Menjadi
Mahasiswa Ideal
Saratri
Wilonoyudho ; Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 16 Juni 2014
HARIAN
ini memuat berita tentang anak tukang becak yang menjadi wisudawan terbaik
Universitas Negeri Semarang (Unnes) tahun 2014 (SM, 11/6/14). Banyak kisah
mengenai anak orang miskin yang berhasil seperti dia.
Namun
kita tentu harus tetap kritis, apakah yang disebut mahasiswa ideal itu adalah
mereka yang suntuk mencari dan mengembangkan ilmu, serta bukan sekadar
mencari ijazah? Sadarkah para (calon) mahasiswa bahwa yang dihadapi bangsa
ini tidak main-main? Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph E Stiglitz
(2007) mengatakan globalisasi banyak merugikan negara-negara berkembang
karena ada ketimpangan informasi. Ia mengatakan, sedikit saja
ketidaksempurnaan informasi dapat berdampak besar terhadap ekonomi.
Resep
IMF kepada Indonesia misalnya, tidak mampu menyelesaikan permasalahan karena
resep itu tidak benar dan tidak berdasarkan kondisi nyata.
Dalam
bukunya, Making Globalization Work (2006),
Stiglitz juga mengatakan, kelemahan resep-resep IMF atau Bank Dunia di
Indonesia adalah kurangnya perhatian pada keadilan, lapangan kerja, dan
kompetisi untuk menjalankan reformasi ekonomi. Dari sejumlah persoalan besar
tersebut, pendidikan di Indonesia diharapkan bisa menyumbangkan peran untuk
ikut memikirkan dan menghasilkan lulusan yang dapat mengatasi masalah itu.
Mestinya
kaum intelektual, terutama lulusan perguruan tinggi bisa menjadi pelopor
untuk hal-hal berikut ini. Pertama; mengembangkan kreativitas, kebudayaan,
dan peradaban. Kedua; mendukung diseminasi nilai keunggulan. Ketiga;
mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan.
Keempat;
menumbuhkembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang
koheren dengan nilai-nilai moral. Singkatnya, dunia pendidikan tinggi harus
menciptakan peluang bagi pembudayaan individu supaya kapasitasnya berkembang,
terutama berkaitan dengan ”pemerdekaan” dari ”kebudayaan bisu”. Paulo Freire
(1972) bahkan meyakini kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan
rakyat miskin, dan sebagainya lebih disebabkan oleh sistem dominasi ekonomi,
sosial, dan politik.
Dalam
pentas suprastruktur yang lebih global, misalnya dalam sistem kapitalisme
dunia, yang terjadi juga ketimpangan yang lebih besar, yang menembus batas
antarnegara. Sistem sosial seperti itu tentunya berimbas ke sistem
persekolahan dan dunia pendidikan tinggi pada umumnya.
Kekalahan
itu bermakna bahwa ketiadaan pengetahuan dan keterampilan yang cukup (akibat
jeleknya sistem pendidikan) membawa ketimpangan sosial yang makin tajam.
Andai benar permasalahan utama bangsa ini adalah kemeredupan etos kerja maka
dunia pendidikan harus mampu menggagas kurikulum yang sanggup membangkitkan
etos kerja bangsa.
Revolusi
Industri di Eropa Barat pun lahir berkat semangat itu, demikian pula Jepang.
Memuncaknya teori Max Weber tentang etika dan ”Renaissance” yang didasarkan
pada etos virtu atau excellence dalam segala bidang
kehidupan. Perguruan tinggi mestinya sanggup menyuntikkan modal-modal sosial,
seperti semangat, hemat, disiplin, rajin, dan sebagainya.
Modal-modal
sosial tersebut terus dipompakan dan dikembangkan ke dalam kehidupan masyarakat
dan bangsa. Kehidupan modern terus dikembangkan dengan dasar peningkatan
kinerja, kebudayaan akademis, dan asketisme intelektual, kesemuanya
dimuarakan kepada semangat untuk inovasi dan etos kerja yang tinggi untuk
memperoleh self-fulfillment.
Nilai Historis
Dapatkah
dunia pendidikan tinggi kita menghasilkan manusia-manusia kreatif? Kelemahan
pendidikan di negeri ini, terutama datang dari konsep yang tidak jelas.
Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum kreatifaktif-
menyenangkan misalnya, yang diteriakkan keras-keras, justru dihancurkan
sendiri oleh sistem ujian nasional (UN) yang hanya menawarkan soal pilihan
ganda. Apalagi dana untuk pendidikan juga minim.
Sudah
miskin konsep, miskin dana lagi. Padahal dengan dana melimpah pun, andai
tanpa konsep tidak bakal menghasilkan pendidikan bermutu. Jadi, berakarnya
masalah kependidikan di negara-negara berkembang berkaitan dengan faktor
sosiologis, sejarah, dan budaya. Ini artinya bila kita ingin mengembangkan
pembaruan pendidikan yang menghasilkan pemecahan nyata dan berdampak luas
maka pengembangan ilmu kependidikan yang khas yang berkaitan dengan ilmu lain
mutlak dilakukan.
Perguruan
tinggi harus sadar didesain demi pembangunan manusia dan pembangunan nasional
yang bermartabat. Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan penyumbang ilmu
dan teknologi bagi masyarakat. Ia bukan ”pabrik sarjanaî, bukan sebatas
menerima sebanyak mungkin mahasiswa, atau membangun fasilitas fisik, namun
universitas yang bersifat luwes dan tidak terdikte oleh kebutuhan pasar
belaka.
Perguruan
tinggi mestinya lembaga pendidikan yang juga merupakan bagian dari kebudayaan
bangsa, dan tidak terlepas dari nilai-nilai historis sebagai sumber identitas
dan kesatuan nasional. Kurikulum tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang
seragam dan massal, namun juga yang mampu menunjang kreativitas, sikap
akademis, kepribadian, dan kemandirian. Budaya keterbukaan, kejujuran dan
berorientasi kepada pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya.
Sudahkah
para (calon) mahasiswa memiliki tekad ini? Sudahkah sejak pendidikan dasar
kita menyiapkan mental dan etos anak-anak kita? Jika tidak maka mereka
hanyalah calon pemburu ijazah dan bukan pemburu dan pengembang ilmu. Kalau
ini yang terjadi, kita boleh pesismistis bahwa membeludaknya animo masuk PTN
hanyalah untuk mencari tiket sosial, bukan demi keilmuan. Padahal bila yang
dicari ilmu maka tiket sosial akan tercapai, dan sebaliknya.
Celakanya,
kita banyak yang terbalik-balik sehingga dua-duanya tidak tergapai. Bukahkah
Tuhan berjanji akan meninggikan beberapa derajat orang yang berilmu
pengetahuan dan bukan orang yang berijazah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar