Senin, 23 Juni 2014

Menitip Asa Dunia kepada Calon Pemimpin Bangsa

Menitip Asa Dunia kepada Calon Pemimpin Bangsa

Deni Bram  ;   Doktor Hukum Perubahan Iklim UI,
Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
KEDUA pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sudah mengungkapkan visi dan misi masing-masing. Tidak sedikit pengamat yang memberikan perspektif keberadaan visi dan misi tersebut dalam sudut pandangan lingkungan hidup kini dan akan datang. Namun, tanpa disadari perlu kiranya keberadaan komitmen internasional dari Indonesia sebagai suatu bangsa patut menjadi pertimbangan tersendiri. Tidak kurang penting signifikansi posisi Indonesia dalam konteks lingkungan hidup bukan hanya pada tingkat nasional, melainkan juga regional hingga internasional menjadi perhatian besar mata dunia.

Mulai keseriusan pemerintah Indonesia terkait bencana kabut asap yang bersumber dari hutan Indonesia hingga komitmen Indonesia dalam langkah penanggulangan perubahan iklim seakan mendudukkan Indonesia sebagai salah satu aktor utama dalam diskursus lingkungan internasional. Salah satu variabel penting yang kerap didengungkan sebagai legacy dari rezim sekarang ini ialah kelanjutan keseriusan peme rintah Indonesia dalam hal komitmen penanggulangan perubahan iklim saat ini, yang telah dinyatakan oleh Presiden Yudhoyono sebagai langkah Indonesia dalam penyelamatan iklim.

Urgensi legislasi

Posisi Indonesia sebagai negara Non Annex dalam rezim perubahan iklim mendudukkan Indonesia sebagai negara yang tidak dibebani kewajiban dalam instrumen Protokol Kyoto. Namun, keberadaan hutan tropis terbesar nomor tiga di dunia membuat masyarakat internasional menaruh harapan yang besar dari keberadaan hutan Indonesia sebagai instrumen mitigasi serta dalam langkah negosiasi kebijakan iklim global. Kehadiran Indonesia dalam rezim perubahan iklim mulai mendapat perhatian saat Presiden Yudhoyono menyatakan komitmennya untuk melakukan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Pada forum pertemuan G-20 di Pitsburg, Amerika Serikat, komitmen Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26%-41% tercatat dideklarasikan oleh Presiden Yudhoyono. Komitmen tersebut baru dituangkan pada instrumen hukum nasional melalui instrumen Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Namun, ironisnya aturan yang bersifat lintas sektoral tersebut tidak mampu melakukan transformasi secara substansial upaya mitigasi emisi gas rumah kaca yang dijanjikan. Adapun dalam instrumen hukum perubahan iklim internasional, komitmen tersebut telah dicatatkan dan mengikat sebagai inisiatif Indonesia dalam dokumen Nationally Appropriate Mitigation Action (NAMA) dan mengikat untuk diwujudkan pada 2020 sebagai hasil pertemuan Conference Of the Parties (COP) di Kopenhagen pada 2009.

Hingga kini langkah nyata dalam bentuk keharmonisan aturan belum dirasakan secara sinergis dan berbuah nyata terkait langkah strategis yang dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel. Bahkan dalam tataran normatif, hadirnya aturan khusus terkait perubahan iklim hingga kini belum kunjung hadir, padahal telah diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hal ini tentu menjadi indikasi nyata bagi masyarakat internasional terkait dengan kesungguhan komitmen Indonesia mengingat negara ini telah mencatatkan komitmen pada instrumen internasional. Dalam korelasinya dengan pergantian rezim yang akan terjadi beberapa bulan ke depan, sudah selayaknya para calon pemimpin memperhatikan komitmen ini secara saksama sebagai potret kesungguhan Indonesia dalam menyelamatkan ekosistem dunia dan pernyataan yang terikat dalam dimensi internasional hingga 2020. Hal ini menjadi penting saat kedaulatan serta harga diri bangsa terkait keseriusan penanggulangan perubahan iklim menjadi dipertaruhkan.

Hutan dan penyelamatan iklim

Khusus pada sektor kehutanan, kehadiran skema REDD yang pada awalnya hanya menekankan pada pengurangan deforestasi di Indonesia dimaknai lebih luas dengan menjamin keberlanjutan dari keberadaan eko sistem hutan itu sendiri. Penyerapan karbon dalam konteks REDD Plus di Indonesia dimaknai sebagai instrumen yang lebih luas dan melibatkan multisektor termasuk kepentingan lintas generasi yang dipertaruhkan mulai saat ini. Kepentingan lintas generasi dan lintas benua menjadi pertaruhan penting yang diemban oleh Indonesia.

Tidak kurang dari hasil pertemuan tahunan Conference Of the Parties (COP) ke-13 pada 2007 di Bali, Indonesia menjadi negara yang pertama kali merespons wacana peran dari negara berkembang dalam instrumen Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Semangat kebersamaan ini sayangnya bergerak lebih cepat dari induk semangnya, yaitu kebijakan perubahan iklim itu sendiri. Hal ini paling tidak terlihat dari cepatnya respons dari Kementerian Kehutanan yang mendahului dengan hadirnya beleid terkait REDD pada 2009. 

Namun, sayangnya kehadiran instrumen yang mengedepankan insentif ini menjadi diametral dengan posisi Indonesia yang tercatat sebagai salah satu negara dengan indeks korupsi tertinggi di dunia. Suasana kebatinan yang diusung dalam pembicaraan awal skema REDD yang mengharapkan koordinasi dari negara berkembang seakan berkembang menjadi kolonialisme karbon dalam bentuk baru yang terikat dalam hubungan subordinasi.

Bahkan dalam tataran lokal, kondisi hutan Indonesia seakan menjadi komoditas dari negara donor yang berharap banyak dari pengurangan karbon dari hutan Indonesia sehingga menggeser konteks penyelamatan ekosistem dunia menjadi kepentingan pasar yang terikat nilai dan harga semata.

Hal ini kiranya wajib menjadi pertimbangan kritis dari para presiden-wapres mendatang. Eksistensi Indonesia dalam pergaulan dunia saat ini bukan hanya berdiri dalam kepentingan nasional ansich dalam selimut politik domestik. Dalam konteks penanggulangan perubahan iklim, peran Indonesia juga telah berada sebagai negara dengan posisi strategis dan turut memengaruhi kebijakan perubahan iklim pada tataran dunia saat ini. Atensi dan kritisi kebijakan terkait hutan di Indonesia di masa akan datang khususnya terkait dengan kedudukan posisi hutan Indonesia sebagai ekosistem yang wajib dijaga kelestariannya, baik dengan atau tanpa adanya negara donor. Karena ekosistem ini bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan dari anak cucu yang wajib dijaga untuk kini dan masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar