Pengalaman
Menutup Lokalisasi Nguwok, Lamongan
HR
Mohammad Faried ; Bupati Lamongan Periode 1989-2000
|
JAWA
POS, 11 Juni 2014
RENCANA
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup lokalisasi Dolly perlu
diapresiasi. Ini untuk membuat kesan bahwa Surabaya bukan lagi kota pusat
lokalisasi PSK terbesar di Asia Tenggara. Namun, yang perlu diingat, jangan
sampai penutupan lokalisasi hanya akan mengalihkan masalah.
Ketika
wali kota Surabaya ”mengekspor” mucikari dengan PSK-nya ke daerah lain,
seakan-akan masalah lokalisasi di Surabaya bisa diselesaikan. Namun, untuk
daerah lain hal itu menjadi masalah baru. Sebab, tidak tertutup kemungkinan
hal itu akan menimbulkan mutasi mucikari dan PSK secara besar-besaran .
Ada
pengalaman menarik yang terjadi kurang lebih 21 tahun lalu, ketika Pemerintah
Kabupaten Lamongan menutup lokalisasi Nguwok, Kecamatan Modo, Lamongan.
Tepatnya pada 31 Desember 1993. Penutupan itu dideklarasikan oleh ketua
Peguyuban Mucikari Lokalisasi Nguwok itu sendiri.
Memang
prosesnya tidaklah sederhana. Namun, dengan konsep yang tepat dan dengan
bekerja sama semua elemen pemerintahan, LSM dan tokoh-tokoh agama, penutupan
lokalisasi prostitusi di Lamongan dapat berjalan tanpa menimbulkan masalah
sosial maupun masalah ekonomi di lingkungan setempat. Fokus perhatian
Pemerintah Daerah Lamongan ketika itu ditujukan kepada mucikarinya. Berbagai
pendekatan agama, kemasyarakatan, dan ekonomi dilakukan dengan cermat.
Masalah
ekonomi diakui pemerintah sebagai hal yang paling krusial karena para
mucikari mayoritas tidak berpendidikan. Awalnya di antara mereka ada yang
menjadi petani, pedagang, dan sebagainya. Dari hasil pendekatan intensif
pemkab dan jajarannya, akhirnya timbul niat alih profesi. Kemudian, dilakukan
inventarisasi keinginan para mucikari yang saat itu berjumlah 62 orang. Ada
beberapa jenis usaha yang ingin dilakukan, antara lain membuka usaha toko,
rumah makan, penggilingan padi, dan servis motor. Ada pula yang ingin kembali
ke usaha pertanian.
Setelah
inventarisasi keinginan para mucikari, dilakukan pelatihan oleh pihak-pihak
yang ahli di bidangnya. Yang tidak diduga sebelumnya adalah muncul keinginan
mucikari untuk menjual aset miliknya, yakni kompleks lokalisasi, kepada
bupati Lamongan. Hasil penjualan kompleks tersebut akan digunakan sebagai
modal usaha.
Keinginan
mucikari itu disetujui bupati atas persetujuan DPRD Lamongan dengan beberapa
syarat. Pertama, uang ganti rugi tersebut haram digunakan untuk membuka usaha
prostitusi di tempat lain. Kedua, pemkab memberikan bimbingan dan
pendampingan dalam mewujudkan alih profesi sesuai keinginan para mucikari.
Ketiga, pengurus peguyuban mucikari wajib menutup sendiri kompleks lokalisasi
tersebut.
Atas
kesepakatan itu, proses penutupan lokalisasi pun dimulai. Namun, syarat
terakhir yang diminta Pemda Lamongan di atas hampir menggagalkan proses
penutupan yang sudah berjalan tiga tahun sebelumnya (1990-1993). Begitu kuat
hambatan yang harus dihadapi para mucikari karena mereka harus berhadapan
dengan jaringan yang begitu luas.
Setelah
lokalisasi ditutup, pekerjaan Pemkab Lamongan belum selesai. Di samping
memberikan bimbingan dan pendampingan kepada para mucikari untuk beralih
profesi, ada dampak lingkungan yang masih menjadi pekerjaan rumah. Selain
terhadap PSK-nya sendiri, masyarakat yang biasanya memperoleh manfaat dari
lokalisasi perlu mendapat perhatian. Pemilik warung, toko, hingga penjual
jamu akhirnya menganggur setelah lokalisasi itu ditutup.
Pemkab
Lamongan kemudian menjadikan lokalisasi tersebut sebagai pasar hewan yang
cukup potensial. Bahkan, pasar hewan ini dapat menyuplai sapi ke Jakarta dan
kota-kota besar lain, kurang lebih 1.000 ekor setiap tahun.
Problem
yang belum tuntas adalah membina PSK. Sebab, para PSK tersebut kemudian
menyebar dan dikelola oleh mucikari di daerah lain. Dari pengalaman ini dapat
dikatakan bahwa menutup lokalisasi itu relatif lebih mudah sepanjang
pemerintah mampu berinteraksi dengan para mucikari di tempat tersebut. Yang
sulit adalah memberikan kebijakan kepada para mucikari dan PSK serta
masyarakat di sekitar lokalisasi.
Karena
itu, tidak tertutup kemungkinan ketika Dolly di Surabaya berhasil ditutup,
Dolly-Dolly di kota lain akan tumbuh subur. Sebab, mucikari-mucikari di daerah
lain tetap membuka pintu bagi para PSK.
Namun,
kita semua tidak boleh berkecil hati. Bila seluruh jajaran pemerintah,
tokoh-tokoh agama, dan praktisi-praktisi LSM bersatu padu menyelesaikan
masalah ini, bukan tidak mungkin kegiatan prostitusi di Indonesia tercinta
ini akan habis. Sekurang-kurangnya akan terjadi pengurangan secara
besar-besaran, karena memang akibat buruk prostitusi jauh lebih besar
daripada manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar