Senin, 23 Juni 2014

Kebijakan Fiskal Terpenjara

Kebijakan Fiskal Terpenjara

Yuyun Pirngadi  ;   Peneliti Yp Institute for Fiscal and Monetary Policies
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TIDAK semua negara emerging markets terpenjara oleh kebijakan fiskalnya. Beda dengan Indonesia, pos-pos kewajiban pengikat dan setengah pengikat menjadi lingkaran setan dalam skema APBN. Akibatnya, defisit anggaran dan defisit neraca transaksi berjalan saling memenjarakan.

Keadaan yang memprihatinkan itu lolos dari sorotan banyak pihak. Kebijakan fiskal merupakan instrumen untuk meningkatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sumbernya ialah penerimaan pajak, PNBP, dan hibah. Adapun pengeluarannya ialah belanja pemerintah seperti belanja pegawai, belanja barang-jasa, belanja modal, dan transfer daerah. Semua itu bertujuan mewujudkan perekonomian nasional yang stabil dan berkelanjutan (stable economic and sustainability).

Peran kebijakan fiskal memberi arah mau dibawa ke mana asumsi makro. Di APBN 2014, misalnya, penerimaan negara ditetapkan Rp1.667,14 triliun. Pemasukan tersebut terdiri atas pendapatan dalam negeri Rp1.665,78 triliun dan penerimaan hibah Rp1,36 triliun. Sumber domestik berupa pajak Rp1.280,39 triliun dan bukan pajak Rp385,39 triliun (Tempo.co, 2014). Artinya, besaran penerimaan merupakan energi yang menjadi motor penggerak perekonomian. Ketika belanja negara disepakati Rp1.842,49 triliun atau naik 6,7% dari APBN 2013 sebesar Rp1.726,19 triliun, maka kebijakan fiskal menjustifikasi jumlah itu dan mendorong belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp1.249,94 triliun dan transfer ke daerah Rp592.55 triliun agar menjadi produktif, efisien, dan efektif.

Merealisasikan belanja agar efisien dan efektif bukan perkara mudah di saat dinamika perubahan eksternal pun tak tentu arahnya. Contoh, inflasi dipatok 5,5%, nilai tukar Rp10.500 per dolar AS, dan tingkat suku bunga SPN 3 bulan 5,5% ternyata meleset. Ditambah harga minyak/ICP dipatok US$105 per barel yang terus merangkak naik dan lifting minyak yang ditargetkan 870 ribu barel per hari yang terus turun. Akan tetapi, cost recovery migas malah mengalami kenaikan. 

Misalnya, di 2007 saja nilainya sudah mencapai 30% atau senilai US$10,4 miliar dari total penerimaan kotor senilai US$35 miliar (Inilah.com, 2014). Tak mengherankan jika siklus kebijakan fiskal hanya bisa menjaga reserves to production ratio (RPR) dan proven resources.

Subsidi melonjak

Ketidakpastian ekonomi dunia dan alokasi besaran makro di atas dapat dibaca bahwa kecenderungan neraca perdagangan terganggu dan penerimaan ke depan akan lebih kecil dari pengeluaran. Akibatnya, melulu pemerintah dihadapkan oleh anggaran defisit yang memaksa pertumbuhan ekonomi tahun fiskal 2014 harus direvisi dari 6,4% menjadi berkisar 5,2%. Lihat saja melonjaknya subsidi energi berkisar Rp317 triliun atau 27% dengan perincian subsidi BBM Rp210,7 triliun tahun fiskal 2014 naik menjadi Rp285 triliun tahun fiskal 2015. Tak cuma itu, listrik dari Rp71 triliun naik menjadi Rp107 triliun (Detik.com). Terkurasnya uang negara untuk subsidi membuat pemerintah mau tak mau mengandalkan utang yang naik Rp95,81 triliun dari 2013 yang mencapai Rp2.273,76 triliun (Detik Finance, 2014). Dampaknya, pemerintah membukukan defisit rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap PDB yang lebih rendah yakni 11% tahun fiskal 2014 dibanding tahun fiskal 2013 yang berkisar 12,27%.

Idealnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB sekitar 14%. Sementara itu anggaran belanja negara pada APBN 2014 mencapai Rp1.842,5 triliun, sedangkan pendapatan tahun depan hanya dipatok Rp1.667,1 triliun. Artinya, ada defisit sebesar Rp175,4 triliun. Salah satu cara menutup defisit ini ialah lewat utang (Detik Finance, 2014). Terkuak, defisit transaksi berjalan pada triliwulan II tahun fiskal 2012 mencapai US$6,9 miliar atau 3,1% dari PDB. Tahun fiskal 2013 berkisar 2,38% dan kini sulit untuk mencapai target 1,69% tahun fiskal 2014. Penyebabnya ialah kerentanan fiskal (fiscal vulnerability) akibat beban utang.

Masalah utang bukan hanya soal pendapatan dan belanja negara (APBN), melainkan juga terhubung dengan masalah ekonomi makro. Kompleksitas ekonomi makro membawa konsekuensi logis bagi pemerintah mengatasi defisit APBN. Ujung-ujungnya, mencari pembiayaan APBN dan menjadi pasien tetap negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, World Bank, dan ADB. Ketika syarat utang diajukan, soal ideologi, politik, dan sosial-ekonomi negara-negara kreditor harus diterima tanpa reserve. Bahkan, sumber daya alam yang melimpah ruah harus siap dikuras.

Merujuk kepada pendekatan Ricardian dalam hipotesisnya (Barro, 1974 dan 1989) menyatakan bahwa tidak ada relasi antara defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran. Alasannya, pajak dan defisit anggaran tidak berpengaruh terhadap suku bunga riil, kuantitas investasi, dan keseimbangan transaksi berjalan. Sebaliknya, menukil pendekatan konvensional menyatakan relasinya sangat erat antara peningkatan defisit anggaran akan menambah defisit transaksi berjalan bila peningkatan defisit pemerintah mengurangi tabungan nasional. Sebuah studi empiris menunjukkan bahwa defisit anggaran akibat peningkatan belanja pemerintah sekitar 1% dari PDB menyebabkan keseimbangan neraca perdagangan turun sekitar 0,15% dari PDB dan pemotongan pajak sekitar 1% dari PDB menyebabkan memburuknya neraca perdagangan sekitar 0,12% dari PDB.

Jebakan defisit

Siapa pun presidennya, ke depan Indonesia sulit meningkatkan kesejahteraan rakyatnya untuk tidak dikatakan hilang kesejahteraan (total deadweight loss). Bahkan, Indonesia akan terjebak dalam apa yang disebut `Perangkap Lipsey', yaitu semakin banyak arus masuk investasi asing dan utang luar negeri akan memperparah defisit perkiraan transaksi berjalan. Sebab, asumsi besaran APBN sudah terpenjara oleh kewajiban pengikat dan setengah pengikat. Keterbatasan itu terus-menerus terjadi sehingga telah mengganggu diskresi dalam penyusunan APBN. Akibatnya, penyusunan APBN pada tahun t sering kali hanya didasarkan pada tahun t-1 ditambah 10%-15% dari nilai APBN pada tahun t (BKF, 2014).

Sungguh ironis dampak inside lag dan outside lag membuat pemerintah kehilangan fiscal space dan eklektik di saat pembahasan di sidang paripurna dengan DPR RI. Betapa tidak, APBN 2014 yang ditetapkan Rp1.842,5 triliun terdapat alokasi yang untouchable, yakni anggaran kewajiban pengikat (misalnya, UU Pendidikan 20% dari APBN, UU Otsus 2%, UU Kesehatan 5%, dan masih banyak lagi) total jumlahnya sebesar 53%, dan sisanya sekitar 47%. Itu pun belum dikurangi alokasi dana kewajiban setengah pengikat seperti subsidi dan cicilan bunga utang 10% dari APBN. Cicilan utang 2009 saja mencapai Rp162 triliun. Pos itu lebih besar daripada pos belanja pembangunan dan belanja modal yang berkisar Rp71,9 triliun. Kini 2014 per Januari melonjak mencapai US$269,27 miliar atau setara Rp3.042,751 triliun jika mengacu kurs 11.300 per dolar AS (BI, 2014).

Belum lagi, kebiasaan SBY yang acap kali menghadapi masalah ketetatanegaraan senantiasa membentuk lembaga baru. Tercatat 116 komite dan dewan yang ada, 88 bersifat struktural dan 28 nonstruktural. Pembentukan itu anggarannya dibebankan ke APBN (Mudrajad Kuncoro, 2013). Ditambah pemekaran daerah kabupaten/kota di Indonesia yang harus menyedot anggaran APBN yang tidak kecil. Maka, di tahun mendatang beban keuangan negara semakin berat bila pemerintah enggan melakukan reformasi fiskal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar