Dolly
dan Kesehatan Keluarga
Endang
Suarini ; Pemerhati Kesehatan Masyarakat
|
JAWA
POS, 18 Juni 2014
KITA berharap bahwa lokalisasi
Dolly dan Jarak per 18 Juni 2014 sungguh akan masuk kotak sejarah. Sebab,
menurut kabar yang beredar, penutupan dua lokalisasi ini ternyata tidak
seketika, tapi bertahap dan berkesinambungan mulai 18 Juni 2014. Kita
berharap saja pada akhirnya dua lokalisasi itu benar-benar akan ditutup.
Dengan demikian, anak-anak di
sekitar Dolly dan keluarga mereka sungguh akan memiliki habitat atau
lingkungan hidup yang sehat guna menata kehidupan dan masa depan yang lebih
baik (Lihat Jati Diri Jawa Pos 17/6).
Sebab, siapa sih yang sebenarnya senang tinggal di tengah lokalisasi seperti
Dolly? Jika kita tinggal di Dolly, dari sisi psikologis saja, jelas kita akan
malu meski kita bukan PSK. Terlebih, bila ada yang bertanya tempat tinggal
kita di mana. Jadi, dari akal sehat, jelas tidak ada orang yang senang bertempat
tinggal di tengah atau di dekat lokalisasi,
Memang, terkait dengan penutupan
Dolly, ada beberapa kalangan yang merasa keberatan. Esthi Susanti dalam
opininya Penutupan Dolly versus HIV-AIDS (Jawa
Pos, 22 Mei 2014), antara lain, menulis: penutupan lokalisasi pelacuran
tidak mengindahkan kebijakan Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional. Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV di Indonesia
difokuskan pada populasi kunci (seperti penjaja seks perempuan, waria, dan
gay).
Program ini bisa dijalankan dengan baik jika mereka terlokalisasi.
Apalagi, target intervensi yang ditetapkan agar bisa mengendalikan epidemi
yang ada adalah 80 persen. Termasuk sistem surveillance yang dilakukan secara
periodik akan mendapatkan data yang akurat jika mereka terlokalisasi.
Tiadanya lokalisasi membuat data surveillance menjadi tidak akurat, sulit
mengintervensi sehingga target tidak tercapai.
Argumentasi itu bisa dimengerti
dan bisa diterima jika para pria hidung belang, yang kebanyakan para suami,
mau mengenakan kondom. Namun, dalam praktiknya, ternyata banyak pelanggan PSK
di Dolly dan Jarak yang menolak memakai sarung pengaman kelamin pria itu.
Akibatnya, para PSK yang sudah positif HIV-AIDS gampang menularkan virus
mematikan yang diidapnya kepada para pelanggannya. Di RS dr Sutomo tiap
minggu bisa dijumpai puluhan pasien pengidap HIV-AIDS, entah seorang ayah
atau istri baik-baik, bahkan seorang anak di bawah umur.
Menurut data WHO, kini terdapat
19,2 juta perempuan yang harus hidup dengan HIV/AIDS di dunia. Tiap hari
terdapat sekitar 5.500 perempuan baru yang terinfeksi HIV, sebagian besar
tertulari saat berhubungan seksual. Gawatnya, sekitar 3.000 perempuan tiap
hari meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS.
Tapi, dalam kasus ini, kesalahan
tidak hanya ada pada PSK. Seksolog Andi Wijaya sudah membeberkan di kalangan
remaja, bahkan pelajar sekolah, kasus hubungan seks berisiko (tanpa kondom
dan rentan menularkan HIV/ AIDS) sudah menjadi fenomena yang lumrah.
Menyikapi itu, solusi yang paling
rasional dan harus diambil adalah kembali kepada nilai-nilai keluarga.
Keluarga harus dijadikan benteng sekaligus semacam sekolah yang tiada bosan
mengajarkan kesetiaan, tanggung jawab, sekaligus mempraktikkan gaya hidup
sehat. Misalnya, pendidikan seks yang baik, termasuk upaya menyadarkan bahaya
HIV/AIDS paling ideal dilakukan di dalam rumah kita sendiri. Kepada para
orang tua atau anak remaja harus ditanamkan kesadaran betapa berbahayanya
melakukan hubungan seks berisiko, semisal dengan PSK atau orang yang tidak
dikenal. Kesehatan segenap keluarga dipertaruhkan untuk kesenangan sesaat
yang membawa siksa abadi. Jika para bapak, yang nota bene para pelanggan PSK
di Dolly diajak kembali menyadari nilai-nilai keluarga, jelas ini akan lebih
efektif untuk membentengi keluarga dari penularan virus HIV/AIDS.
Para bapak harus menyadari peran
kepemimpinan dalam keluarga. Kepemimpinan harus ditampilkan dalam keluarga,
di masyarakat, di negara-negara dan secara internasional agar kita dapat
menang dari penyakit ini. Banyak contoh kepemimpinan AIDS yang baik yang
tampil di dalam lembaga masyarakat sipil yang menantang status quo.
Menjadikan kepemimpinan sebagai modus andalan melawan ancaman HIV/AIDS akan
membantu merangsang kepemimpinan AIDS pada segala tingkat dan sektor dalam
masyarakat.
Secara tradisional dan didukung
pandangan agama, ayah adalah pemimpin dalam keluarga. Sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab diharapkan seorang ayah sungguh memikirkan kesehatan
keluarga di dalam setiap sepak terjangnya. Perlu dicamkan, maraknya
prostitusi antara lain dipicu oleh para ayah atau bapak yang tidak memiliki
jiwa kepemimpinan serta membiarkan dirinya dikendalikan oleh nafsu dan
keinginan yang tidak pada tempatnya. Karena itu, lokalisasi seperti Dolly,
ada di mana pun, pasti akan dicari para pria hidung belang yang tidak
memiliki jiwa kepemimpinan dalam keluarganya.
Ibu atau anak remajanya juga
diharapkan punya jiwa kepemimpinan disertai cinta kasih sejati pada para
suami sehingga tercipta sebuah keluarga yang sehat. Sebuah keluarga yang
demikian adalah benteng utama melawan virus HIV/AIDS. Mari kita kembali
kepada keluarga masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar