Selasa, 17 Juni 2014

Demokrasi para Bohir

Demokrasi para Bohir

Ahan Syahrul Arifin  ;   Ketua PB HMI 2013-2015, Mahasiswa Pascasarjana UI
KORAN JAKARTA,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Uang dalam politik bagai dua sisi mata koin yang tak dapat dipisahkan. Tanpa uang, aktivitas politik tidak dapat berjalan sesuai keinginan, apalagi tuntutan sistem demokrasi langsung yang menghendaki dan memerlukan popularitas demi elektabilitas tinggi. Ditambah lagi luas wilayah untuk bersosialisasi, konsolidasi, dan kampanye di Indonesia. Uang akan sangat berperan besar dalam lalu lintas dinamika politik.

Tanpa uang, mesin partai, tim pemenangan, hingga relawan tidak mungkin dapat bergerak dalam irama kontinu, berkesinambungan, dan holistik. Akan sangat tertatih bagi siapa pun yang hendak mencalonkan diri tanpa bekal anggaran dana mencukupi. Ambisi dan obsesi tak cukup untuk bertarung dalam ketatnya kompetisi.

Uang menjadi faktor yang paling berpengaruh karena dalam proses berpolitik terkait kandidat, kerja, serta mesin kampanye. Semua itu, baru dapat bergerak dengan maksimal apabila mendapat dukungan logistik dana yang kuat dan memadai.

Utamanya dalam proses kampanye, uang akan sangat berpengaruh signifikan dalam pemenangan sang calon. Kampanye, baik melalui iklan, tatap langsung, door to door, ataupun dialogis memiliki pengaruh yang menentukan dalam menentukan hasil pemilu. Kampanye tak akan maksimal berjalan tanpa uang sebagai sumber utama kekuatan politik dalam memenangi demokrasi langsung.

Maraknya korupsi kader-kader partai tidak lepas juga dari mahalnya ongkos politik. Para kader mencari celah anggaran proyek-proyek APBN/APBD untuk kepentingan biaya politik. Situasi ini juga berkaitan erat dengan tuntutan partai sebab gaji mereka dipotong untuk sumbangan.

 Dana kampanye termasuk isu sensitif terutama terkait asal uang. Sangat mungkin, kasus-kasus pencucian uang dilakukan dalam proses kampanye. Bahkan, uang hasil korupsi, keuntungan dari pasar gelap, pengusaha hitam, hingga penjualan narkoba terbuka peluang disusupkan.

Pengaturan dana kampanye untuk pileg dan pilpres memang agak berbeda. Sumbangan perseorangan tidak boleh melebihi 1 miliar, sedangkan untuk badan usaha tidak boleh di atas 5 miliar.

Dalam penyampaiannya kepada KPU, pada pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK tidak ditemukan pelanggaran. Prabowo-Hatta melaporkan penerimaan tahap pertama sesuai aturan KPU. Jumlah yang dilaporkan 10 miliar yang 5 miliar berasal dari pasangan capres dan cawapres. Kemudian 4,8 miliar dari pihak ketiga seperti badan usaha. Sisanya 200 juta dari simpatisan individu.

Sementara itu, tim pasangan capres Jokowi-JK melaporkan penerimaan awal dana kampanye ke KPU sebesar 44,9 miliar. Di mana 2,9 miliar berasal dari donasi (masyarakat) yang digalang melalui rekening. Tidak dijelaskan secara teroerinci penyumbang. Padahal, daftar nama penyumbang, alamat, dan identitas penyumbang sangat dibutuhkan demi terciptanya transparansi.

Sandera

Keterbukaan asal uang kampanye sangat penting. Jeffrey Winters mengatakan setelah Orde Baru runtuh, muncul sebuah “oligarki liar”. Kelompok ini tidak bisa ditertibkan pemerintahan dan hukum. Karakter demokrasi yang berjalan di Indonesia bergerak dalam labirin korupsi elite yang tak pernah merasa puas karena terus memburu rente.

Para pemodal perlu akses politik untuk meningkatkan bisnis dan kekuasaan. Politik dijadikan jalan pintas memperbesar pengaruh dan bisnisnya. Dengan model tender proyek yang transparan dan wajib diketahui publik, sangat tidak mungkin bagi para pemilik modal mengelabui. Maka, kongkalikong harus dilakukan sejak awal, dari proses pemilihan.

Para pemodal, mau tak mau, harus menjadi bohir bagi para politisi yang menginginkan jabatan. Proses transaksi menjadi klop: politisi butuh jabatan, tetapi tak memiliki modal, sedangkan pengusaha memiliki banyak uang dan butuh pengembangan usaha dari proyek-proyek APBN/APBD maupun kebijakan-kebijakan.

Demokrasi langsung menjadi pintu masuk kaum borjuasi untuk kembali memegang kendali. Yang tak lazim dalam demokrasi langsung saat ini, prosesnya berjalan cepat, sementara supremasi hukum dan pendidikan politik ketinggalan. Di sinilah, kekuatan borjuasi menunggangi demokratisasi melalui penjinakan aparat-apara hukum.

Edward Aspinal menyebutkan aktor kunci yang melemahkan netralitas dan efisiensi hukum di Indonesia adalah kekuatan-kekuatan bisnis yang berkolaborasi dengan para penguasa. Kekuatan bisnis yang bermain di ranah politik tak hanya terjadi di Indonesia. Menurut studi Lary M Bartels dari Pricenton University (2004) tidak kurang dari 58,1 persen senator yang terpilih memiliki basis pendanaan dari perusahaan.

Menurutnya, ini bukan persoalan belas kasihan, melainkan ada udang di baliknya. Politikus butuh dana, sementara pebisnis memerlukan kebijakan untuk menguatkan bisnis. Dalam The Rise Capital, Robison juga menyebutkan kekuatan revolusioner yang paling penting mengubah negara di belahan dunia ketiga bukan lagi sosialisme atau komunisme, tapi kapitalisme. Pemodallah yang pada akhirnya mutlak berkuasa.

Jalan Baru

Kembali pada soal pilpres dan pendanaan, publik pantas tahu asal uang kampanye karena akan menyangkut kebijakan-kebijakan mendatang, benar-benar untuk rakyat atau hanya titipan pemodal. Ini penting agar publik bisa menjaga capres-cawapres terpilih tetap berada dalam koridor visi dan misinya.

Langkah Jokowi-JK mengumpulkan dana kampanye dari masyarakat patut diapresiasi. Ini sebagai bentuk kontribusi, perjuangan, serta pertanggungjawaban kandidat kepada pemilih dan penyumbang.

Gebrakan tersebut dapat dinilai bahwa negara bukan sekadar terdiri dari para pemodal dan penguasa, tetapi juga pergerakan dari kelas-kelas sosial lain. Bila para penyumbang dari kelompok-kelompok kelas menengah yang ekonominya sudah mapan akan lebih baik lagi. Jadi, banyak pendonor, bukan hanya pengusaha-pengusaha besar. Dengan demikian, dapat diharapkan muncul budaya politik baru yang menghiasi akhir masa transisi demokrasi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar