota penyelenggara.

Perlawanan itu dipicu mahalnya biaya menjadi tuan rumah. Bayangkan, Brasil harus merogok kocek 14 miliar dolar (sekitar Rp 168 triliun). Dari mana uangnya? Tentu dari uang rakyat. Itulah yang menjadi pokok persoalan: publik marah karena uang sebegitu banyak dikeluarkan untuk Piala Dunia, sedangkan fasilitas layanan publik (pendidikan, kesehatan, transportasi, dll) masih sangat buruk.

Persoalan menjadi semakin pelik karena meruyaknya dugaan korupsi dalam proyek-proyek Piala Dunia. Sebagai contoh pembangunan Stadion Mane Garrincha yang memakan dana 900 juta dolar. Laporan terakhir menyebutkan, ada 275 juta dolar penggelembungan.

Korupsi dalam pembangunan Stadion Mane Garrincha menjadi sangat ironis karena selama ini Garrincha menjadi simbol sepak bola rakyat, sepak bola yang penuh kesenangan, sepak bola yang penuh kegembiraan, dan sepak bola sebagai kesenangan orang-orang miskin.

Garrincha merupakan simbol sepak bola sebagai olahraga rakyat. Ketika dia wafat pada 20 Januari 1983, semua penggemar sepak bola tumpah ruah ke jalanan Rio de Janeiro dan menangisi kepergian pemain yang dianggap ’’allegria de popo’’ alias ’’the joy of the people’’ itu.

Garrincha menjadi simbol sepak bola rakyat karena dua alasan. Pertama, cara bermainnya yang penuh kegembiraan, bermain menuruti hasrat yang paling alami, dan sangat artistik. Kendati kakinya bermasalah (kaki kanan lebih panjang dari kaki kiri, kaki kanan melengkung ke dalam, dan kaki kiri melengkung ke luar), dia justru menjadi penggiring bola terdahsyat dan paling alami yang pernah dilahirkan sepak bola Brasil.

Saat bola di kakinya, tak ada satu pun pemain lawan yang bisa menghentikan. Beberapa literatur menyebutkan, gaya mainnya bagaikan seekor burung kecil: lincah, terbang dengan jarak pendek namun tak terduga, diselingi lompatan-lompatan secara variatif seperti burung yang melompat dari dahan ke dahan dan semua sering dilakukan secara tak terduga dan tanpa rencana. Dengan segala keterbatasan fisik itu, dia mempersembahkan dua gelar juara dunia pada 1958 dan 1962.

Kedua, Garrincha lahir dari keluarga miskin dan akhirnya mati dalam keadaan miskin. Kendati sempat menikmati status sebagai superstar, pemain yang juga dijuluki Malaikat Berkaki Bengkok itu akhirnya kembali ke habitat masa kecilnya: tinggal di pinggiran kota, bersama orang kebanyakan yang miskin, dan jatuh dalam kecanduan alkohol.

Kegagalan hidup Garrincha membuat dia terasa wajar, humanis, dan akhirnya seperti tak berjarak sekaligus terjangkau dengan kebanyakan orang Brasil yang mencintai sepak bola. Mati dalam keadaan miskin di perkampungan kumuh pinggiran kota justru membuat Garrincha benar-benar mewakili alam sepak bola Brasil.

Nama-nama seperti Garrincha, Pele, sampai nama-nama yang muncul belakangan seperti Romario, Ronaldo, Ronaldinho, dan lain-lain umumnya lahir dari kampung-kampung kumuh di pinggiran kota yang biasa disebut favela. Itumerujuk pada perkampungan miskin dan kumuh di punggung-punggung bukit di pinggiran kota. Jika kompleks-kompleks perumahan orang kaya biasanya berada tak jauh dari pantai, orang-orang dari kelas menengah ke bawah di Brasil lebih banyak tinggal di favela-favela.

Di favela itulah lahir cerita rakyat mengenai malandro. Sosok malandro adalah anak laki-laki yang dibayangkan sebagai budak yang baru dibebaskan dari tuannya (Brasil menghapus perbudakan pada 1888). Dia punya ciri sebagai bocah yang riang, lincah, serta penuh trik dan tipu daya. Dia tinggal bersama ibunya. Dia menjaga dan melindungi ibu serta adik-adiknya. Dengan segala kemampuannya, dia mencari makan dan menghidupi keluarganya, entah dengan mencuri di pasar atau mengakali orang-orang kaya laiknya Robin Hood. Jika dikejar polisi atau tukang pukul orang-orang kaya, bocah malandro akan dengan sangat fasih meliuk-liuk di lorong-lorong kota dan dengan penuh trik sanggup meloloskan diri.

Rakyat Brasil percaya, jiwa malandro itulah yang menitis pada bocah-bocah dengan bakat sepak bola yang luar biasa. Orang seperti Garrincha, bagi rakyat Brasil, adalah contoh sempurna sosok malandro. Dalam alam pikiran seperti itu, kelihaian menggocek bola melewati para pemain lawan sejalan dengan kelihaian menghindari kejaran polisi. Ada paralelisme antara trik melewati tackling para bek di lapangan hijau dengan kecerdikan untuk bertahan hidup dalam kehidupan riil dan sulit di favela. Itulah malandro.

Karena itu, menjadi menyedihkan ketika terbetik berita anak-anak jalanan dan kaum miskin dari kota-kota yang menjadi penyelenggara Piala Dunia justru diusir. Bau tak sedap semakin kencang setelah Mikkel Johnson, seorang wartawan Denmark, melaporkan penculikan dan pembunuhan anak-anak jalanan. Dia menulis: ’’Mereka sering diculik dan dibunuh ketika tidur di daerah yang banyak wisatawan berkunjung ke sana. Mengapa hal itu dilakukan? Tentu saja dalam rangka untuk membuat kota terlihat bersih bagi orang asing dan pers internasional.’’

Itu merupakan pengingkaran yang telak terhadap sejarah sepak bola Brasil yang akarnya justru menancap dalam kehidupan kaum miskin kota, di favela-favela dan sosok-sosok malandro. Menggusur dan mengusir kaum miskin kota serta menculik apalagi membunuh anak jalanan adalah pengingkaran terhadap sejarah panjang sepak bola Brasil yang termasyhur justru karena sosok-sosok malandro semacam Garrincha.

Seperti itulah wajah Piala Dunia 2014. Dengan agak sedikit sedih, mari kita ucapkan: Selamat datang Piala Dunia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar