Piala
Dunia dan Kematian Malandro
Zen
RS ; Chief editor di Pandit Football Indonesia;
Novelnya ’’Jalan Lain ke Tulehu: Sepakbola & Ingatan yang Mengejar’’ baru
saja terbit
|
JAWA
POS, 12 Juni 2014
Jika
Brasil adalah sepotong surga, sepak bola dan Piala Dunia merupakan puncak
pengalaman bermain bola. Maka, Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil adalah
padu padan yang kelewat sempurna untuk dilewatkan. Adakah yang lebih baik
dari sepak bola yang dimainkan di tempatnya yang paling indah?
Tak ada
tempat yang lebih baik untuk menikmati sepak bola selain Brasil. Di sana
puncak-puncak keindahan sepak bola bisa ditemukan, bakat-bakat hebat tak
pernah habis, dan seniman-seniman bola lahir tiada henti. Sepak bola bagi
rakyat Brasil tak ubahnya suatu gairah, sejenis hasrat sekaligus mimpi-mimpi.
Sayangnya,
Piala Dunia 2014 kali ini dibayangi perlawanan sengit dari rakyat Brasil.
Protes dan perlawanan terhadap penyelenggaraan Piala Dunia datang dari
berbagai kelompok dan lapisan masyarakat, dari hari ke hari, di setiap kota
penyelenggara.
Perlawanan
itu dipicu mahalnya biaya menjadi tuan rumah. Bayangkan, Brasil harus merogok
kocek 14 miliar dolar (sekitar Rp 168 triliun). Dari mana uangnya? Tentu dari
uang rakyat. Itulah yang menjadi pokok persoalan: publik marah karena uang
sebegitu banyak dikeluarkan untuk Piala Dunia, sedangkan fasilitas layanan
publik (pendidikan, kesehatan, transportasi, dll) masih sangat buruk.
Persoalan
menjadi semakin pelik karena meruyaknya dugaan korupsi dalam proyek-proyek
Piala Dunia. Sebagai contoh pembangunan Stadion Mane Garrincha yang memakan
dana 900 juta dolar. Laporan terakhir menyebutkan, ada 275 juta dolar
penggelembungan.
Korupsi
dalam pembangunan Stadion Mane Garrincha menjadi sangat ironis karena selama
ini Garrincha menjadi simbol sepak bola rakyat, sepak bola yang penuh
kesenangan, sepak bola yang penuh kegembiraan, dan sepak bola sebagai
kesenangan orang-orang miskin.
Garrincha
merupakan simbol sepak bola sebagai olahraga rakyat. Ketika dia wafat pada 20
Januari 1983, semua penggemar sepak bola tumpah ruah ke jalanan Rio de
Janeiro dan menangisi kepergian pemain yang dianggap ’’allegria de popo’’ alias ’’the
joy of the people’’ itu.
Garrincha
menjadi simbol sepak bola rakyat karena dua alasan. Pertama, cara bermainnya
yang penuh kegembiraan, bermain menuruti hasrat yang paling alami, dan sangat
artistik. Kendati kakinya bermasalah (kaki kanan lebih panjang dari kaki
kiri, kaki kanan melengkung ke dalam, dan kaki kiri melengkung ke luar), dia
justru menjadi penggiring bola terdahsyat dan paling alami yang pernah
dilahirkan sepak bola Brasil.
Saat
bola di kakinya, tak ada satu pun pemain lawan yang bisa menghentikan.
Beberapa literatur menyebutkan, gaya mainnya bagaikan seekor burung kecil:
lincah, terbang dengan jarak pendek namun tak terduga, diselingi
lompatan-lompatan secara variatif seperti burung yang melompat dari dahan ke
dahan dan semua sering dilakukan secara tak terduga dan tanpa rencana. Dengan
segala keterbatasan fisik itu, dia mempersembahkan dua gelar juara dunia pada
1958 dan 1962.
Kedua,
Garrincha lahir dari keluarga miskin dan akhirnya mati dalam keadaan miskin.
Kendati sempat menikmati status sebagai superstar, pemain yang juga dijuluki
Malaikat Berkaki Bengkok itu akhirnya kembali ke habitat masa kecilnya:
tinggal di pinggiran kota, bersama orang kebanyakan yang miskin, dan jatuh
dalam kecanduan alkohol.
Kegagalan
hidup Garrincha membuat dia terasa wajar, humanis, dan akhirnya seperti tak
berjarak sekaligus terjangkau dengan kebanyakan orang Brasil yang mencintai
sepak bola. Mati dalam keadaan miskin di perkampungan kumuh pinggiran kota
justru membuat Garrincha benar-benar mewakili alam sepak bola Brasil.
Nama-nama
seperti Garrincha, Pele, sampai nama-nama yang muncul belakangan seperti
Romario, Ronaldo, Ronaldinho, dan lain-lain umumnya lahir dari
kampung-kampung kumuh di pinggiran kota yang biasa disebut favela. Itumerujuk
pada perkampungan miskin dan kumuh di punggung-punggung bukit di pinggiran
kota. Jika kompleks-kompleks perumahan orang kaya biasanya berada tak jauh
dari pantai, orang-orang dari kelas menengah ke bawah di Brasil lebih banyak
tinggal di favela-favela.
Di
favela itulah lahir cerita rakyat mengenai malandro. Sosok malandro adalah
anak laki-laki yang dibayangkan sebagai budak yang baru dibebaskan dari
tuannya (Brasil menghapus perbudakan pada 1888). Dia punya ciri sebagai bocah
yang riang, lincah, serta penuh trik dan tipu daya. Dia tinggal bersama
ibunya. Dia menjaga dan melindungi ibu serta adik-adiknya. Dengan segala
kemampuannya, dia mencari makan dan menghidupi keluarganya, entah dengan
mencuri di pasar atau mengakali orang-orang kaya laiknya Robin Hood. Jika
dikejar polisi atau tukang pukul orang-orang kaya, bocah malandro akan dengan
sangat fasih meliuk-liuk di lorong-lorong kota dan dengan penuh trik sanggup
meloloskan diri.
Rakyat
Brasil percaya, jiwa malandro itulah yang menitis pada bocah-bocah dengan
bakat sepak bola yang luar biasa. Orang seperti Garrincha, bagi rakyat
Brasil, adalah contoh sempurna sosok malandro. Dalam alam pikiran seperti
itu, kelihaian menggocek bola melewati para pemain lawan sejalan dengan
kelihaian menghindari kejaran polisi. Ada paralelisme antara trik melewati
tackling para bek di lapangan hijau dengan kecerdikan untuk bertahan hidup
dalam kehidupan riil dan sulit di favela. Itulah malandro.
Karena
itu, menjadi menyedihkan ketika terbetik berita anak-anak jalanan dan kaum
miskin dari kota-kota yang menjadi penyelenggara Piala Dunia justru diusir.
Bau tak sedap semakin kencang setelah Mikkel Johnson, seorang wartawan
Denmark, melaporkan penculikan dan pembunuhan anak-anak jalanan. Dia menulis:
’’Mereka sering diculik dan dibunuh
ketika tidur di daerah yang banyak wisatawan berkunjung ke sana. Mengapa hal
itu dilakukan? Tentu saja dalam rangka untuk membuat kota terlihat bersih
bagi orang asing dan pers internasional.’’
Itu
merupakan pengingkaran yang telak terhadap sejarah sepak bola Brasil yang
akarnya justru menancap dalam kehidupan kaum miskin kota, di favela-favela
dan sosok-sosok malandro. Menggusur dan mengusir kaum miskin kota serta
menculik apalagi membunuh anak jalanan adalah pengingkaran terhadap sejarah
panjang sepak bola Brasil yang termasyhur justru karena sosok-sosok malandro
semacam Garrincha.
Seperti
itulah wajah Piala Dunia 2014.
Dengan agak sedikit sedih, mari kita ucapkan: Selamat datang Piala Dunia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar