Sabtu, 14 Juni 2014

Pelajaran dari Tehran dan New Jersey

Pelajaran dari Tehran dan New Jersey

J Susanto  ;   Pengajar FISIP Universitas Airlangga,
Ketua pemangku Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair
JAWA POS,  11 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MEMASUKI kuartal kedua 2005, Ahmadinejad belum genap dua tahun menjabat wali kota Teheran ketika maju menjadi calon presiden kelompok konservatif dalam pemilihan presiden Iran. Padahal, menurut sumpahnya, Ahmadinejad masih harus menjabat wali kota Teheran untuk beberapa tahun lagi.

Jauh sebelum itu, Wodrow Wilson –satu di antara sedikit presiden Amerika Serikat yang dihormati pendiri bangsa kita– menjabat gubernur New Jersey, bahkan dalam waktu yang lebih pendek. Ketika itu, 98 tahun silam, Woodrow Wilson juga maju menjadi calon presiden AS dari Partai Demokrat dengan masa bakti gubernur yang singkat.

Menariknya, bangsa Iran maupun rakyat Negeri Paman Sam tidak begitu mempermasalahkan mantan wali kota dan mantan gubernur tersebut. Tidak santer terdengar upaya warga Teheran untuk membawa Ahmadinejad ke pengadilan karena itu. Tidak juga tercatat isu yang menyudutkan Woodrow Wilson dengan tuduhan lari dari tanggung jawab dalam pemilu tersebut. Rakyat Iran tetap memilih Ahmadinejad. Demikian pula rakyat AS tetap memilih Wilson.

Mengapa warga Teheran dan New Jersey dapat merelakan keduanya menjadi kepala negara Mengapa orang yang tengah mengemban mandat kepemimpinan suatu wilayah dibenarkan maju dalam kontestasi kepemimpinan nasional Apa yang membuatnya berbeda dengan ’’lari dari tanggung jawab’’ pada umumnya

Pertarungan Dua Mantra

Belajar dari pengalaman Iran dan AS itu, kita diingatkan oleh pertarungan dua mantra kontrak sosial versus kehendak umum. Pertama, kontrak sosial yang berarti kekuasaan sebagai fungsi kesepakatan pemerintah dan warga. Kedua, kehendak umum yang berarti kekuasaan sebagai fungsi kepentingan kolektif haruslah di atas kepentingan privat, kelompok, dan kepentingan lokal. Dalam bahasa masyarakat Indonesia, kepentingan yang lebih besar harus mengalahkan kepentingan yang lebih kecil. Kepentingan nasional harus di atas kepentingan lokal atau daerah.

Politisi dan teoretisi politik di dunia mengenal dua mantra itu. Tetapi, boleh jadi tidak manakala pengupayaan serentak atas keduanya tidak mungkin dicapai. Namun, kebesaran hati warga Teheran dan New Jersey dalam kasus Ahmadinejad dan Wodroow Wilson sedikit mengurai kerumitan ini.

Saya pun percaya, warga Teheran maupun New Jersey awalnya berharap dua pemimpin yang telah mengikat sumpah itu menyelesaikan masa baktinya. Bagi mereka, tuntasnya masa jabatan merupakan kontrak sosial yang penting.

Tetapi, masyarakat Iran berpikir lebih luas. Terpikat oleh kesederhanaan, kelugasan, dan fokus Ahmadinejad dalam memimpin Kota Teheran, rakyat Iran yang bosan dengan sikap serbatanggung kepemimpinan sebelumnya justru mendorong Wali Kota Ahmadinejad maju dalam kontestasi kepresidenan.

Hal yang mungkin serupa ditunjukkan rakyat AS. Meskipun menyukai gaya heroik Theodore Roosevelt, mereka menyambut pencalonan Woodrow Wilson yang tenang, tapi tegas dan tanpa kompromi terhadap monopoli serta lebih mengutamakan kepentingan umum dalam program-program reformasi ekonomi.

Pada titik ini, pelajaran penting terkait dengan hierarki prioritas dalam demokrasi mengemuka. Yakni, dalam situasi pemimpin populer terikat kontrak sosial di tingkat yang lebih rendah, penentunya adalah kehendak umum yang lebih tinggi.

Persoalannya, kehendak umum lebih tinggi yang otoritatif dalam praktiknya tidak tersedia sebelum pemilihan nasional menentukannya. Lantas, bagaimana promosi seseorang yang masih terikat kontrak sosial lebih rendah dalam kontestasi kepemimpinan yang lebih tinggi menemukan dasarnya

Banyak pihak yang menyuarakan perlunya hasil nyata sebagai prasyarat bagi kelayakannya. Tetapi, dalam politik, soal hasil itu sering persepsional, sedangkan arti pentingnya sering bersifat instrumental. Artinya, kinerja di tingkat lokal dalam beberapa situasi cukup berperan sebagai instrumen untuk melihat apakah seseorang layak mendapat tugas yang lebih besar atau tidak.

Dengan kata lain, begitu serangkaian kinerja awal telah meyakinkan publik akan konsistensi keberpihakan dan kecukupan kualitas pribadinya dalam kaitan aspirasi dan kebutuhan yang lebih tinggi, kontestasinya dalam bursa kepemimpinan yang lebih tinggi bukan barang haram dalam demokrasi. Secara teoretis, itu merupakan bagian dari sistem promosi demokrasi. Sejumlah pemimpin berkualitas didorong menjawab tantangan yang lebih tinggi. Sementara itu, tanggung jawab yang ditinggalkannya diharapkan dapat membuka peluang bagi regenerasi baru yang lebih segar.

Tetapi, lebih dari sekadar promosi demokrasi, sebuah panggilan umum terkait dengan sesuatu yang lebih besar dan mengatasi kepentingan-kepentingan kelompok suatu negeri, tampaknya, operatif dalam penentuan dasar etis ini.

Fokus Panggilan Besar

Belajar dari pengalaman Teheran dan New Jersey, dasar rekontestasi itu secara etis tersedia melalui bertemunya persepsi umum terkait dengan kebutuhan nasional dengan kualitas kepemimpinan seseorang dalam kaitannya. Hukum etis pertemuan itu berlaku universal. Tidak memandang apakah yang bersangkutan adalah seorang pemimpin partai politik, pengangguran, atau kepala daerah yang tengah menjabat. Dalam hukum etis pertemuan ini pula Ahmadinejad dan Wilson memperoleh promosi awal untuk memimpin di tingkat nasional.

Dalam kaitan itu, promosi seseorang yang terikat kontrak sosial tidak selalu berarti pengkhianatan dalam demokrasi. Sebaliknya, dalam situasi yang memenuhi ’’panggilan besar’’, promosi seorang pejabat publik ke jenjang yang lebih tinggi merupakan bagian dari etis ijtihad kelompok dalam khidmat publik yang lebih tinggi.

Kendati memuat elemen-elemen dasar yang khas, sistem politik kita tidak bekerja di luar nalar umum sistem politik modern ini. Jika di banyak negara kontrak sosial dari unit politik lebih rendah dapat menghormati upaya-upaya untuk menjawab kehendak umum yang lebih besar, begitu pula seyogianya sistem politik kita.

Seperti halnya Teheran dan New Jersey yang masih menjadi bagian dari Iran dan AS, Jakarta masih menjadi bagian dari Indonesia. Karena itu, upaya gubernur DKI Jakarta untuk maju berkontestasi demi memenuhi kehendak umum rakyat Indonesia tidak seyogianya dipertentangkan dengan kewajibannya memenuhi kehendak umum warga Jakarta.

Memang, kepatutan promosi vertikal yang berkhidmat panggilan besar membutuhkan ’’prasyarat antara’’. Yakni, di satu sisi harus steril dari ambisi pribadi dan avonturisme kelompok serta di sisi lain harus relevan dengan kebutuhan paling krusial bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar