Menyemai
Pendidikan Nirkekerasan
Agus
Wibowo ; Magister Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta,
Penulis buku Malpraktik Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juni 2014
SEKOLAH idealnya menjadi tempat
yang aman dan nyaman bagi anak didik. Selain sebagai rumah kedua, di sekolah
anak didik bisa menjalani proses pendidikan dan pemupukan aneka potensi
mereka dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Para orangtua pun bisa
menitipkan anak-anak mereka tanpa takut sang buah hati tersakiti atau
terampas keceriaannya. Namun, harapan itu akhir-akhir ini sirna. Alih-alih
semakin mendewasakan dan membentuk karakter luhur anak didik, proses
pendidikan di sekolah justru menjadi tempat eksekusi dan perampas keceriaan
mereka.
Lihat saja kasus kekerasan
seksual di Jakarta International School
(JIS) belum lama ini, kemudian pelecehan seksual di SMAN 22 Jakarta dan SD
negeri di Depok yang dilakukan guru. Sementara itu, kekerasan fisik terjadi di
salah satu SD negeri di Tanjung Priok, Jakarta, yang juga dilakukan guru.
Kasus-kasus kekerasan terhadap
anak baik di sekolah ataupun di luar, menurut Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI, 2014), mengalami peningkatan lebih dari 20% pada 2013.
Sementara itu, hasil survei KPAI di sembilan provinsi, yaitu Sumatra Barat, Lampung,
Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan
Timur, dengan total responden 1.026 siswa, menyebutkan masih tingginya tindak
kekerasan pada anak didik.
Mengapa kekerasan terhadap anak
didik masih terus terjadi di sekolah? Bagaimana sebaiknya para pemangku
pendidikan memutus ‘mata rantai’ kekerasan terhadap anak didik?
Disorientasi?
Menurut WHO (2000), kekerasan
berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang salah. Kekerasan
terhadap anak (child abuse) dan neglect ialah tindakan melukai berulang-ulang
secara fisik ataupun emosional anak melalui desakan hasrat, hukuman badan
yang tak terkendali, degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.
Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan bisa berbentuk kekerasan
fisik, psikologis, verbal, emosi, dan sosial.
Kekerasan dalam pendidikan lebih
sering terjadi pada unsur utama, yakni pelaku pendidikan. Kekerasan itu
bersifat horizontal, individu vis a vis
individu yang lain. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada
unsur selain pelaku utama pendidikan. Kekerasan itu mewujud dalam kerangka,
pranata, dan kurikulum pendidikan. Kekerasan itu bersifat vertikal karena
melibatkan negara melalui aparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat (Francis Wahono, 2003).
Tingginya angka kekerasan pada
anak di sekolah sampai awal 2014 mengindikasikan disorientasi pendidikan
kita. Padahal, jauh hari para bapak bangsa memiliki ancangan luhur bahwa
pendidikan hendaknya menjadi sarana humanisasi bagi anak didik. Pendidikan
bangsa hendaknya menempa anak didik menjadi pribadi yang santun, beretika,
dan berkarakter luhur. Melalui pendidikan, anak didik menjadi terbimbing,
tercerahkan, dan tabir ketidaktahuannya terbuka sehingga mereka mampu
menjalani proses humanisasi. Pendek kata, para bapak bangsa dahulu tidak saja
menggaransikan keluaran pendidikan berupa manusia sejati, tetapi juga sosok
yang kaya akan visi humanisme dalam kerangka kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Data-data kekerasan yang terus
bertambah menegaskan pendidikan kita belum mampu menjadi wahana humanisasi
bagi anak didik. Pendidikan kita yang mestinya menjadi ruang menyemai
humanisasi malah menjadi wahana melanggengkan kekerasan (bullying) dan ketidakmanusiawian terhadap anak didik. Sekolah
laksana ajang para gladiator mempertontonkan kekerasan otot yang menyebabkan
satu per satu anak bangsa gugur sia-sia. Guru yang mestinya menjadi orangtua
kedua justru menjadi jagal-jagal kejam atau para eksekutor bengis yang
merampas keceriaan bahkan nyawa anak didik. Ironis sekali!
Lebih parah lagi, kekerasan atas
nama pendidikan tidak hanya terjadi di tingkat dasar tetapi juga di perguruan
tinggi (PT) kedinasan milik negara. Kematian taruna tingkat I Dimas Dikita
Handoko, Ju mat (25/4), menjadi indikasinya. Menurut Ketua STIP Jakarta
Kapten Rudiana, kejadian tersebut sebenarnya sudah pernah terjadi pada 2008. Kasus
serupa sebelumnya pernah terjadi di perguruan tinggi ke dinasan DLLAJ dan
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Penyebab penganiayaan para taruna
itu sebagian besar hanya kesalahan ringan dan sepele. Misalnya karena korban melakukan kesalahan pada saat
latihan membawa bendera pusaka, tidak mengenakan atribut seragam, tidak
mengenakan topi, dan terlambat masuk kelas.
Kekerasan di PT kedinasan, tulis
Agus Wibowo (2010), di sebabkan belum tertatanya sistem kurikulum yang
humanis serta masih kentalnya budaya militeristis; terutama menyangkut
kedisiplinan. Hal senada juga pernah dikeluhkan Prof Ryas Rasyid (2010). Bahkan
menurut Ryas Rasyid, jika kurikulum PT kedinasan tidak dirombak, sebai knya
lembaga pendidikan pemerintah itu ditutup agar tidak menimbulkan korban baru.
Lebih dari itu, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja di berbagai
bidang. Itu karena animo orangtua menyekolahkan putra putrinya ke PT
kedinasan bukan karena mutu pendidikannya, melainkan karena jami nan
pekerjaan setelah lulus nanti.
Sebagaimana Ryas Rasyid, Inu
Kencana (2010) juga meng kritisi kurikulum di PT kedinasan. Menurut Inu,
pendekatan dan kurikulum di perguruan tinggi kedinasan perlu diubah.
Pendekatan sistem perguruan tinggi memang cocok dalam pendidikan kemiliteran;
karena militer butuh kekompakan dan ketaatan pada perintah. Akan tetapi, bagi
perguruan tinggi kedinasan, pendekatan itu sangat tidak sesuai. Pasalnya,
yang akan dilayani lulusan perguruan tinggi kedinasan adalah masyarakat
sipil.
Hentikan kekerasan
Kekerasan dalam pendidikan kita
lebih sering terjadi karena kurikulum yang keliru. Anak didik menjadi objek
langsung dari kurikulum yang didukung kerangka dan pranata pendidikan.
Pendekatan pendidikan yang digunakan para guru lebih sering bersifat top down dan mendikte. Pendekatan
seperti itu berasumsi bahwa guru sebagai pusat kebenaran dan pengetahuan
lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat dibantah. Sistem pendidikan
model itu sebenarnya cocok dalam dunia militer, dengan disiplin seragam,
ketat ideologi, dan taat perintah tanpa boleh banyak bertanya.
Kekerasan dalam pendidikan harus
dihentikan. Sudah saatnya para guru dan stakeholder pendidikan memahami bahwa
esensi dasar pendidikan ialah wahana humanisasi anak didik melalui
pembentukan jati diri dan perilaku dalam koridor kognitif (kecerdasan),
afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku). Sekolah yang dikelola secara
humanis, nirkekerasan, tanpa eksploitasi, dan pelaksanaan disiplin yang tidak
kaku akan menciptakan iklim budaya yang nyaman. Sekolah dengan budaya yang
demikian akan melahirkan anak didik yang kaya akan perspektif humanisasi di samping
berkarakter, bukan mereka yang berin gas lantaran diedukasi dengan kekerasan.
Sudah saatnya pemerintah,
pemangku kepentingan, dan masyarakat bekerja sama memperbaiki pendidikan kita
terpenting perguruan tinggi kedinasan. Benar perguruan tinggi kedinasan masih
dibutuhkan untuk mendidik pamong praja yang profesional di bidangnya, tetapi
bukan dengan sistem yang kental kekerasan. Mestinya, proses pendidikan
dibentuk dalam kultur yang humanis atau bottom
up. Kedisiplinan memang penting, bahkan harus lebih ditingkatkan karena
itu merupakan kunci dari kesuksesan. Akan tetapi, disiplin bukan
diterjemahkan sebagai alur top down
yang sangat kaku. Pola seperti itu hanya akan membahayakan keselamatan para
taruna.
Menurut banyak ahli pendidikan,
kekerasan akan terus terulang selama mata rantainya tidak secara bertahap dan
komprehensif dihilangkan. Menurut Doni Koesuma (2014), kekerasan lebih sering
terjadi karena selama ini belum ada sinergi antara KPAI, Kemendibud, dan
dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Padahal, kerja sama dan sinergi lintas
sektoral diperlukan agar perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan tidak
terjadi lagi.
Para pengawas sekolah diharapkan
lebih jeli dan lebih sering turun ke lapangan. Meminjam istilah Hamrin
(2010), pengawas sekolah jangan hanya datang, duduk, periksa administrasi,
dan mencari kesalahan. Pengawas harus menjadi mitra efektif kepala sekolah
sekaligus ikut menjamin tidak terjadinya tindak kekerasan. Tidak kalah
pentingnya masyarakat, termasuk wali murid dan komite sekolah, harus
berpartisipasi mengontrol sekolah agar berjalan bagus, bermakna, sejalan
dengan prinsip pendidikan, dan terbebas dari kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar