Rabu, 18 Juni 2014

Kau Kugampar, Simpati Kuperoleh

Kau Kugampar, Simpati Kuperoleh

Arif Afandi ;   Mantan Wartawan,
Ketua umum Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia
JAWA POS,  18 Juni 2014
                                           
                                                                                         
                                                      
BELAKANGAN, media sering menyuguhkan adegan kepala daerah yang marah-marah kepada anak buah. Yang segar di ingatan adalah kasus Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengamuk di jembatan timbang. Juga, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja ’’Ahok’’ Purnama yang memarahi kepala dinas pertamanan dan PKL di Monas. Semua peristiwa ngamuknya para pejabat itu diungguh di media sosial dan disebarkan media massa nasional.

Uniknya, aksi berang para pemimpin di depan umum tersebut mendapat respons hangat dari publik. Mereka seakan ikut bertepuk tangan melihat anak buah para pemimpin itu takut dan tertunduk malu. Seakan emosi publik ikut terwakili ketika melihat para pejabat publik itu muring-muring. Simpati dan pujian-pujian pun terus mengalir kepada para pemimpin tersebut. Ibarat kau kugampar, simpati kuperoleh.

Aksi ngamuk dua kepala daerah tersebut ikut menambah panjang daftar pejabat yang marah di depan publik. Sebut saja Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang marah-marah melihat terminal jorok. Juga, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang memaki habis panitia Wall’s Ice Cream Day yang merusak Taman Bungkul beberapa waktu lalu.

Apakah fenomena itu merupakan bukti terjadinya pergeseran idealisasi kepemimpinan dalam masyarakat kita? Adakah prinsip-prinsip kepemimpinan yang elegan, penuh wisdom, dan selalu mengayomi seperti yang terungkap dalam filosofi Jawa sudah tidak berlaku? Akankah persepsi kepemimpinan yang temperamental itu menjadi mainstream model kepemimpinan kita?

Cermin Masyarakat

Berbagai teori kebudayaan menyebutkan, tata nilai yang muncul merupakan cerminan cara pandang masyarakat. Nilai-nilai kepemimpinan yang berkembang merupakan wujud harapan warga. Dalam cara pandang ini, masyarakat preman akan menghasilkan seorang pemimpin yang preman pula. Masyarakat yang mayoritas mengikuti nilai-nilai pragmatisme akan melahirkan pemimpin yang pragmatis pula.

Sistem rekrutmen kepemimpinan melalui pemilihan langsung sejalan dengan paham itu. Hak masyarakat memilih seorang pemimpin semakin memperkuat kebenaran paham tersebut. Nilai yang dianut pemilih akan dimanifestasikan dalam pilihan mereka. Ketika punya harapan tentang sosok pemimpin yang tegas, dia akan memilih calon yang dianggap bisa bertindak tegas. Demikian seterusnya.

Namun, banyak faktor yang memengaruhi seseorang terhadap sosok seorang pemimpin. Nilai dan harapan-harapan dari seorang warga tidak berada dalam situasi vakum. Framing media tentang sosok pemimpin dan mainstream kepemimpinan yang ada ikut memengaruhi. Semua itu saling mengisi nilai dan harapan seseorang. Nilai serta harapan tersebut lantas diwujudkan lewat dukungan terhadap pemimpinnya.

Demikian pula tentang tafsir akan sikap tegas. Ketegasan pemimpin, tampaknya, mengalami penyempitan makna. Ketegasan sikap hanya dimaknai sebagai keberanian pemimpin untuk memarahi mereka yang dianggap bersalah. Tak peduli apakah kemarahan yang diumbar itu pantas dipublikasikan atau tidak. Yang penting, dengan kemarahan sang pemimpin tersebut, kejengkelan massa ikut tersalurkan.

Tapi, apakah seorang pemimpin harus mengikuti kemauan publik dalam kepemimpinannya? Ataukah mereka harus mengendalikan amarah karena setiap perilaku pemimpin akan menjadi panutan publik yang dipimpinnya? Tampaknya, itu sangat bergantung pada pemimpin yang bersangkutan. Apakah dia akan menjadikan dirinya sebuah produk yang mengikuti keinginan pasar atau menjadi role model yang mengarahkan pasar.

Tuntunan

Kepemimpinan politik sangat berbeda dengan kepemimpinan pasar sebuah produk. Kepemimpinan politik mengandung idealisasi tentang sosok yang dianggap lebih dari pada umumnya. Sosok pemimpin politik diharapkan tidak hanya terampil dalam urusan teknis. Tapi, juga terampil mengonsolidasikan kekuatan dalam masyarakat. Selain memiliki legitimasi teknis, dia perlu legitimasi nonteknis. Mereka juga diharapkan menjadi tuntunan dalam perilaku warganya.

Masyarakat Jawa mengenal falsafah asah, asuh, dan asih. Singkatnya, pemimpin harus memiliki kemampuan intelektual, mempunyai sikap merawat dan mendidik masyarakat, serta mengasihi mereka. Semua itu diramu dalam satu kata yang disebut wisdom atau bijak. Bijak dalam pemahaman Jawa adalah kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Dalam perspektif ini, pemimpin bukannya tidak boleh marah. Namun, kemarahan seorang pemimpin dimaksudkan untuk memperbaiki, bukan membenci. Kemarahan juga tidak boleh diumbar, melainkan dikendalikan. Pemimpin tidak boleh memaki. Apalagi dipertontonkan kepada publik. Pemimpin harus menjadi role model tentang sesuatu yang patut dan tidak patut di dalam masyarakat.

Demokratisasi politik memang berhasil mengubah segala tatanan pola interaksi rakyat dan pemimpinnya. Namun, sebagai sebuah bangsa, rasanya perlu ditumbuhkan kesadaran baru tentang pentingnya membangun peradaban yang lebih baik. Perlu digalakkan kembali pentingnya arah strategi kebudayaan kita. Itu penting dilakukan agar kepemimpinan tidak sekadar memenuhi selera pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar