Merawat
Keberagaman
Binsar
A Hutabarat ; Peneliti pada Reformed Center for Religion and
Society (RCRS)
|
SINAR
HARAPAN, 16 Juni 2014
Setidaknya
ada delapan kasus kekerasan agama terjadi di Yogyakarta dalam lima bulan
terakhir ini. Intimidasi terhadap kelompok Raustan Fikr di Sleman; deklarasi
anti-Syiah di masjid kampus Universitas Gadjah Mada; kekerasan terhadap Ketua
Forum Lintas Iman Gunung Kidul; pembubaran pertemuan kelompok Syiah di
Bantul, tindak kekerasan Paskahan Adisyuswa di Gunung Kidul; tindak kekerasan
yang terjadi pada penyerangan terhadap umat katolik di Ngaglik, Sleman;
penganiayaan terhadap Julius Felicianus Direktur Galang; serta yang teranyar
penyerangan terhadap tempat ibadah Pentakosta di Pangukan, Tridadi, Sleman
minggu lalu.
Kekerasan
agama yang terjadi di Yogyakarta sangat memprihatinkan. Kota yang tersohor
dengan toleransinya itu kini mengalami ancaman kebebasan beragama. Lebih
ironis lagi, baru-baru ini petinggi kota itu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan
Hamengku Buwono X baru saja menerima “Penghargaan
Pluralisme” dari jaringan Antariman Indonesia (JAII), dalam Konferensi
Nasional VI bertema “Membangun,
Merawat, Memperkokoh Peradaban Luhur Bangsa dengan Dialog Transformatif”
di Jayapura, pada 19-23 Mei 2014.
Penghargaan
pluralisme itu diberikan kepada Sultan karena dianggap berperan penting dalam
mendorong keberagaman menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Peristiwa kekerasan agama di Yogyakarta bukan saja menjadi tantangan bagi
kota yang terkenal dengan toleransinya itu, melainkan sekaligus menjadi
pertaruhan bagi Indonesia sebagai tempat persemaian yang subur bagi
agama-agama.
Merawat Keberagaman
Kita
tentu setuju dengan apa yang dikatakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI), AA Yewangoe. “Kemajemukan
adalah tantangan dan pendewasaan kemajemukan itu tergantung pada cara bangsa
ini menanganinya. Kemajemukan dapat merupakan kelemahan, tetapi sekaligus
dapat juga menjadi kekuatan yang mahadahsyat yang dapat menggerakkan bangsa
Indonesia untuk lebih maju lebih jauh lagi dalam penjelejahan sejarahnya.”
Kekerasan
agama yang dipertontonkan di Yogyakarta akhir-akhir ini sesungguhnya tidak memiliki
akar sejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Demikian juga di
Yogyakarta, sebagai salah satu kota simbol keberagaman Indonesia.
Arnold
Joseph Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan Inggris yang tersohor dan
pernah berkunjung ke Indonesia menegaskan, dalam hal toleransi beragama
Indonesia adalah sebuah contoh yang patut diikuti.
Negeri
ini di bawah naungan Pancasila telah berhasil memanfaatkan keragaman
agama-agama itu sebagai kekuatan. TB Simatupang pernah berujar, “Pancasila ibarat payung yang lebar yang
menaungi agama-agama,” bukan hanya mengindikasikan tingginya toleransi
masyarakat Indonesia, melainkan juga sebuah pengakuan agama-agama itu
mempunyai kontribusi penting bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Itulah
sebabnya di negeri ini agama-agama menduduki posisi yang terhormat.
Hak
beragama diakui sebagai hak yang paling asasi dan oleh konstitusi diakui
sebagai hak sipil setiap individi di negeri ini. Realitas itulah yang
kemudian memopulerkan Indonesia sebagai negara tempat persemaian yang subur
bagi agama-agama.
Jalan
Pancasila yang memberikan naungan bagi agama-agama yang beragama di negeri
ini amatlah tepat. Pluralisme agama berdasarkan jalan Pancasila harus
dimaknai sebagai rumah bersama bagi agama-agama, keunikan agama-agama tetap
diakui keberadaannnya. Dengan demikian, jelaslah menerima Pancasila berarti
sama saja dengan mengakui penerimaan terhadap pluralitas agama-agama.
Pluralisme,
yang didasarkan pada Pancasila harus dimaknai sebagai perjumpaan
komitmen-komitmen, semisal perbedaan agama, untuk kemudian membangun hubungan
sinergis antar agama. Agama-agama yang beragam dan berbeda itu mesti berusaha
mencari sintesis dari keragaman yang ada tersebut untuk kemudian menjadi
titik pijak bersama agama-agama dalam hidup bersama, jauh dari sekat-sekat
serta kecurigaan antaragama. Penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak
bukanlah jalan Pancasila.
Sebaliknya,
Pancasila dengan semangat “Bineka
Tunggal Ika” sejatinya menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan
bukan ancaman.
Pemerintah
tak perlu berintervensi pada ranah agama yang memang bukan domain pemerintah.
Untuk menegakkan dan memajukan kebebasan beragama di negeri ini sebenarnya
sederhana saja, yakni pemerintah harus menegakkan supremasi hukum.
Pasal 28
J ayat 2, UUD 1945, memang menjelaskan, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.”
Namun,
ayat ini jelas harus dilihat dalam terang semangat Bineka Tunggal Ika yang
antidikriminasi. Artinya, pembatasan-pembatasan dalam bentuk regulasi
pemerintah harus memenuhi asas keadilan untuk semua.
Regulasi
pemerintah terkait agama-agama harus didasarkan pada penghormatan terhadap
kebebasan beragama. Pemerintah tidak boleh mempersulit pengurusan IMB rumah
ibadah sebagaimana terjadi pada tujuh gereja yang disegel Pemda Cianjur (Suara Pembaruan 2/6/2014).
Tragisnya,
beberapa di antara tujuh gereja yang disegel itu sudah berdiri sejak 1977,
sedangkan SKB dua menteri atau yang kini dikenal sebagai PBM (Peraturan
Bersama Menteri), baru berlaku sejak disahkan pada 2006. Kasus Cianjur
menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan izin pembangunan rumah ibadah,
padahal hak beribadah secara berkelompok dijamin konstitusi negeri ini.
Di
samping memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 45,
pemerintah harus bersikap netral dalam menegakkan supremasi hukum. Mereka
yang melanggar hukum dan mengancam kebebasan orang lain harus ditindak sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Mereka
yang melanggar hukum, dengan alasan apa pun harus dihukum. Pemerintah tak
boleh mengubur pelanggaran terhadap kebebasan beragama sekecil apa pun.
Penegakkan hukum ini penting untuk memberikan efek jera pada mereka yang
kerap melakukan kekerasan atas nama agama.
Dengan
demikian, jelaslah terciptanya kehidupan antaragama yang harmonis
sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah dalam menegakkan hukum. Regulasi
pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan
antidiskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan
jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.
Pemerintah
tidak perlu mengatur kehidupan internal agama. Namun, regulasi pemerintah
yang memberikan jaminan kebebasan beragama tersebut dapat diwujudkan dalam
regulasi yang menjaminan kebebasan beragama dan antidiskriminasi agama. Ini
merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusif bagi perjumpaan
agama-agama yang damai di republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar