Kebijakan
Fiskal Terpenjara
Yuyun
Pirngadi ; Peneliti Yp Institute for Fiscal and Monetary Policies
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2014
TIDAK semua negara emerging
markets terpenjara oleh kebijakan fiskalnya. Beda dengan Indonesia, pos-pos
kewajiban pengikat dan setengah pengikat menjadi lingkaran setan dalam skema
APBN. Akibatnya, defisit anggaran dan defisit neraca transaksi berjalan
saling memenjarakan.
Keadaan yang memprihatinkan itu
lolos dari sorotan banyak pihak. Kebijakan fiskal merupakan instrumen untuk
meningkatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sumbernya ialah
penerimaan pajak, PNBP, dan hibah. Adapun pengeluarannya ialah belanja
pemerintah seperti belanja pegawai, belanja barang-jasa, belanja modal, dan
transfer daerah. Semua itu bertujuan mewujudkan perekonomian nasional yang
stabil dan berkelanjutan (stable
economic and sustainability).
Peran kebijakan fiskal memberi
arah mau dibawa ke mana asumsi makro. Di APBN 2014, misalnya, penerimaan
negara ditetapkan Rp1.667,14 triliun. Pemasukan tersebut terdiri atas
pendapatan dalam negeri Rp1.665,78 triliun dan penerimaan hibah Rp1,36
triliun. Sumber domestik berupa pajak Rp1.280,39 triliun dan bukan pajak
Rp385,39 triliun (Tempo.co, 2014). Artinya, besaran penerimaan merupakan
energi yang menjadi motor penggerak perekonomian. Ketika belanja negara
disepakati Rp1.842,49 triliun atau naik 6,7% dari APBN 2013 sebesar
Rp1.726,19 triliun, maka kebijakan fiskal menjustifikasi jumlah itu dan
mendorong belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp1.249,94 triliun dan
transfer ke daerah Rp592.55 triliun agar menjadi produktif, efisien, dan
efektif.
Merealisasikan belanja agar
efisien dan efektif bukan perkara mudah di saat dinamika perubahan eksternal
pun tak tentu arahnya. Contoh, inflasi dipatok 5,5%, nilai tukar Rp10.500 per
dolar AS, dan tingkat suku bunga SPN 3 bulan 5,5% ternyata meleset. Ditambah
harga minyak/ICP dipatok US$105 per barel yang terus merangkak naik dan lifting
minyak yang ditargetkan 870 ribu barel per hari yang terus turun. Akan
tetapi, cost recovery migas malah
mengalami kenaikan.
Misalnya, di 2007 saja nilainya sudah mencapai 30% atau
senilai US$10,4 miliar dari total penerimaan kotor senilai US$35 miliar (Inilah.com, 2014). Tak mengherankan
jika siklus kebijakan fiskal hanya bisa menjaga reserves to production ratio (RPR) dan proven resources.
Subsidi melonjak
Ketidakpastian ekonomi dunia dan
alokasi besaran makro di atas dapat dibaca bahwa kecenderungan neraca
perdagangan terganggu dan penerimaan ke depan akan lebih kecil dari
pengeluaran. Akibatnya, melulu pemerintah dihadapkan oleh anggaran defisit
yang memaksa pertumbuhan ekonomi tahun fiskal 2014 harus direvisi dari 6,4%
menjadi berkisar 5,2%. Lihat saja melonjaknya subsidi energi berkisar Rp317
triliun atau 27% dengan perincian subsidi BBM Rp210,7 triliun tahun fiskal
2014 naik menjadi Rp285 triliun tahun fiskal 2015. Tak cuma itu, listrik dari
Rp71 triliun naik menjadi Rp107 triliun (Detik.com).
Terkurasnya uang negara untuk subsidi membuat pemerintah mau tak mau
mengandalkan utang yang naik Rp95,81 triliun dari 2013 yang mencapai
Rp2.273,76 triliun (Detik Finance, 2014). Dampaknya, pemerintah membukukan
defisit rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap PDB yang lebih rendah
yakni 11% tahun fiskal 2014 dibanding tahun fiskal 2013 yang berkisar 12,27%.
Idealnya rasio penerimaan pajak
terhadap PDB sekitar 14%. Sementara itu anggaran belanja negara pada APBN
2014 mencapai Rp1.842,5 triliun, sedangkan pendapatan tahun depan hanya
dipatok Rp1.667,1 triliun. Artinya, ada defisit sebesar Rp175,4 triliun. Salah
satu cara menutup defisit ini ialah lewat utang (Detik Finance, 2014).
Terkuak, defisit transaksi berjalan pada triliwulan II tahun fiskal 2012
mencapai US$6,9 miliar atau 3,1% dari PDB. Tahun fiskal 2013 berkisar 2,38%
dan kini sulit untuk mencapai target 1,69% tahun fiskal 2014. Penyebabnya
ialah kerentanan fiskal (fiscal
vulnerability) akibat beban utang.
Masalah utang bukan hanya soal
pendapatan dan belanja negara (APBN), melainkan juga terhubung dengan masalah
ekonomi makro. Kompleksitas ekonomi makro membawa konsekuensi logis bagi
pemerintah mengatasi defisit APBN. Ujung-ujungnya, mencari pembiayaan APBN
dan menjadi pasien tetap negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, World
Bank, dan ADB. Ketika syarat utang diajukan, soal ideologi, politik, dan
sosial-ekonomi negara-negara kreditor harus diterima tanpa reserve. Bahkan,
sumber daya alam yang melimpah ruah harus siap dikuras.
Merujuk kepada pendekatan
Ricardian dalam hipotesisnya (Barro, 1974 dan 1989) menyatakan bahwa tidak
ada relasi antara defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran. Alasannya,
pajak dan defisit anggaran tidak berpengaruh terhadap suku bunga riil,
kuantitas investasi, dan keseimbangan transaksi berjalan. Sebaliknya, menukil
pendekatan konvensional menyatakan relasinya sangat erat antara peningkatan
defisit anggaran akan menambah defisit transaksi berjalan bila peningkatan
defisit pemerintah mengurangi tabungan nasional. Sebuah studi empiris
menunjukkan bahwa defisit anggaran akibat peningkatan belanja pemerintah
sekitar 1% dari PDB menyebabkan keseimbangan neraca perdagangan turun sekitar
0,15% dari PDB dan pemotongan pajak sekitar 1% dari PDB menyebabkan
memburuknya neraca perdagangan sekitar 0,12% dari PDB.
Jebakan defisit
Siapa pun presidennya, ke depan
Indonesia sulit meningkatkan kesejahteraan rakyatnya untuk tidak dikatakan
hilang kesejahteraan (total deadweight
loss). Bahkan, Indonesia akan terjebak dalam apa yang disebut `Perangkap
Lipsey', yaitu semakin banyak arus masuk investasi asing dan utang luar
negeri akan memperparah defisit perkiraan transaksi berjalan. Sebab, asumsi
besaran APBN sudah terpenjara oleh kewajiban pengikat dan setengah pengikat.
Keterbatasan itu terus-menerus terjadi sehingga telah mengganggu diskresi
dalam penyusunan APBN. Akibatnya, penyusunan APBN pada tahun t sering kali
hanya didasarkan pada tahun t-1 ditambah 10%-15% dari nilai APBN pada tahun t
(BKF, 2014).
Sungguh ironis dampak inside lag dan outside lag membuat pemerintah kehilangan fiscal space dan eklektik di saat pembahasan di sidang paripurna
dengan DPR RI. Betapa tidak, APBN 2014 yang ditetapkan Rp1.842,5 triliun
terdapat alokasi yang untouchable, yakni anggaran kewajiban pengikat
(misalnya, UU Pendidikan 20% dari APBN, UU Otsus 2%, UU Kesehatan 5%, dan
masih banyak lagi) total jumlahnya sebesar 53%, dan sisanya sekitar 47%. Itu
pun belum dikurangi alokasi dana kewajiban setengah pengikat seperti subsidi
dan cicilan bunga utang 10% dari APBN. Cicilan utang 2009 saja mencapai Rp162
triliun. Pos itu lebih besar daripada pos belanja pembangunan dan belanja
modal yang berkisar Rp71,9 triliun. Kini 2014 per Januari melonjak mencapai
US$269,27 miliar atau setara Rp3.042,751 triliun jika mengacu kurs 11.300 per
dolar AS (BI, 2014).
Belum lagi, kebiasaan SBY yang
acap kali menghadapi masalah ketetatanegaraan senantiasa membentuk lembaga
baru. Tercatat 116 komite dan dewan yang ada, 88 bersifat struktural dan 28
nonstruktural. Pembentukan itu anggarannya dibebankan ke APBN (Mudrajad Kuncoro, 2013). Ditambah
pemekaran daerah kabupaten/kota di Indonesia yang harus menyedot anggaran
APBN yang tidak kecil. Maka, di tahun mendatang beban keuangan negara semakin
berat bila pemerintah enggan melakukan reformasi fiskal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar