Selasa, 17 Juni 2014

Menjadi Mahasiswa Ideal

Menjadi Mahasiswa Ideal

Saratri Wilonoyudho  ;   Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HARIAN ini memuat berita tentang anak tukang becak yang menjadi wisudawan terbaik Universitas Negeri Semarang (Unnes) tahun 2014 (SM, 11/6/14). Banyak kisah mengenai anak orang miskin yang berhasil seperti dia.

Namun kita tentu harus tetap kritis, apakah yang disebut mahasiswa ideal itu adalah mereka yang suntuk mencari dan mengembangkan ilmu, serta bukan sekadar mencari ijazah? Sadarkah para (calon) mahasiswa bahwa yang dihadapi bangsa ini tidak main-main? Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph E Stiglitz (2007) mengatakan globalisasi banyak merugikan negara-negara berkembang karena ada ketimpangan informasi. Ia mengatakan, sedikit saja ketidaksempurnaan informasi dapat berdampak besar terhadap ekonomi.

Resep IMF kepada Indonesia misalnya, tidak mampu menyelesaikan permasalahan karena resep itu tidak benar dan tidak berdasarkan kondisi nyata.

Dalam bukunya, Making Globalization Work (2006), Stiglitz juga mengatakan, kelemahan resep-resep IMF atau Bank Dunia di Indonesia adalah kurangnya perhatian pada keadilan, lapangan kerja, dan kompetisi untuk menjalankan reformasi ekonomi. Dari sejumlah persoalan besar tersebut, pendidikan di Indonesia diharapkan bisa menyumbangkan peran untuk ikut memikirkan dan menghasilkan lulusan yang dapat mengatasi masalah itu.

Mestinya kaum intelektual, terutama lulusan perguruan tinggi bisa menjadi pelopor untuk hal-hal berikut ini. Pertama; mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban. Kedua; mendukung diseminasi nilai keunggulan. Ketiga; mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan.

Keempat; menumbuhkembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Singkatnya, dunia pendidikan tinggi harus menciptakan peluang bagi pembudayaan individu supaya kapasitasnya berkembang, terutama berkaitan dengan ”pemerdekaan” dari ”kebudayaan bisu”. Paulo Freire (1972) bahkan meyakini kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan rakyat miskin, dan sebagainya lebih disebabkan oleh sistem dominasi ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam pentas suprastruktur yang lebih global, misalnya dalam sistem kapitalisme dunia, yang terjadi juga ketimpangan yang lebih besar, yang menembus batas antarnegara. Sistem sosial seperti itu tentunya berimbas ke sistem persekolahan dan dunia pendidikan tinggi pada umumnya.

Kekalahan itu bermakna bahwa ketiadaan pengetahuan dan keterampilan yang cukup (akibat jeleknya sistem pendidikan) membawa ketimpangan sosial yang makin tajam. Andai benar permasalahan utama bangsa ini adalah kemeredupan etos kerja maka dunia pendidikan harus mampu menggagas kurikulum yang sanggup membangkitkan etos kerja bangsa.

Revolusi Industri di Eropa Barat pun lahir berkat semangat itu, demikian pula Jepang. Memuncaknya teori Max Weber tentang etika dan ”Renaissance” yang didasarkan pada etos virtu atau excellence dalam segala bidang kehidupan. Perguruan tinggi mestinya sanggup menyuntikkan modal-modal sosial, seperti semangat, hemat, disiplin, rajin, dan sebagainya.

Modal-modal sosial tersebut terus dipompakan dan dikembangkan ke dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Kehidupan modern terus dikembangkan dengan dasar peningkatan kinerja, kebudayaan akademis, dan asketisme intelektual, kesemuanya dimuarakan kepada semangat untuk inovasi dan etos kerja yang tinggi untuk memperoleh self-fulfillment.

Nilai Historis

Dapatkah dunia pendidikan tinggi kita menghasilkan manusia-manusia kreatif? Kelemahan pendidikan di negeri ini, terutama datang dari konsep yang tidak jelas. Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum kreatifaktif- menyenangkan misalnya, yang diteriakkan keras-keras, justru dihancurkan sendiri oleh sistem ujian nasional (UN) yang hanya menawarkan soal pilihan ganda. Apalagi dana untuk pendidikan juga minim.

Sudah miskin konsep, miskin dana lagi. Padahal dengan dana melimpah pun, andai tanpa konsep tidak bakal menghasilkan pendidikan bermutu. Jadi, berakarnya masalah kependidikan di negara-negara berkembang berkaitan dengan faktor sosiologis, sejarah, dan budaya. Ini artinya bila kita ingin mengembangkan pembaruan pendidikan yang menghasilkan pemecahan nyata dan berdampak luas maka pengembangan ilmu kependidikan yang khas yang berkaitan dengan ilmu lain mutlak dilakukan.

Perguruan tinggi harus sadar didesain demi pembangunan manusia dan pembangunan nasional yang bermartabat. Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan penyumbang ilmu dan teknologi bagi masyarakat. Ia bukan ”pabrik sarjanaî, bukan sebatas menerima sebanyak mungkin mahasiswa, atau membangun fasilitas fisik, namun universitas yang bersifat luwes dan tidak terdikte oleh kebutuhan pasar belaka.

Perguruan tinggi mestinya lembaga pendidikan yang juga merupakan bagian dari kebudayaan bangsa, dan tidak terlepas dari nilai-nilai historis sebagai sumber identitas dan kesatuan nasional. Kurikulum tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun juga yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian, dan kemandirian. Budaya keterbukaan, kejujuran dan berorientasi kepada pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya.

Sudahkah para (calon) mahasiswa memiliki tekad ini? Sudahkah sejak pendidikan dasar kita menyiapkan mental dan etos anak-anak kita? Jika tidak maka mereka hanyalah calon pemburu ijazah dan bukan pemburu dan pengembang ilmu. Kalau ini yang terjadi, kita boleh pesismistis bahwa membeludaknya animo masuk PTN hanyalah untuk mencari tiket sosial, bukan demi keilmuan. Padahal bila yang dicari ilmu maka tiket sosial akan tercapai, dan sebaliknya.

Celakanya, kita banyak yang terbalik-balik sehingga dua-duanya tidak tergapai. Bukahkah Tuhan berjanji akan meninggikan beberapa derajat orang yang berilmu pengetahuan dan bukan orang yang berijazah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar